A Song of the Angels' Souls

79. Penerimaan



79. Penerimaan

0 "Kok, hari ini agak sepi, ya?" Menjelang petang, Ione menguap lebar saat menjaga lapak jajanan. Matanya yang berair mengamati jalur-jalur pasar kuliner yang memang tak dipadati manusia.     
0

Tak seperti biasanya di jam-jam itu, dagangan juga mereka kali ini juga masih bersisa.     

"Sepertinya, dampak dari serangan sekelompok besar monster itu masih terasa. Barangkali orang yang biasa berkunjung ke sini keluarganya ada yang terbun .... terkena dampaknya, jadi mereka masih berkabung. Barangkali mereka sendirilah yang berada di tempat yang salah saat peristiwa itu terjadi. Atau barangkali, mereka hanya takut keluar karena melihat dampak dari kejadian itu," sahut Lyra dengan nada datar.     

Seketika saja, Rava mengusap tengkuknya yang seperti dihantam hawa dingin menggigit. Dia berusaha mengusir bayangan-bayangan kejadian itu dari otaknya.     

"Kalau tentang masalah seperti ini, kamu bisa berbicara panjang juga, ya," desah Ione, kali ini memperhatikan lapak-lapak yang tutup.     

Kacia baru kembali ke lapak. Tadi, dia kabur dari ibu-ibu yang ingin menjodohkannya. Bidadari bertubuh mungil itu sedikit meringis kesakitan saat akan duduk di kursi plastik. Seperti Lyra dan Ione, beberapa bagian tubuhnya juga masih diperban. Hal itu membuat perhatian yang tercurah kepada mereka jadi sedikit berubah. Orang-orang, terutama penjual di kanan-kiri, sebagian bertanya kepada mereka. Stefan pasti akan langsung bercerita kalau mereka terlibat dalam kecelakaan mobi,     

"Kamu nggak apa-apa, Kacia?" tanya Rava, meringis cemas.     

Kacia memberikan senyumnya. "Tidak apa-apa, kok."     

Stefan yang mendengar desisan nyeri Kacia pun menimpali, "Sebenernya, kalian nggak perlu maksa jualan juga. Kondisi kalian bener-bener belum maksimal. Toh, Ibu Rava udah tahu semuanya. Beliau juga sudah menyanggupi untuk jaga lapak kalau kalian memang belum fit."     

"Justru rutinitas ini kita perlukan, Stef," jawab Ione, tersenyum penuh arti. "Menurutku, setelah bertarung brutal seperti itu, kembali ke sesuatu yang normal akan membuat kita jadi lebih rileks. Kacia dan Lyra sepertinya juga setuju kepadaku."     

Alih-alih menjawab, Lyra justru memandang ke arah pintu masuk pasar kuliner.     

"Lois?" Ione ikut melongok ke arah yang sama.     

Lois, memakai kaus ketat dan jaket kulit, berjalan pelan menuju lapak jualan para bidadari. Ia sama sekali tak menatap Rava dan kawan-kawannya itu. Matanya yang bengkak justru mengarah ke lantai.     

"Kamu habis melakukan apa sampai rambutmu seperti sarang burung begitu." Lyra menunjuk rambut saudari angkatnya, yang tampak sedikit kusut dan terkesan kurang terawat itu.     

Tak kunjung mendapat jawaban dari Lois, Lyra mengambil satu biji donat mini coklat dengan capit makanan, kemudian menyodorkannya ke muka Lois. Lois sedikit berjengit melihat makanan itu.     

"Makanlah, mungkin kondisi kamu akan jadi lebih baik. Ini menu baru di tempat jualan kami. Aku yang membuatnya." Karena Lois tak merespon, Lyra semakin mendekatkan donat itu ke hidung saudari angkatnya.     

Akhirnya, Lois mengambil makanan itu dan menggigitnya. Beberapa detik, ia mengunyah dalam diam. "Kamu yang buat? Pantas saja rasanya kurang."     

"Tapi itu kau habiskan," decak Lyra saat Lois memasukkan sisa donat itu ke mulut.     

"Ada urusan apa kamu mengundang aku ke sini?" tanya Lois dengan mulut penuh.     

"TIdak ada."     

Melihat Lois yang melongo kebingungan, Ione pun terkekeh. "Sebagai saudara, kalian akrab sekali, ya?"     

Mata Lois berkeliling memandangi yang lain, kemudian bidadari itu menunduk dalam-dalam. "Apa kalian tidak marah padaku? Kalian kan mati-matian ingin menghentikan pembunuhan para bidadari, tetapi aku malah membunuh Varya, orang yang barangkali paling tidak pantas dibunuh."     

"Apakah dengan kami marah semuanya akan jadi lebih baik?" Kembali tersenyum, Ione keluar dari lapak jualan dan menghampiri Lois. "Perbuatanmu itu memang tidak dapat dibenarkan. Tapi, melihat kamu begitu menyesal seperti ini, aku yakin bahwa pada dasarnya kamu ini baik, Lois."     

"Dan tentunya, kalau kami marah denganmu, kamu justru semakin menjauh. Padahal, tujuan kami adalah mempersatukan para bidadari," imbuh Stefan.     

Ione memegangi kedua tangan Lois dengan lembut. "Seperti kata-kata puitis sentimentil yang pernah keluar dari mulut tuanku: di hatimu masih ada cahaya, Lois."     

***     

"Jadi, daridulu kamu sudah menduga kalau wanita-wanita yang berjualan makanan itu adalah bidadari?" tanya Etria yang membonceng sebuah motor besar.     

"Iya, muka bidadari itu kelihatan beda sama manusia biasa, mereka terlalu sempurna," timpal Robin yang mengendarai motor bersetang tinggi itu.     

Etria mendengus, menghalau wig panjang Robin yang terus berkibar ke hidungnya. "Kenapa kamu baru bilang sekarang!? Kita kan sudah hampir satu bulan bersama!"     

Robin malah terkekeh. "Kalau melakukan sesuatu, aku harus memastikan dulu kalau itu dari hatiku, Et. Kemarin-kemarin, hatiku belum menyuruhku untuk memberitahukannya ke kamu."     

"Kamu ngomong apa, sih!?" gerutu Etria, semakin kesal. "Bilang saja kalau kamu malas!"     

Robin cuma nyengir. Beberapa menit mengemudi, akhirnya dia sampai di pasar kuliner yang menjadi tujuannya.     

"Apakah rambut palsu dan kacamata hitam itu perlu?" tanya Etria. Sejak tadi berangkat sampai sekarang, dia tak tak habis pikir mengapa tuannya memakai wig belah tengah panjang sepunggung.     

"Tentu saja perlu." Robin berkaca di spion, membenarkan kacamata hitam bulatnya. "Kamu nggak tahu kan betapa terkenalnya aku? Eh, kamu nggak mau nutupin muka kamu juga?"     

Muka Etria memang dipenuhi lebam di sana-sini. Selain itu, wajahnya juga terlihat seperti balon menggelembung saking bengkaknya. Belum lagi bibirnya yang jontor tidak ketulungan. Semuanya gara-gara Zita. Keindahan wajah Etria jadi tak terlihat sama sekali.     

"Mau diapakan lagi!? Pakai make-up tidak berpengaruh, pakai masker malah terasa sakit!" omel Etria, menarik perhatian orang sekitar. Beberapa sampai ada yang berbisik-bisik karena kondisi wajahnya yang mengenaskan. "Harusnya kamu membawaku saat kondisiku sedang fit!"     

"Ya, udah. Istirahat aja di rumah kalau gitu." Robin menguap lebar. "Kamu yang memaksaku untuk bawa kamu ke sini setelah aku ngasih tahu, kan?"     

"Jadi, kamu sekarang menyalahkan aku!? Ini kan salahmu! Kamu baru memberitahuku tadi! Aku kan sudah bilang, kalau ada info tentang bidadari, aku bakal .... Hei, dengarkan aku!"     

Robin sudah ngeloyor memasuki pasar kuliner. Etria masih mengomel sambil membuntutinya, tetapi Robin berusaha tak memedulikan bidadari itu dan memilih untuk fokus untuk mencari lapak tujuannya.     

Bahkan pandangan heran dari orang-orang di tempat itu pun tak dipedulikan Robin. Paling-paling mereka keheranan melihat penampilan dirinya yang nyentrik, atau bertanya-tanya mengapa gadis yang terus uring-uringan itu mukanya bonyok. Tidak penting.     

"Ah, itu dia!" Robin menunjuk ke lapak penjual jajanan di salah satu sisi pasar. "Yuk!"     

"Hei, sedari tadi kamu mendengarkan aku apa tidak!?" Etria menahan pundak tuannya itu.     

Dengan nada dan gestur berlebihan, Robin menjawab, "Tentu saja tidaaak."     

Robin melepaskan tangan Etria dari pundaknya, kemudian meninggalkan bidadarinya yang kini melongo itu.     

"Uuugggghhhhh!!! Kamu menyebalkan sekali, Robin!" Etria menggeram dan menghentakkan kakinya.     

***     

Rava tak habis pikir. Bisa-bisanya ada seorang lelaki yang percaya diri dengan rambut panjang belah tengah yang menjuntai sampai punggung, ditambah memakai kacamata hitam bulat sempurna pula. Belum lagi pakaiannya. Rava tak akan pernah memakai kaos oblong bergambar macan menangis, dipadu dengan jaket dan celana jeans yang sobek-sobek seperti yang dipakai lelaki itu.     

"Paling favorit di sini apa, ya?" tanya pria yang usianya berada di sekitar akhir 20-an atau awal 30-an itu, terus memandangi jajanan yang ada.     

"Biasanya sih lemper, tapi sudah habis," jawab Kacia ramah.     

"Itu juga enak, kok." Ione menunjuk kumpulan donat mini di salah satu nampan, kemudian menunjuk Lyra. "Itu buatan tangan sakti mbak yang sangat cantik jelita menggetarkan hati ini. Pasti rasanya bisa membuat melayang."     

Pria itu sedikit terkekeh. "Cara bicara kalian baku banget. Kalian nggak berasal dari sini? Atau kalian ini bidadari yang turun dari atas dan baru belajar bahasa kami? Yah, aku nggak bakal kaget kalau kalian bidadari, sih. Penampilan kalian itu sangatlah .... Hmmmm .... memesona."     

Ione, Lois, dan Lyra langsung menatap tajam si pria, sementara Kacia dan Rava melongo karena terkejut.     

"Mereka memang cantik sekali, Mas." Stefan pun bangkit dari duduknya. "Apa di sekitar Mas juga ada perempuan yang kecantikannya setara mereka?"     

Pria itu mengambil satu donat mini, mengamatinya sejenak dengan mulut sedikit mencibir, lantas mulai memakannya. "Ada, dan dia bisa bertarung .... Ah, itu orangnya. Namanya Etria."     

Si pria menunjuk ke sisi pasar yang lain. Etria tengah berjalan mendekat dengan wajah bersungut-sungut. Sebelumnya, dia berdiri diam di tempatnya karena ngambek. Namun, karena Robin tak kunjung kembali padanya, bidadari itu akhirnya menyusul.     

"Kecantikan seperti apa pun, kalau babak belur begitu ...." Ione meringis kaku saat melihat kondisi mengenaskan Etria. Ekspresi yang mirip pun ditunjukkan oleh yang lain.     

"Ah, perkenalkan. Namaku Kusyanto." Robin mengambil donat mini keduanya. "Ini enak banget, loh. Kayaknya emang bikinan tangan bidadari itu beda."     

Awalnya Etria sudah akan mengomel lagi, tetapi matanya justru terpaku ke salah sebuah nampan berisi satu biji makanan berwarna coklat muda.     

"Suuuuuus! Kue Suuuuuuuuuusssss!!!" Dengan wajah berbinar, Etria berlari-lari kecil ke lapak. Tangannya sudah terjulur untuk menggapai kue berisi krim itu, tetapi tangan lain yang berkulit gelap mendahuluinya.     

"Ini, Bro," ujar Janu yang baru mengambil kue sus itu, memberikan satu lembar uang kepada Rava. Setelah memasukkan kue itu ke mulut, Janu pun ngeloyor begitu saja.     

"Sus .... Sus .... Sus ...." Etria meracau. Lama-kelamaan suaranya menjadi parau. Puncaknya, dia mendudukkan diri ke lantai, kakinya mendendang-nendang, dan air matanya pun mulai turun. Dia pun berteriak-teriak bagai anak kecil yang rewel. "Aku mau kue suuuuusssss!!! Kenapa aku sial begini! Tuanku jahat sekali! Kemarin aku kalah dan babak belur gara-gara bidadari lain! Sekarang aku bahkan tidak bisa makan kue sus! Huaaaaa!!!"     

Alih-alih berusaha menenangkan, Robin malah mengatupkan kedua tangannya. "Maaf, Mbak bidadariku yang rupawan. Ini cuma kue sus, bukan cake limited edition bertabur emas. Jadi, alangkah bijaknya nggak usah ditangisin."     

Tangisan Etria justru semakin keras, sampai menarik perhatian orang-orang sekitar. Lois melipat kedua tangannya. Alis dan bibirnya tampak berkedut. Hal tersebut pun tak luput dari perhatian Lyra.     

Kacia pun berlutut di hadapan Etria. "Di sini masih banyak kue enak, kok. Mau coba?"     

Mendengar nada bicara Kacia yang seperti menghadapi anak kecil, Rava cuma bisa menggaruk rambutnya.     

"Tidaaak mauuuu!!! Aku mauuuu suuuuus!!!" Etria makin rewel. "Suuuuuuusssss!!!"     

Robin memijati keningnya. "Sebenarnya, aku datang ke sini itu biar dia bisa gabung sama kalian. Kalian ini kelihatannya kan bersama dalam satu grup .... Yah, biar dia ada temennya, gitu."     

"Apa kamu bilang!?" Etria melompat bangkit, mulai memukul-mukul dada tuannya. "Aku ke sini kan mau menantang mereka! Sudah berapa kali kubilang! Aku ini ingin memenangkan pemilihan ratu ini!"     

Robin terjatuh dan bergelung kesakitan memegangi dadanya. Dia sampai terlihat seperti kehabisan napas. Rava dan Kacia langsung berjongkok untuk memeriksa pria itu.     

"Buset, kamu mukulnya nggak kira-kira! Udah kayak gorilla aja!" Robin terbatuk-batuk hebat. "Kamu kenapa, sih!? Biasanya nggak sampe mukul juga!"     

Etria sudah nyaris memukul-mukul tuannya kembali, tetapi Lyra keburu menghadangnya.     

"Dengan tidak memikirkan keadaan tuannya seperti ini, kamu sudah gagal sebagai petarung," desis Lyra tajam. "Kalau kamu memang mau bertarung, lawanlah aku. Toh, kondisi kita sama-sama cedera. Kita seimbang."     

Bibir Etria mulai bergemeretak. Air matanya makin deras.     

"Errr, apa nggak apa-apa?" tanya Rava cemas.     

Lyra melirik Lois, saudari angkatnya itu. "Tenang, sedari dulu aku sudah terbiasa mengurusi yang begini."     

Lois cuma berdecak dan membuang muka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.