A Song of the Angels' Souls

80. Godam Raksasa



80. Godam Raksasa

0"Lois, apakah kondisi pikiranmu itu benar-benar buruk, sampai membuatmu tidak ingin melepaskan celana? Di sini, paling yang bisa melihat pantat dan pahamu cuma kita-kita saja," cerocos Ione saat dirinya dan yang lain baru sampai di sebuah lapangan basket untuk umum.     
0

Lois mengangkat bahu. "Aku cuma sudah terbiasa saja. Lagipula, cuaca sedang dingin."     

Beberapa sosok Piv muncul entah dari mana, mengambil posisi di berbagai tempat, lantas memancarkan cahaya kuning temaram dari tubuh mereka. Penerangan di tempat itu memang sangat minim.     

Lyra sudah memakai baju tempur, masuk ke lapangan basket yang terbuat dari beton tersebut. Sementara itu, rekan-rekannya berkumpul di dekat gerobak-gerobak batagor yang disimpan di samping lapangan.     

Rava mengamati jaring besi karatan yang mengelelingi lapangan itu. Ia jadi teringat pertandingan tarung bebas yang sering ditampilkan di televisi. Alih-alih bertarung di ring, para petarung di olahraga tersebut saling jual beli serangan di arena yang dikelilingi jaring besi seperti ini.     

Terdengar deru mesin yang menggelegar dari kejauhan. Tak lama kemudian, Robin muncul dengan mengendarai motor besar bersetang tingginya.     

"Hei, kamu dengar tidak!? Harus berapa kali kubilang, kita akan lebih cepat sampai kalau aku menggendongmu saja!" gerutu Etria yang membonceng motor Robin tersebut.     

"Dan harus berapa kali kubilang juga?" decak Robin dengan nada luar biasa datar layaknya robot. Ia pun memakirkan motornya di dekat lapangan basket. "Naik ke punggung cewek itu rasanya aneh banget. Susah jelasinnya, yang jelas aneh banget."     

Rava bisa mengerti perkataan Robin itu. Sampai sekarang, Rava pun masih merasa aneh menaiki para bidadari itu.     

"Aah, akhirnya bisa lepas ini juga." Tak memedulikan Etria yang memberengut, Robin melepaskan kacamata dan wig anehnya. "Panas banget. Nggak bisa ngebayangin rambutnya begini beneran."     

"AAAAAAAAHHHHHHHH!!!" Tiba-tiba Ione menjerit keras, sampai membuat orang-orang yang ada di sekitarnya berjengit hebat. Ia pun menunjuk Robin dengan tangan gemetar dan ekspresi yang anehnya seperti menunjukkan kalau dirinya seperti sedang menahan sesuatu. "Rob .... Rob .... Rob ...."     

Robin buru-buru memakai wig dan kacamata hitamnya kembali. "Aku, Ruswanto .... Eh, bukan. Darwanto .... Bukan, juga. Ah, aku lupa namaku sendiri ...."     

"AAAAAHHHHH ROBIN HANGGARAAA!!!" Ione berlari kepada Robin, yang akhirnya menyerah dan melepaskan penyamarannya.     

Robin pun terpaksa memasang senyum lebar. Ione melompat-lompat kegirangan bak anak kecil, sementara Etria melongo melihat hal itu.     

"Kamu tahu dia, Rav?" bisik Stefan, sedikit mengedikkan lehernya.     

Rava mengingat-ngingat sejenak. "Itu Robin Hanggara. Dia sering muncul di film tv yang biasa ditonton ibuku."     

"Apa perutnya six-pack?" Nada bicara Stefan mulai menajam     

"Sepertinya sih begitu. Aku pernah melihatnya di handphone Ione." Sekarang Kacia yang menjawab.     

Stefan berdehem keras, tetapi Ione malah sibuk berfoto-foto dengan sang artis. Etria pun mendengus, akhirnya memasuki arena pertarungan lewat pintu besi. Di sana, tubuhnya memancarkan cahaya biru terang. Cahaya itu pun bermaterialisasi menjadi baju tempurnya.     

Lagi-lagi baju aneh yang seperti kekurangan bahan, sampai bagian paha dan dada bidadari itu terlihat jelas. Rava benar-benar sudah tidak heran.     

"Mari kita bertarung dengan adil! Kita ...." Etria tercekat ketika melihat Lois di antara yang lain. "Eh, itu nona Lois, putri dari Egan sang pemberi?"     

Lyra ikut menengok kepada sang saudari angkat. "Sedari tadi, kamu baru sadar?"     

"AAAAAAAAAHHHHH!!! NONA LOISSSSS!!!" Seperti Ione tadi, Etria berlari girang. "Saya sangat mengagumi Anda dan keluarga Anda! Saya ...."     

"Hei, kamu mau bertarung. Fokus kepada lawanmu," desah Lois.     

Etria yang sedang menghampiri Lois pun sedikit tersentak kaget, lantas menghadap lawannya lagi. "Aah, benar juga .... Hei, sampai kapan mau foto-foto dengannya, Robin!?     

Robin yang tadinya tidak bersemangat berfoto-foto dengan Ione, anehnya sekarang antusias sekali melakukannya, bahkan sampai berpose-pose konyol. Ione juga ikutan berpose aneh. Keduanya memajukan mulutnya bak bebek, menjulur-julurkan lidah, sampai beraksi seperti superhero gadungan. Dan ajaibnya, mereka tak begitu sinkron melakukannya.     

"Chemistry kita bagus sekali, Ione!"     

"Ione!" panggil Stefan dengan suara keras.     

Ione pun tersenyum puas, memeriksa hasil foto-foto dengan Robin di ponselnya. "Maaf, aku harus mendukung temanku. Nanti, kekasihku juga bisa cemburu kalau aku terlalu lama bersamamu."     

"Eeh?" Robin terdengar begitu kecewa.     

"Senang sekali melihat sisi kamu yang begini, Rob," ujar Ione, lantas berlari menghampiri tuannya.     

Begitu Ione datang, Stefan membuang muka. Ione pun mengecup pipi kekasihnya itu, lantas merangkulnya mesra. Rava dan Kacia tak berani melihat adegan itu. Pipi keduanya memerah.     

"Oke, aku siap." Robin melambaikan tangannya kepada Etria.     

Lyra dan Etria pun mengaktifkan senjata masing-masing. Lyra tentu saja dengan pedang bermata gandanya, sementara Etria sudah memegang palu godam raksasa dengan gagang panjang.     

"Aah, aku baru sadar matamu berwarna Hazel." Etria menunjuk mata Lyra. "Karena orang-orang seperti kamulah, dunia kita jadi tidak tenang."     

Urat dahi Lyra sedikit berkedut. Para penonton pun langsung memajang wajah serius, kecuali Robin yang malah berjongkok sambil memegang kantung plastik berisi donat-donat mini. Mulutnya tampak penuh karena terus mengunyah     

"Apakah kamu tidak keberatan untuk menjelaskan arti dari ucapanmu barusan?" tanya Lyra dengan nada penuh penekanan, tetapi dengan ekspresi yang belum juga berubah.     

"Masa kamu tidak paham? Kaummu kan sering membuat kerusakan. Padahal tinggal menurut saja kepada pemerintah, apa susahnya?" Etria mengerjap-ngerjapkan matanya.     

"Menurut kepada pemerintah yang tidak adil kepada kami?"     

"Bukan masalah adil atau tidak adil. Yang penting kan menjaga ketentraman di negeri kita."     

Lyra berjalan pelan mendekati lawannya. Tatapannya semakin menajam. "Tapi, kehidupan kami yang tidak tentram."     

"Itu masalah kalian. Buktinya, kalau kalian tidak membuat kerusakan, yang lain tentram-tentram saja, tuh."     

"Aah." Robin berdehem keras. "Aku tidak terlalu tahu permasalahannya, tapi aku yakin sebenarnya Etria ini tidak bermaksud jahat, dia cuma stupid."     

Tawa Ione langsung pecah. Lois pun terkikik-kikik geli. Rava cuma bisa meringis kaku. Celaan Robin terkesan begitu telak, padahal hanya memakai satu kata asing.     

"Stupid itu apa?" tanya Kacia kepada Rava.     

Ione pun semakin tergelak mendengar hal itu.     

"Aku memang stupid!" Etria membusungkan dada, terlihat begitu bangga.     

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lyra mengerutkan kening dan memiringkan bibirnya. Sekilas tawa kecil lolos dari mulutnya. "Kamu tidak tahu stupid? Kamu tidak pernah menonton film berbahasa inggris, ya? Stupid itu bodoh."     

Serta-merta Etria menoleh kepada tuannya, yang sudah bersimpuh dengan mengatupkan kedua tangan.     

"Katamu, stupid itu artinya punya wibawa yang luar biasa, Robin!" hardik Etria.     

Robin membungkukkan badannya dalam-dalam. "Maaf beribu maaf."     

Perlahan tapi pasti, wajah Etria dihiasi rona merah yang begitu tebal. Urat-urat lehernya menegang. Ia pun menggembungkan pipinya, membuat wajahnya yang sudah bengkak jadi semakin membulat.     

"Ups, sepertinya tawaku kelewatan." Ione menutupi mulutnya.     

"UWAAAAAAA!!!" Lagi-lagi Etria menangis keras bak bocah cilik yang dijitak kepalanya. "Kalian jahatttt!!!"     

Lois berdecak keras. "Hajar dia Lyra! Biarkan bidadari berpikiran sempit itu tahu rasa!"     

Medapati idolanya tidak terlihat mendukungnya, Etria menggigit ujung bibirnya, lantas menunjuk muka Lyra. "Ini pasti gara-gara kamu! Kamu, sebagai kaum bermata iblis, pasti mencuci otak nona Lois!"     

Lyra memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Aku akan marah kalau orang yang kuhadapi itu jahat dan benar-benar membenci kaum kami, tetapi kamu ternyata cuma orang stupid saja. Sayang sekali, tadi aku sudah membuang energi untuk marah."     

Air mata Etria makin mengalir deras. Ia mengangkat palunya tinggi-tinggi.     

Daaarrr!!!     

Suara dentuman keras langsung menggelegar ketika Lyra menghindari serangan dari Etria. Hantaman dari mata palu Etria berhasil menimbulkan retakan yang cukup besar di lantai beton.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.