A Song of the Angels' Souls

81. Kemampuan yang Sebenarnya



81. Kemampuan yang Sebenarnya

0Ione, Lois, dan Kacia terus mengamati pertarungan itu dengan mulut menganga. Setiap melakukan serangan, Etria berteriak-teriak dengan nada melengking     
0

"Heaaa!!! Heaaa!!! Heaaaa!!!     

Lois mengangkat sebelah alisnya, berdecak kesal. "Kenapa orang seperti dia bisa dipilih oleh pihak atas?"     

"Emangnya kenapa, Yon?" tanya Stefan. "Dari tadi aku cuma denger teriakan Etria sama dentuman yang kayaknya berasal dari senjatanya. Aku belum denger suara pedang Lyra. Jadi, kukira Lyra malah sedang terdesak."     

"Malah sebaliknya." Ione menggaruk rambutnya. "Ayunan palu Etria kelihatan serampangan sekali. Dia juga terlalu banyak melakukan gerakan yang tidak perlu. Lyra jadi bisa menghindar dengan sangat mudah."     

"Apa mungkin senjatanya yang terlalu berat?" celetuk Rava. Bahkan di mata awamnya, cara bertarung Etria memang sangat berbeda dengan bidadari-bidadari yang pernah ditemuinya.     

Kacia menggeleng. "Aku pernah bertemu dengan beberapa pemegang palu besar seperti itu. Tapi .... Bisa dikatakan cara bertarung mereka lebih terarah dan efektif, tidak .... Yah, intinya tidak seperti Etria ini."     

"Hei, jangan menghidar terus! Lawanlah aku!" gerutu Etria, kembali mengayunkan palunya keras-keras. Untuk kesekian kalinya, Lyra menghindar. Mata palu Etria lagi-lagi cuma menghantam lantai beton, memunculkan retakan besar entah yang keberapa.     

Lyra lalu menyapu kaki musuhnya itu. Etria pun tersungkur dengan posisi menungging. Ia langsung berusaha bangkit, tetapi Lyra keburu menendang pantatnya. Ia pun tersungkur kembali, kali ini dengan muka yang mendarat di beton terlebih dahulu.     

"Tusuk pantatnya dengan pedangmu, Lyra!" pekik Lois dengan suara berapi-api.     

Alih-alih melanjutkan serangannya, Lyra malah berbalik untuk dan mulai berjalan pergi.     

Melihat hal itu, Etria bangkit dengan menyeringai. Namun, karena wajah bengkaknya, dia sama sekali tidak terlihat seram. "Hei, kamu mau ke mana!?"     

Lyra menghentikan langkahnya, sedikit menengok kepada sang lawan. "Tidak ada gunanya melanjutkan pertarungan ini."     

Etria mendengus keras, lantas berteriak lagi, "Robin, aktifkan kekuatanku!"     

"Eh? Kamu yakin melakukannya di tempat seperti ini?" Robin terdengar sangsi.     

"Jangan banyak omong! Lakukan saja!"     

Robin mengangkat bahu dan memencet satu-satunya tanda di lengannya. Hanya selang beberapa detik, mata palu Etria pun mulai membesar, sementara gagangnya memanjang.     

"Heaaaaa!!!" Sekuat tenaga, Etria pun mengayunkan palunya itu.     

Lyra yang sadar pun langsung menghindar. Namun, Etria tak kuasa menahan laju palunya tersebut. Kacia dan Ione menyelamatkan tuan masing-masing, sementara Lois melompat ke atas untuk menghindari palu raksasa Etria.     

Suara kaya pecah dan kayu yang remuk-redam pun terdengar keras saat palu itu menyapu gerobak-gerobak yang disimpan di samping lapangan basket.     

"Kamu tidak apa-apa, Rav?" tanya Kacia, menurunkan Rava yang dibopongnya.     

Rava tak menjawab, terlalu takjub dengan pemandangan yang ada: potongan-potongan kayu berserakan, pecahan-pecahan kaca bertebaran, dan sebagian jaring besi yang melindungi lapangan pun sudah tak terlihat sama sekali, barangkali terbawa ayunan palu raksasa Etria.     

"Uwaaaaa!!!" Etria jatuh terjengkang karena momentum ayunannya sendiri.     

Kali ini, Lyra menghampiri Etria.     

"Auuuwww!!! Lepaskan aku!!!" Etria berontak saat Lyra menjambak rambutnya.     

Lyra memaksa musuhnya itu berdiri. Etria sudah akan melawan dengan mengayunkan palunya. Namun, kedua tangannya keburu dihantam pedang Lyra, membuatnya melepaskan gagang palu tersebut.     

Tanpa ampun lagi, Lyra memberikan kombinasi serangan pedangnya. Boro-boro membalas, Etria yang sudah tidak memegang senjata pun tak kuasa menangkis atau menghindar. Ia benar-benar menjadi bulan-bulanan. Puncaknya, Lyra memberikan tendangan berputar ke perut sang musuh. Etria pun terpental sampai punggungnya menabrak jaring besi di sisi lain lapangan.     

Awalnya, Lyra sudah akan menyerang lagi. Namun, melihat Etria melorot dan terduduk tak berdaya, Lyra mengurungkan niatnya.     

"Sepertinya, benar-benar tidak usah dilanjutkan lagi," ucap Lyra, datar dan dingin. "Aku tidak diajarkan untuk melawan orang lemah."     

Setelah mengatakan hal itu, Lyra kembali berbalik, berniat untuk meninggalkan sang musuh.     

"Uwaaaaaaa!!!" jerit Etria, menangis keras sekali. "Kamu curang! Kamu menarik rambutku dan melepas senjataku! Itu tidak boleh! Itu curang! Kamu jahaaaattt!!!"     

Lyra memandang Etria dengan mulut yang sedikit menganga, kemudian melanjutkan langkahnya.     

Lois pun mendatangi Etria dengan langkah cepat.     

"Bangun!" Lois menarik kerah baju Etria. Tanpa ampun, Lois pun menampar keras wajah bidadari itu. "Kamu itu petarung bukan, sih!? Tidak ada petarung yang cengeng begini! Tidak ada petarung yang menuduh lawannya curang, padahal jelas-jelas kemampuannya sendiri yang buruk! Kamu itu bukan petarung! Kamu cuma gadis manja! Kamu tidak pantas berada di pemilihan ratu ini!"     

Menatap Lois, Etria menarik bibir bagian bawahnya, mati-matian menahan tangis.     

"Teringat dengan seseorang di masa lampau?" tanya Lyra kepada Lois.     

Lois menendang perut Etria keras-keras. Etria pun terjengkang. Tubuhnya tersangkut lagi ke jaring besi. Dia masih berusaha keras untuk tidak terisak, kendati air matanya jelas tidak terbendung.     

Robin yang sudah menghampiri bidadarinya itu pun cuma bisa meringis.     

Setelah itu, Rava pun datang mendekati Etria.     

"Apa kamu tidak berpikir saat menggunakan kemampuanmu?" tanya Rava dengan nada lirih dan getir, menunjuk reruntuhan gerobak batagor di kejauhan. "Ada orang-orang yang mencari nafkah dengan berjualan memakai gerobak-gerobak itu. Besok, mereka nggak bisa jualan. Nggak bisa nyari makan buat anak istri."     

Etria pun membelalakkan matanya lebar-lebar. Kemudian, secara perlahan dan kaku, ia menunduk dalam-dalam.     

Ya, Rava tahu kata-katanya sedikit kontradiktif dengan perbuatannya. Beberapa hari lalu, dialah yang mengusulkan untuk membasmi monster dengan menumpuk sepeda-sepeda motor sebagai alat peledak. Dia mengerti, barangkali sepeda-sepeda motor itu ada yang digunakan untuk mencari nafkah. Akan tetapi, saat itu dirinya sedang dalam keadaan terpaksa. Rava tidak punya solusi lain untuk membunuh monster itu.     

"Barangkali dia tidak tahu gerobak-gerobak itu digunakan untuk berjualan?" celetuk Kacia yang sudah menjejeri tuannya.     

Lois berdecak keras. "Harusnya dia sudah tahu. Di dunia kita kan ada yang mirip."     

Kacia pun berlutut di hadapan Etria, memberikan senyum hangat dan menyentuh lutut bidadari itu. "Kita kadang juga membuat salah, kok. Tapi, kita bersama-sama ...."     

Kacia berhenti berucap karena Etria menepis tangannya. Emosi Rava langsung menggelegak, tetapi dia lebih memilih untuk diam. Tak ada gunanya juga marah-marah. Sampai mulutnya berbusa, belum tentu Etria mau mendengarkan.     

"Kita pulang aja," desis Rava, berbalik dan mulai melangkah pergi. Lois dan Lyra pun langsung mengikuti jejaknya.     

Alih-alih langsung mengikuti tuannya, Kacia malah bertahan dan melebarkan senyum. "Sepertinya, temanku yang bernama Ione ingin mengajakmu bergabung dengan kami. Kami sangat terbuka untuk kamu, kok. Rava, Lyra, dan Lois juga sebenarnya baik. Lama-kelamaan mereka pasti akan menermimamu. Jadi, kami menunggu kamu, Etria."     

Masih menunduk menahan tangis, Etria tak menjawab. Kacia memberikan tepukan lembut ke pundak Etria, lantas menyusul tuannya yang sudah berjalan cukup jauh.     

Robin menghela napas panjang, memandangi bidadarinya yang terlihat semakin mengenaskan.     

"Padahal, setelah dibuat babak-belur oleh bidadari lain, aku kira dia bakalan tobat dan menyadari kemampuannya yang nggak seberapa. Ngelawan monster aja nggak pernah becus. Suatu keajaiban dia bisa bertahan hidup," bisik Robin kepada Ione dan Stefan yang sudah menjejerinya. "Ah, suatu keajaiban juga Etria bisa kabur dari bidadari yang mukulin dia."     

"Memangnya, siapa yang membuat mukanya jadi seperti hasil kesenian abstrak begitu?" tanya Ione.     

"Kalau nggak salah namanya Zita."     

Stefan dan Ione langsung terhenyak hebat. Ione pun menarik kerah baju Robin. Robin yang tak tahu apa-apa pun cuma bisa melongo kebingungan.     

"Apa kamu bilang? Zita? Apa aku tidak salah dengar?" desis Ione dengan bibir bergetar.     

Kening Robin pun mengerut. "Iya, yang pakai baju kuning, terus bawa perisai, kan?"     

"Kami ingin mendengar cerita kamu lebih lanjut, Mas Robin," sahut Stefan dengan nada penuh penekanan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.