A Song of the Angels' Souls

82. Pertanyaan-pertanyaan



82. Pertanyaan-pertanyaan

0"Yang Mulia, apakah aku ini memang tidak pantas menjadi ratu seperti Anda?" gumam Etria yang sudah memakai kaus kasual. Ia duduk bersila di kasur busanya, menghadap ke sebuah boneka kain berbahan halus yang terlihat mirip sosok wanita, tetapi dengan versi lebih kerdil dan fitur wajah yang jauh lebih sederhana.     
0

Boneka dengan rambut panjang berwarna hitam tergerai itu tentu saja tidak menjawab, hanya tersenyum dengan tatapan mata kosong. Etria melirik sudut lain kamarnya, tempat satu boneka lainnya tergeletak. Sama-sama berwujud wanita kerdil, tetapi dengan rambut pirang dengan panjang sedang dan busana berwarna merah dan perunggu.     

Ya, itu boneka Lois.     

Etria kembali memusatkan perhatiannya kepada boneka sang ratu. "Saya cuma ingin seperti Anda, Yang Mulia. Saya ingin memimpin negeri dengan baik seperti Anda."     

Mendadak, perkataan Lyra tentang sang ratu yang tidak adil kepada kaum bermata amber dan hazel pun mulai merasuki kepala Etria. Bidadari itu segera menggeleng-gelengkan kepala.     

"Tidak! Anda tetaplah yang terbaik, Yang Mulia." Etria merasakan kelopak matanya mulai memanas.     

Terdengar ketukan dari pintu kamar Etria, disusul oleh suara Robin. "Et, ini aku."     

Etria buru-buru memeluk bonekanya itu, berbaring, mengerudungi tubuhnya dengan selimut, baru kemudian berkata parau, "Masuk."     

Terdengar bunyi kenop yang diputar, tetapi pintu itu tidak bisa dibuka.     

"Gimana mau masuk? Pintunya dikunci gini," gerutu Robin.     

"Argh!" Meski tahu itu salahnya, Etria tetap mendengus. Dia pun membuka pintu dengan dongkol. "Ada apa, sih ...."     

Etria tercekat oleh bau harum kue sus dari kotak yang dipegang Robin.     

"Pake celana dulu kek kalau buka pintu ...." Robin melirik bagian bawah tubuh Etria yang memang hanya dilindungi celana dalam berwarna biru terang. "Ah, mau bilang kayak gimana juga, kayaknya percuma aja, sih. Kamu tetap bakal susah pake celana, kecuali kalau lagi keluar."     

Mendengus lagi, Etria berbalik. "Kalau mau berbicara tentang paha dan pantatku, lebih baik kamu pergi saja."     

"Aah, tadi aku baru pesen kue sus. Untung ada toko kue yang masih buka jam segini." Robin menggaruk rambutnya ketika Etria berbaring kembali sambil membelakanginya. "Kata temenku, ini yang paling enak di kota ini."     

"Aku tidak membutuhkannya!" omel Etria, meski air liurnya sudah nyaris menetes karena aroma makanan itu.     

"Ya, sudah. Kumakan sendiri aja." Robin mengambil kue sus seukuran telapak tangan anak kecil itu, kemudian mulai menggigitnya. "Tapi, kayaknya ini kebanyakan buatku. Hari ini asupan kaloriku udah over, lebih baik kukasih pak satpam perumahan aja."     

Robin mulai melangkah pergi, tetapi dengan gerakan yang sengaja dilambatkan. Dia juga mengunyah dengan suara keras. Bahu Etria pun berkedik. Sekarang, air liurnya benar-benar sudah menetes.     

"Aku mau! Ugh!" Etria buru-buru bangkit, tetapi karena cedera hasil pertarungan dengan Zita, ia jatuh terduduk sembari memegangi pinggul kanannya yang nyeri. "Uuuuggghhh ...."     

Robin segera menghampiri bidadarinya itu untuk menolong. Namun, Etria tak memedulikan uluran tangan tuannya itu dan malah membuang muka. Menghela napas, Robin pun duduk di lantai, kemudian menaruh kotak kue sus itu di hadapan sang bidadari.     

Awalnya Etria bertahan untuk membuang muka, hanya melirik kotak itu sambil menelan ludah, sebelum akhirnya mulai memakan isinya dengan bar-bar.     

"Aku nggak akan beralasan lagi. Aku nggak akan mengelak. Pokoknya aku minta maaf atas segala kesalahanku," ucap Robin pelan.     

Etria terus memakan kue sus dengan begitu lahap, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Baru ketika isi kotak itu sudah tak bersisa, dia berdiri. "Aku mau memaafkan kamu. Asal kamu mau menemani aku untuk memulihkan lukaku."     

Tanpa sengaja, Robin meloloskan decakan dari mulutnya. "Udah kubilang .... Ah, oke. Asal paling tidak kamu masih pake baju dalam."     

"Celana dalam saja," tegas Etria dengan wajah judes, melipat tangan di dada. Sebelum Robin membantah, ia menyerocos cepat. "Ini tidak bisa diganggu gugat! Kamu tidak akan melihat p*tingku, kok! Aku kan tengkurap! Sekarang, balik badanmu! Aku mau buka baju!"     

Robin pun mengikuti perintah bidadarinya itu, kemudian mengangkat kedua tangannya.     

Etria pun mulai menanggalkan bajunya satu persatu.     

"Ah, aku juga minta maaf udah memukul kamu seperti itu," ucap Etria lirih, tanpa menggunakan nada rewelnya yang biasa. "Aku tidak menggunakan kekuatanku penuh, jadi kukira tidak akan terlalu menyakitkan, tetapi ...." Bidadari itu tak bisa melanjutkan kalimatnya.     

Masih membelakangi Etria, Robin mengangkat bahu. "Yah, waktu itu kamu lagi marah. Penyebab marahnya kan gara-gara aku juga. Mungkin aku pantas menerimanya. Tenang aja, aku nggak kenapa-napa, kok."     

Pada kenyataannya, Robin masih merasakan nyeri mengengat di area yang tadi dipukuli Etria.     

"Ah, sebelum ini. Aku punya permintaan, Robin." Suara Etria terdengar seperti desahan. Ia pun membiarkan bra yang dipakainya luruh ke lantai.     

"Apaan?" Robin mengernyit. Nada bicara Etria terdengar aneh di telinganya.     

"Ambilkan aku minum. Kerongkonganku seret."     

***     

Diapit kedua bidadarinya, Rava duduk di depan layar komputer sambil memijati kening. Dalam perjalanan pulang menuju rumah kontrakan, Ione memberitahu info tentang Zita yang masih hidup.     

"Well, we're f*ck*d up." Di layar komputer itu, Stefan tampak memajang senyum getir. Karena Stefan dan Ione memilih untuk berjaga di tempat Dini, mereka memutuskan untuk melakukan rapat online.     

"Barusan aku juga sudah bertanya kepada Piv mengenai penyebab Zita bisa hidup kembali." Ione yang duduk di samping tuannya pun mengambil napas panjang. "Ternyata, Zita itu dibangkitkan lagi oleh pihak atas. Untuk alasannya, dia tidak mau menjawab."     

"Ini aneh banget." Rava menggelengkan kepala tak percaya, berusaha mengusir wajah sinting Zita yang mulai menghantui otaknya. "Dulu, mereka berkata ingin segera membasmi Zita. Zita sudah mati, eh sekarang malah dihidupin lagi."     

Ione merentangkan kedua tangannya, tertawa masam. "Beginilah pemerintahan dunia kami. Mengadakan pemilihan ratu dengan saling membunuh seperti ini saja sudah sangat absurd."     

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Lyra.     

"Sejak tadi mendengar informasi itu sampai dengan sekarang, sebenarnya aku terus berpikir. Tapi, aku belum tahu kita harus mengambil langkah bagaimana. Aku benar-benar kebingungan," jawab Ione pelan.     

Kacia terus mengamati kanal-kanal berita yang baru dibukanya di ponsel. "Aku belum menemukan berita baru yang menjurus ke kerusakan yang dibuat Zita."     

"Tapi, kita harus tetap waspada," imbuh Lyra.     

"Piv itu juga semakin menyebalkan." Ione terdengar jengkel. "Belum juga aku bertanya, dia sudah berkata kalau pihak atas tak akan setuju untuk mempertemukan kita dengan Zita. Lebih tepatnya, mereka enggan mengabulkan permintaan kita, tetapi mereka bisa saja mempertemukan kita dengan bidadari sinting itu sesuka-suka mereka. Mendengar hal itu, aku jadi sangat marah dan meremas Piv sampai hancur seperti klepon yang dipencet keras."     

"Yah, kita cuma bisa berdiam diri dulu dan melihat situasi," desah Stefan. "Paling tidak, kalau di antara kalian melihat Zita, segera hubungi kami. Nanti aku juga akan menghubungi kak Marcel dan Lois. Sepertinya, mereka mau membantu."     

Isi dada Rava seolah bergejolak. Lagi-lagi mereka tak bisa melakukan apa-apa. Padahal, sementara mereka menunggu, barangkali Zita sudah mulai merusak kembali.     

Merasakan tepukan lembut di pundaknya, Rava menoleh kepada Kacia. Bidadari itu memberikan senyum lebar yang seolah menghangatkan hati Rava. Namun, Rava cuma bisa membalas dengan senyuman sekilas.     

Di saat genting seperti ini, Rava merasa ujung bibirnya tak bisa diajak untuk tersenyum.     

"Tidak ada lagi yang akan dibicarakan, kan?" tanya Lyra dengan nada datar yang tidak natural, kemudian bangkit dari kursi. "Aku mau tidur."     

Melihat Lyra yang meninggalkan kamar Rava, Ione menggeleng-geleng pelan. Mulutnya merentangkan senyum aneh. Senyum yang tak bisa ditebak artinya oleh Rava maupun Kacia.     

"Suasana kalian ini juga membuatku kebingungan," ceplos Ione, sedikit tertawa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.