A Song of the Angels' Souls

85. Hanya Jejak



85. Hanya Jejak

0"Hatsyi!" Rava membersihkan hidungnya yang meler. Entah sudah berapa kali dirinya bersin. Pemuda itu membaringkan dirinya ke sofa, menyandarkan kepalanya yang sedikit dihinggapi sensasi melayang. Sekarang dia sedang berada di rumah persembunyian istri Bagas.     
0

"Seharusnya, kamu di rumah saja, Rav. Istirahat," ujar Kacia, mendatangi Rava sambil membawa segelas besar teh jahe hangat.     

"Yah, mau gimana lagi. Mas Stefan sama Ione sedang ada urusan. Lyra dan Lois katanya mau berlatih. Etria juga belum sadar-sadar," jawab Rava, sedikit merapatkan tubuhnya yang dihinggapi hawa dingin. "Kasihan bu Dini kalau ditinggalin sendirian. Barangkali rumah ini memang aman karena nggak ada yang tahu, tapi kalau nggak ada bidadari yang menjaga, kurasa bu Dini sama anaknya nggak bakal merasa aman."     

Dari halaman belakang rumah itu, Rava bisa mendengar tawa ceria dari anak perempuan Dini. Bocah cilik itu tengah bermain gelembung sabun dengan ibunya.     

"Begitu, ya?" Memajang senyum lebar, Kacia duduk di dekat Rava. "Kamu hebat, sampai memikirkan hal seperti itu."     

Rava tak menjawab, agak tersipu dipuji seperti itu.     

Robin keluar dari salah satu kamar dengan mata luar biasa kuyu, muka sangat lelah, serta langkah agak sempoyongan.     

"Masih nggak bisa tidur, Mas?" tanya Rava, kembali bersin.     

"Iya." Robin menguap begitu lebar, seperti bisa menelan buah apel utuh. "Padahal kalau abis ng*w*, aku nggak masalah tidur sama orang yang bugil total sekalian, tapi entah kalau di dekat Etria ini aku nggak bisa. Padahal dia nggak bener-bener bugil juga .... Jangan-jangan karena nggak ku-*w* .... Ah, sori. Aku malah ngelantur .... Aku keluar dulu, deh. Nyari angin. Kalian jaga bidadariku itu."     

Rava dan Kacia belum sempat menimpali, tetapi Robin sudah keburu memakai wig model bob dan pergi. Rava jadi penasaran berapa jumlah wig yang dimiliki sang aktor.     

"Ngomong-ngomong tentang Etria, aku ngelihat sesuatu waktu kita datang buat nolong dia, Kacia," tutur Rava saat Robin sudah tidak kelihatan.     

Kacia sedikit menelengkan kepala. "Sesuatu? Sesuatu yang aneh, maksudmu?"     

"Bukan aneh sih, cuman .... Monster semut yang waktu itu kan kakinya kurus dan tajam, jadi langkahnya ninggalin jejak di tanah. Nah, jejak itu kan ada yang menuju ke penjual ...."     

Rava menghentikan ucapannya karena mendengar rintihan pilu dari kamar yang ditempati Etria. Setelah saling bertukar pandang sekilas, Rava dan Kacia bergegas menuju kamar itu.     

Etria masih tengkurap di kasur. Air matanya mulai membasahi bantal yang ditidurinya. Ia tampak berusaha bergerak, tetapi hanya tangannya saja yang berhasil mengedik.     

Kacia segera berlutut, memeriksa wajah Etria. Sementara itu, Rava hanya berdiri, menjaga pandangannya agar tidak tertuju ke tubuh Etria yang nyaris telanjang dan hanya dilindungi bebatan perban di beberapa bagian.     

"Selamat sore, Etria," sapa Kacia lembut, memberikan senyum hangatnya. "Apa yang kamu butuhkan?"     

"A-air," pinta Etria, dengan suara begitu lirih dan parau.     

Kacia mengambil segelas air dari meja, kemudian membantu Etria meminum dari sedotan. Etria sempat terbatuk-batuk karena menyedot terlalu keras. Dia tampak sangat kehausan.     

Melihat hal itu, Rava seperti diingatkan kembali, menjadi bidadari petarung bukanlah hal yang mudah.     

"Robin mana?" tanya Etria.     

"Robin sedang keluar sebentar. Kamu sudah tertidur selama dua hari."     

Etria melanjutkan tangisnya dengan ekspresi seperti anak kecil yang jatuh dari sepeda. "Huhuhu ...."     

Dengan sabarnya, Kacia menunggu Etria berhenti menangis. Bahkan Kacia sampai mengusap-usap lembut kepala Etria. Rava yang tak tahu harus melakukan apa cuma mematung, memandangi perbuatan penuh kasih dari Kacia tersebut.     

Bidadari betubuh mungil itu pasti akan menjadi istri yang baik.     

Rava menggeleng-gelengkan kepala, tak mengerti mengapa kalimat itu bisa melintas di kepalanya. Dia manusia biasa yang tak bisa apa-apa, sementara Kacia adalah bidadari petarung yang luar biasa. Dilihat dari manapun, mereka sangat tidak cocok.     

Lagipula, kalau semua ini selesai, mereka akan berpisah.     

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Kacia masih dengan nada lembutnya. "Bilang saja, tidak apa-apa."     

Jumlah air mata yang turun dari mata Etria sudah jauh berkurang. Kali ini dia hanya menangis sesenggukan saja. Dia juga terlihat mulai lelah. Barangkali menangis terus-terusan seperti itu sangat menguras energinya. Bagaimana tidak, dia menangis sampai mukanya memerah begitu.     

"A-aku lapar," desis Etria lagi.     

Kacia akhirnya bangkit. "Kalau begitu, aku buatkan bubur dulu, ya. Tidak akan lama, kok."     

Etria mengangguk. Kacia pun melebarkan senyumnya dan mulai beranjak dari tempat itu.     

"Tapi, jangan tinggalkan aku sendiri," ucap Etria, masih dengan pelan dan serak.     

"Kalau begitu, kamu jaga dia sebentar ya, Rav," pinta Kacia.     

Rava yang sudah akan menyusul Kacia pun tak sempat berkata apa-apa karena bidadarinya yang bertubuh mungil itu keburu meninggalkan kamar.     

"Aah ...." Tak punya pilihan lain, Rava menarik kursi plastik, kemudian duduk di dekat tempat tidur.     

Etria mengubah posisi kepalanya agar tak menghadap Rava, tetapi dia melakukannya terlalu cepat, membuatnya meringis kesakitan. "Silahkan kalau mau menasihatiku lagi. Silahkan saja mengataku bodoh karena menyerang monster itu dalam kondisi belum pulih dan tanpa menunggu Robin. Silahkan, apa yang kulakukan memang tidak pernah becus."     

Selama Etria menyerocos panjang lebar seperti itu, Rava cuma bisa melongo. Dia sama sekali tidak berniat menasihati atau bagaimana. Selain karena kondisi bidadari itu sangatlah mengenaskan, Rava juga kepikiran setelah dirinya menasihati Etria karena menghancurkan gerobak-gerobak batagor. Rava takut perkataannya menyakiti hati Etria. Hati Etria sepertinya jauh lebih rapuh daripada bidadari yang lain.     

"Kenapa kamu malah diam saja?" Nada bicara Etria semakin ketus. "Kamu mengasihaniku sehingga tidak mau menasihatiku? Aku tidak perlu dikasihani!"     

Mendengar ucapan yang tidak jelas itu, Rava menggaruk rambutnya. "Eeeerrrr .... Waktu kamu dateng ke taman itu, kamu sebenernya sembunyi dulu, kan?"     

Etria terdiam sejenak. "Iya, memangnya kenapa?"     

"Hatsyi!" Rava bersin dan menggaruk hidungnya. "Aku melihat jejak monster itu menuju ke penjual kacang rebus. Dugaanku sih, kamu sebenarnya menunggu bantuan, tapi karena monster itu mendekati lapak kacang rebus, kamu keluar untuk melawannya, kan?"     

"Itu ...."     

"Jadi ..." Rava kembali menggaruk hidungnya, kesulitan merangkai kata yang tepat. "Yah, artinya kamu sudah tahu .... Intinya kamu sudah jadi lebih baik .... Mungkin kamu sedang menuju ke sesuatu yang lebih baik ...."     

"Kamu ngomong apa, sih?" potong Etria, terdengar jengkel. "Ngomong kok terputus-putus begitu?"     

Akhirnya Rava memutuskan untuk tidak berbicara lagi. Menghadapi orang seperti Etria benar-benar membingungkannya.     

Etria menghela napas panjang. "Aku tahu maksud kamu, kok. Begini-begini, aku mendengarkan kamu. Kalau tempat jualan itu hancur, kasihan orang yang menggunakannya untuk mencari nafkah."     

"Yah, aku ikut senang kamu sudah menyadarinya." Tanpa sengaja Rava meloloskan ucapan itu dari mulutnya.     

"Itu cuma perbuatan yang kecil. Aku ingin menjadi ratu, perbuatan seperti itu tidak ada artinya."     

Untuk kesekian kalinya, Rava bersin. "Errrrr .... Kalau ada dalam situasi seperti itu, menurutku ratu sekalipun akan melakukan hal seperti yang kamu lakukan."     

"Jadi, inti dari omonganmu itu apa?" Nada bicara Etria sedikit meninggi.     

"Kalau dalam hal kecil tidak bisa berbuat baik, bagaimana seseorang akan berbuat baik dalam hal besar saat menjadi pemimpin?"     

Rava takjub sendiri mengapa dirinya sampai bisa berkata seperti itu.     

"Huh, sok bijak sekali kamu?" gerutu Etria, terdengar makin kesal. "Kamu .... Hei, kenapa aku malah mencurahkan hati ke kamu!? Arrrghhhh!!!"     

Etria mengangkat tubuhnya, langsung mengerang kesakitan sambil memegangi punggungnya.     

"K-kamu nggak apa-apa!?" Rava buru-buru bangkit dari kursinya.     

"Pergi kamu!" bentak Etria, kembali terisak. Melihat Rava malah bengong, bidadari itu kembali berteriak, "Kenapa kamu tetap di situ!? Pergiiiii!!!"     

Meski tak tahu kenapa dirinya diusir padahal tadi Etria tak mau ditinggal, Rava memilih untuk menurut. Tak ada gunanya menghadapi orang yang terbawa perasaan seperti itu.     

Saat akan keluar, Rava berpapasan dengan Kacia yang membawa satu mangkuk bubur yang masih mengepul. Bidadari mungil itu memberikan pandangan penuh tanya. Rava pun cuma mengangkat bahu, kemudian bertolak dari kamar itu.     

"Eh? Ini di mana!? Ini bukan kamarku yang biasanya!" Teriakan Etria terdengar saat Rava sudah ada di luar. "Bonekaku! Mana boneka-bonekaku!?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.