A Song of the Angels' Souls

87. Bunga



87. Bunga

0Medora benar-benar terganggu dengan wig model bob dan kacamata besar yang dipakai Robin. Semua itu sangat tidak singkron dengan jambang tipis sang aktor dan fitur-fitur wajahnya yang tegas.     
0

"Kamu suka banget sama mie ayam ya, Lang?" tanya Robin yang sedang duduk di warung mie ayam dengan Medora dan Gilang.     

"Iya, Om!" jawab Gilang, kembali memakan mie ayamnya dengan sangat lahap.     

Medora yang duduk di samping Gilang pun mengusap lembut kepala tuannya itu. "Syukurlah, akhir-akhir ini makannya emang lagi sedikit banget."     

"Kuperhatikan, cara bicaramu nggak baku-baku amat kayak bidadari yang lain, ya?" tanya Robin.     

"Yah, biar Gilang ngerasa lebih nyaman aja, sih."     

Robin mengunyah mie ayamnya sambil sedikit menerawang ke atas, tampak sedang berpikir. "Jadi, Medora. Kalau boleh tahu, kalau udah jadi ratu, kamu mau ngapain?"     

Medora melebarkan senyum, sedikit menyeruput mienya. "Nggak akan menarik kalau diceritakan, sih. Nggak ada yang spesial."     

"Gitu, ya?" Robin manggut-manggut. "Kalau keinginanku sih, biar hidupku lebih tenang, mungkin?"     

"Lebih tenang?" Medora menghentikan kegiatan menyantapnya.     

"Aku bukan dari keluarga yang kaya. Adikku masih sekolah semua. Yah, jadi aktor juga awalnya bisa dibilang beruntung. Ada yang ngajak aku jadi bintang cover majalah remaja." Robin memajang senyum getir, meneguk es jeruknya. "Aku nggak mau hidupku dan hidup keluargaku itu jadi kayak dulu lagi, mau makan aja susah. Mau sekolah aja nunggak terus. Jadinya, yaaah .... Karena terlalu khawatir, aku nerima semua kerjaan yang masuk, walaupun itu bisa dibilang melelahkan, baik secara fisik dan pikiran. Saking nggak ada waktunya gara-gara syuting terus, aku sampai bertahun-tahun nggak pulang ke kampung."     

Setelah berbicara panjang lebar seperti itu, Robin melanjutkan makannya.     

Medora menurunkan tangannya dari meja. Ia merasa bisa mengerti perasaan Robin.     

"Sebenarnya, dulu pun kehidupanku sangat kekurangan. Bahkan aku sampai harus hidup di jalan, jadi gelandangan," desah Medora, sedikit memandang ke arah lain. "Dan itu sangat berat, Robin. Aku nggak mau hidup seperti itu lagi."     

Dahi Robin langsung mengernyit. "Kamu? Secantik itu jadi gelandangan, masa .... Ah, sori."     

"Nggak apa-apa, kok." Medora menggeleng pelan. "Dulu, penampilan fisikku nggak seperti ini, Robin."     

Gilang sudah menandaskan mi ayamnya, sekarang mulai meminum kuah dari mangkok. Sedari tadi, dia tak mendengarkan karena fokus menikmati makanannya.     

"Ah, ngomong-ngomong, aku tidak sabar bertemu dengan bidadarimu, siapa tahu kita bisa bekerjasama," ucap Medora, berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia tak mengerti, mengapa bercerita seperti itu di depan Robin membuatnya sangat tak nyaman?     

"Aah, bidadariku itu .... Bisa dibilang sulit bekerjasama ..." Robin mendesah lelah. "Eh, tapi aku punya beberapa teman bidadari yang oke juga, kok. Mereka yang malah ngajak aku kerjasama duluan."     

Kedua alis Medora langsung menaut. "Apakah teman-teman yang kamu maksud itu dipimpin oleh bidadari bernama Ione?"     

Gilang yang baru saja menghabiskan es tehnya pun sedikit berjengit.     

"Iya, betul." Robin terdengar lebih bersemangat. "Kamu kenal sama mere ...."     

"Kalau begitu, obrolan kita sampai di sini saja," potong Medora, bangkit dari kursi dan menarik tangan tuannya. "Terimakasih sudah mentraktir kami, dan maaf sepertinya kita tidak usah saling berhubungan lagi."     

Tersentak, Robin segera bangkit saat Medora dan Gilang akan meninggalkan warung itu. "Kenapa? Apa kamu musuhan sama mereka?"     

Medora berhenti. Sambil memajang senyum ramahnya lagi, ia berucap pelan, "Bisa dibilang, aku dan mereka memiliki pandangan yang sedikit berbeda."     

"Oke, aku nggak akan cerita kalau aku ketemuan sama kamu, tapi paling nggak kasih aku nomor hape kamu?"     

"Buat apa?" Kening Medora mengerut lagi.     

Robin menelan ludah, agak kesulitan merangkai kata yang tepat. Dia tentu tak bisa berkata kalau dirinya ingin mengenal Medora lebih dalam. "Yah, aku cuma pengen sering-sering ngobrol sama kamu."     

Medora menelengkan kepala. "Aku nggak punya hape, tapi aku bisa memberitahu alamat tempat tinggalku."     

"Boleh! Boleh banget!" Robin semakin bersemangat.     

Medora meminjam pulpen dari penjaga warung mie ayam, kemudian menuliskan alamatnya di balik selembar nota. Setelah menyerahkan nota itu kepada Robin, Medora berpamitan pulang. Dalam langkahnya di jalan, senyum Medora semakin melebar. Robin jelas tertarik kepadanya. Dan itu mungkin akan menguntungkannya. Pria itu, mungkin bersama bidadarinya, bisa ia manfaatkan.     

"Wohoo!" Robin melompat kegirangan sambil mengepalkan sebelah tangannya. Kelakuan yang jelas membuat pengunjung dan penjaga warung itu keheranan. Tidak setiap hari mereka melihat pria kekar dengan rambut bob dan kacamata besar bertingkah absurd seperti itu.     

Setelah membayar makanannya dengan senyam-senyum sendiri, Robin segera menghubungi ojek online. Awalnya, dia akan kembali ke tempat persembunyian untuk bersiap-siap. Ya, dia akan mendatangi rumah Medora secepatnya. Namun, karena kemungkinan besar dirinya hanya akan dimarahi Etria, Robin memilih untuk kembali ke rumah yang disewanya sebelum dirinya bertemu Rava dan kawan-kawan.     

Ia tak bisa melepaskan kesempatan ini. Selain wujud fisik Medora sangat sesuai dengan tipe Robin, bidadari itu sama sekali tak terpengaruh saat mendengar dirinya adalah seorang artis, berbeda sekali dengan wanita-wanita lain yang mengobrol pertama kali dengannya. Robin jadi merasa begitu nyaman di dekat Medora. Belum lagi, Medora terlihat begitu keibuan. Wanita seperti itulah yang Robin cari selama ini.     

Etria memang tidak terpengaruh saat mendengar dirinya adalah seorang artis, tetapi bidadari itu terlalu menyebalkan, juga samasekali tidak keibuan, walaupun fisiknya lumayan. Bidadari yang lain pun juga tak memberikan efek apa pun kepada Robin.     

Baru Medora yang berhasil membuat jantung Robin berdegup tak terkendali.     

***     

"Apa mungkin Robin membenciku, ya?" gumam Etria, berbaring miring sambil memeluk boneka ratunya, membelakangi Kacia yang duduk menemaninya.     

"Aah." Kacia sama sekali tak bisa menanggapi.     

"Aku terus mengomel saat dia didatangi monster. Bahkan aku menahanmu karena masih ingin ditemani, padahal jelas-jelas kamu harus segera melawan monster. Untung saja ada bu Dini yang menawarkan diri .... Mungkin Robin marah besar padaku karena kalian jadi telat membantunya. Sekarang sudah hampir malam hari dan dia belum juga pulang." Etria mulai terisak pelan, mempererat pelukannya ke boneka. "Daridulu aku menyangkal kalau diriku manja dan menyusahkan, tetapi ternyata itu terbukti benar. Di rumahku, kalau melakukan kesalahan atau berbuat hal yang menyebalkan, orang-orang di sekitarku tidak ada yang berani menasihati. Maka dari itu, kalau dinasihati Robin, aku marah-marah .... Aku memang tidak berguna."     

Semakin lama, suara Etria semakin parau. Air matanya pun makin deras mengalir. Perlahan, Kacia pun mengusap punggung bidadari itu, bagian yang relatif mulus tanpa luka.     

"Aku pernah melakukan kesalahan besar. Karena keragu-raguanku, aku membuat Zita lepas, padahal aku hampir mengalahkannya," ungkap Kacia dengan nada lembut.     

"Lalu, bagaimana kamu melupakan kesalahanmu itu? Kesalahanku sudah banyak sekali, dan kurasa diriku akan sangat kesulitan melupakannya." Etria menahan air matanya.     

Kacia mendesah pelan. "Aku pun tidak bisa melupakannya. Barangkali aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Yang bisa kulakukan hanyalah menerima kesalahan itu sebagai bagian dari diriku sendiri, sekaligus berusaha untuk menjadi lebih baik."     

Etria hanya diam seribu bahasa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.