A Song of the Angels' Souls

88. Cita Rasa Dunia Lain



88. Cita Rasa Dunia Lain

0Malam hari, Robin mengenakan setelan kemeja kasual terbaiknya. Rambutnya pun sudah ditata sedemikian rupa dengan gel. Badannya juga sudah disemprot dengan parfum terbaik.     
0

Membawa sebuah buket bunga dan menenteng satu kotak kecil yang dibungkus kertas kado, pria itu mendatangi sebuah rumah sederhana yang cat pintunya sudah sangat pudar.     

Belum juga mengetuknya, pintu itu terbuka lebar. Alih-alih disambut Medora, Robin malah berpapasan dengan seorang pria berkumis tipis dan berambut sedikit mengembang. Keduanya langsung mematung, melongo dan memandang satu sama lain.     

"Eh, Robin?" Medora melongok dari punggung pria itu.     

"I .... Ini?" Robin menunjuk pria tersebut dengan tangan yang mulai bergetar.     

"Ah, ini Dirga, ayah Gilang."     

Dirga memandang buket bunga di tangan Robin, kemudian mengangkat kedua tangannya. Dia sempat mendengus kesal, tetapi memilih pergi melewati Robin begitu saja. "Aku nggak ada urusan. Terserah kalian mau ngapain juga."     

Robin memandang Dirga menjauh, lantas menghadap Medora kembali. "A .... Apa dia?"     

Medora sedikit terkekeh. "Dia tidak ada hubungan apa-apa denganku. Aku cuma numpang di sini saja untuk menjaga Gilang."     

"Aah." Seperti tadi siang, Robin menarik napas lega. Ia lalu mengulurkan buket bunga di tangannya kepada Medora. "Ini."     

"Terimakasih banyak, Robin." Medora memberikan senyuman terlebarnya, menerima buket bunga itu dan menciumnya. "Harum sekali."     

"Dan ini untuk kamu, Lang." Robin sedikit membungkuk, menyodorkan bungkusan kado yang dibawanya kepada Gilang yang muncul di belakang Medora.     

Gilang mengangkat sebelah alis, menerima kado tersebut dan berkata, "Makasih, Om."     

"Kok, kamu nggak semangat gitu? Kamu habis dapat hadiah, loh," celetuk Medora, kemudian berbisik kepada Robin, "Baru-baru ini, dia melihat sesuatu yang membuatnya trauma. Jadi, sekarang dia memang agak murung. Namanya berhubungan sama monster, kan. Aku harap kamu memakluminya."     

"Nggak masalah." Robin pun mengacak rambut bocah cilik itu.     

"Eh, masuk, yuk. Kebetulan aku mau masak, nih. Kamu makan sekalian, ya."     

Robin manggut-manggut sembari mengusap dagunya. "Masakan bidadari? Hmmm .... Apakah ini artinya aku bakal menikmati cita rasa dari dunia lain?"     

Medora terkekeh. "Yah, aku kan belajar resep dari sini. Rasanya ya sama aja seperti makanan pada umumnya."     

***     

Sambil berjalan mundur, Medora menuntun Robin memasuki kamarnya. Bidadari itu memberikan senyum yang berbeda kali. Bukan lagi teduh seperti biasanya, tetapi justru membuat Robin mengangkat alis.     

Begitu keduanya masuk ke kamar, Medora mengunci pintu, kemudian mengalungkan kedua tangannya ke leher Robin. Mereka sedikit tertawa, memandang satu sama lain lekat-lekat, kemudian saling menautkan bibir.     

Awalnya kecupan itu pelan saja. Namun, seiring berjalannya waktu, gerakan bibir mereka semakin intens. Tangan mereka juga mulai meraba satu sama lain. Puncaknya, mereka mulai melepaskan baju masing-masing. Gerakan mereka begitu cepat, seperti orang yang dikejar waktu.     

Tiba-tiba, Robin menjauhkan bibirnya. "Errr, apa nggak apa-apa ada tuan kecilmu itu."     

"Dia kan sudah tidur." Medora terkekeh, mendekatkan mulutnya ke telinga pria itu dan berbisik. "Asal jangan keras-keras."     

Serta-merta, Robin membopong tubuh Medora layaknya seorang putri. Medora nyaris berteriak, tetapi segera menutup mulutnya dan tertawa. Robin melempar tubuh Medora yang nyaris telanjang itu ke ranjang. Kemudian, dia yang juga nyaris tak berbusana pun naik ke atas bidadari itu.     

Selanjutnya, suara yang keluar dari mulut mereka adalah desahan-desahan tertahan penuh kenikmatan. Ranjang reyot tempat mereka berada pun berderit keras, seiring dengan gerakan bergairah yang dibuat oleh Robin.     

Mata Medora mulai berair, mulutnya pun terbuka lebar, tetapi dia menikmati semuanya. Bahkan dia sampai menggapai tangan Robin yang tengah menjelajah tubuhnya, menggerakannya supaya lebih intens membelai dan meremas.     

Kraaakkk!!! Brugggghhh!!!     

Kegiatan mereka langsung terhenti seketika. Kak-kaki ranjang tempat mereka berada itu patah, membuat kasurnya luruh ke lantai.     

"Sepertinya, kekuatanku udah kayak superhero, sampai bisa ngancurin tempat tidur," seloroh Robin.     

Medora berdecak karena mereka belum mencapai puncak saat bencana itu terjadi. "Ini karena tempat tidurnya memang sudah rusak. Ayah Gilang nggak mau menggantinya dengan yang baru."     

"Nanti aku belikan yang baru." Robin pun tertawa, lantas menurunkan wajahnya ke dada Medora. Apa yang dilakukan Robin itu memicu syaraf geli Medora bangkit, namun itu tetap bercampur dengan rangsangan penuh nikmat. Sang bidadari pun memegangi kepala Robin, seolah memberi isyarat agar pria itu melakukan lebih.     

Tiba-tiba, bunyi ketukan terdengar dari pintu kamar itu, disusul suara cempreng khas anak kecil. "Bu? Bu Dor nggak apa-apa? Kok aku denger ada suara keras dari kamar Ibu?"     

"Nggak ada .... Ahnnn .... Nggak ada apa-apa kok, Lang. Ahnnn ...." Medora kesulitan berbicara karena Robin tidak mau berhenti. "Cuma benda jatuh, kok. Ahnnn .... Kamu .... Ahnnn .... Kamu tidur aja lagi."     

"Beneran? Kok, Bu Dor kayak kesakitan gitu?" Gilang terdengar khawatir.     

"Beneran kok, Lang! Nggak ada apa-apa, kok!" Suara Medora pun meninggi, jengkel karena kenikmatannya diganggu.     

"Oh, ya udah kalau begitu," timpal Gilang lirih. Kemudian, suara langkahnya pun terdengar menjauh.     

Mendadak, Robin mengangkat tubuh Medora. Medora pun memeluk erat tubuh kekar pria itu. Tanpa ampun lagi, Robin yang kini berdiri pun menggerakkan tubuh Medora dengan liar, demi memuaskan hasratnya yang makin menggebu.     

Medora menggigit bibirnya, mati-matian menahan diri untuk tak mendesah keras. Sekarang, setiap senti tubuh bidadari itu seperti dialiri listrik, yang bukannya menyarangkan sakit, tetapi justru membangkitkan gairahnya sampai ke awang-awang.     

***     

Medora dan Robin membaringkan diri ke kasur. Robin sudah penuh peluh dan harus mengatur napasnya yang mulai habis. Mereka berdua sudah melalui beberapa babak, tetapi napas Medora masih biasa saja, walau tubuhnya juga penuh keringat.     

"Akhirnya, aku merasakan 'cita rasa' dari dunia lain." Menyadari omongannya yang tak pantas itu, Robin menutupi mulutnya dengan tangan. "Sori."     

Medora tertawa lepas. "Kamu lucu sekali. Tidak apa-apa. Aku suka candaanmu, kok .... Ah, sudah berapa lama ya aku tidak tertawa seperti ini?"     

"Kamu ini emang hebat, Medora. Mungkin kalau nggak kehabisan tenaga, aku bakalan hajar terus."     

Bidadari itu tertawa kembali, memiringkan tubuhnya dan memangkukan kepalanya dengan tangan. Jari telunjuknya pun mulai bergerak menyusuri dada bidang Robin. "Tapi, apa nggak apa-apa kita begini? Apa nanti bidadarimu nggak cemburu?"     

"Nggak usah dipikirin. Dia sama sekali nggak berhak protes. Dia cuma bikin susah aja. Kamu tahu nggak, dia nekat ngelawan monster, padahal kemampuan bertarungnya itu rendah banget! Waktu itu, dia juga masih belum sembuh benar. Jadinya, dia malah tambah luka parah dan ngerepotin yang lain. Aku nggak habis pikir, otaknya itu ada di mana, sih?" cerocos Robin, kemudian mendengus keras. "Dia juga manja. Sukanya marah-marah sama ngerengek-rengek nggak jelas. Pokoknya kayak anak kecil banget, deh."     

Medora tertawa lagi. Ia tak menduga Robin yang macho bisa mengomel panjang seperti perempuan.     

"Sepertinya, bidadarimu itu memang benar-benar punya sifat yang menarik." Sekarang, tangan Medora mulai menggerayangi tubuh pria itu. "Aku jadi ingin bertemu dengannya."     

"Haaaaaa?" Robin mengangkat kepalanya sambil mengernyitkan dahi. "Kok? Harusnya kamu ilfil denger semua itu."     

"Yah, mungkin sesama wanita seperti aku akan bisa mengerti dirinya. Kalau aku bisa menyentuh hatinya, barangkali dia juga bisa berubah menjadi lebih baik."     

Robin tertawa masam, kembali menaruh kepalanya ke kasur. "Hmmm, bisa jadi, sih. Bidadari yang lain belum ada yang berbicara dengannya dari hati ke hati .... Ada sih, tapi cuma sebentar aja. Sebentar banget."     

"Kujamin, aku ini berbeda, Robin." Medora menempelkan pipinya ke dada pria itu. "Yah, tapi aku nggak bisa melakukannya kalau nantinya aku harus bertemu dengan Ione dan kawan-kawannya itu."     

"Sebenarnya, apa yang membuat hubungan kalian nggak akur?"     

"Aku hanya .... Ah, aku kesulitan menjelaskannya. Jiwa mereka itu terlalu pahlawan, sementara aku hanyalah gelandangan. Mereka ingin semuanya dilakukan demi kemaslahatan orang banyak. Intinya mereka nggak suka cara pandangku yang .... Yah, bisa dibilang aku ini kan egois, mementingkan diri sendiri demi keluar dari kemiskinan. Mereka nggak suka aku yang begitu."     

Robin manggut-manggut, sedikit mencibir. "Berkorban untuk orang banyak itu hanya bisa dilakukan kalau dirimu sudah selesai dengan dirimu sendiri. Kalau tujuan hidupmu udah tercapai semua, kamu nggak udah nggak mikirin ekonomi diri sendiri sama keluarga lagi, terus kamu juga udah nggak punya masalah pribadi yang berat, barulah kamu bisa berkorban banyak tanpa merasa kehilangan."     

"Heeeiiii, kamu bisa jadi bijak juga ternyata." Medora tertawa lagi.     

"Itu cuma ngutip omongan orang di medsos." Robin terkekeh. "Oke, aku bakal pindah lagi ke rumah kontrakanku yang dulu, biar kamu nggak ketemu sama yang lain .... Tapi, apa kamu beneran harus ketemu Etria? Bisa dibilang, begitu-begitu dia ingin jadi ratu demi kemaslahatan orang banyak. Barangkali pandangannya sama saja kayak Ione dan teman-temannya itu."     

"Yah, paling nggak aku ingin nyoba ngobrol sama dia. Aku kan juga perlu teman seperjuangan," desah Medora, kali ini mengusap pipi Robin. "Tapi, dia nggak akan keberatan kan kalau kita bersenang-senang lagi?"     

Perlahan, Robin pun tersenyum lebar, lantas menjawil bagian bawah tubuh Medora yang sensitif, memicu bidadari itu sedikit berjengit.     

"Kamu nakal, ya?" ledek Robin.     

Medora pun menjilat bibirnya sendiri dengan gerakan sensual.     

***     

Robin memakirkan mobilnya di rumah persembunyian milik Stefan. Ia menghela napas, sebenarnya begitu malas untuk turun. Akan tetapi, Etria yang menjadi bebannya ada di dalam. Tidak pantas juga terlalu lama membiarkan bidadarinya yang terluka itu.     

Robin mengecek ponselnya, tak menghiraukan puluhan panggilan dan pesan dari Etria. Ia pun menunggu sesuatu, mumpung dirinya belum bertemu yang lain.     

Begitu mendapat panggilan dari salah satu nomor, ia tersenyum puas, lantas menempelkan ponselnya ke telinga.     

"Halo, Medora. Kamu sudah segitu kangennya sama aku sampai ngehubungi aku sekarang? Kita berpisah belum lama, loh. Baru juga berapa menit." Robin terkekeh-kekeh.     

"Bukannya, gitu," desah Medora dari seberang sana. "Kamu gila, ya. Kita kan belum lama kenal, tapi kamu udah berani masukin hape ke buket bunga."     

Robin mengangkat bahu. "Aku cuman pengen kenal kamu lebih deket lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.