A Song of the Angels' Souls

89. Kerinduan



89. Kerinduan

0Senja telah menjelang, Robin membopong Etria turun dari mobil, kemudian menaruhnya ke kursi roda yang sudah disiapkan Herman.     
0

"Kamu beneran nggak mau tinggal dengan kami aja, Mas?" tanya Stefan yang juga turun dari mobil. "Kami sangat terbuka, loh. Bidadari yang lain juga dengan senang hati bakal bantuin Etria."     

"Kami udah ngerepotin kalian," jawab Robin, tersenyum lebar. "Tenang aja, udah ada orang yang ngurusin Etria, kok. Etria kan luka parah bukan cuma sekarang. Mbak yang ngurusin nggak pernah nanya macem-macem juga."     

"Yah, padahal cukup menyenangkan ada kamu, Robin," ucap Ione, sedikit memicu Stefan untuk mengedikkan bahunya.     

Sambil memangku boneka ratunya, Etria mengangkat dagunya dengan angkuh, kemudian menjalankan kursi rodanya tanpa berbicara lagi, mendatangi sebuah rumah besar bercat hijau di tengah perumahan mewah itu.     

Sang aktor sedikit menghela napas. "Aku mohon jangan diambil hati, ya."     

"Aku nggak ngelihat sesuatu yang ofensif kok, Mas. Jadi, aku samasekali nggak masalah," seloroh Stefan, sedikit mengembangkan senyum.     

Ione dan Robin pun tertawa. Robin lantas berpamitan, membawa barang-barang ke dalam rumah dengan bantuan Herman, kemudian langsung menghampiri kamar yang biasa ditempati Etria. Di sana, sang bidadari sudah berbaring di kasur, tubuhnya sedang diseka oleh si asisten rumah tangga, seorang perempuan muda dengan rambut pendek dan tubuh agak gemuk.     

Melihat tubuh Etria yang hanya dibaluti perban di beberapa bagian, Robin mengalihkan pandangan. "Mbak Vania, kalau udah selesai, bikinin kopi, ya."     

"Siap, Mas," jawab sang asisten rumah tangga, memeras handuk kecil di atas baskom berisi air hangat, kemudian melanjutkan kegiatannya. Beberapa menit melakukan hal itu dalam diam, dia pun mengeringkan tubuh Etria dengan handuk yang lebih besar, kemudian bangkit sambil membawa peralatannya. "Sudah, Mbak Etria. Kalau ada apa-apa lagi, panggil saya saja."     

"Hmmm .... Tumben kamu nggak marah-marahin mbak Vania?" ceplos Robin, duduk di kursi dan mengecek ponselnya.     

"Hmph!" Etria pun mengambil posisi tengkurap.     

"Kamu juga kok nggak marahin aku yang nggak pulang-pulang?"     

"Akume ngomel, kamu tidak suka! Aku diam, malah ditanya seperti itu!" Akhirnya, Etria pun bersuara cukup kencang. "Aku sudah mau mengakui kesalahanku! Mungkin kamu marah denganku yang membuat bantuan dari yang lain terlambat! Makanya, sekarang aku ...."     

Mendapati Robin malah fokus ke layar ponsel, Etria mendengus keras, mengalihkan mukanya dari tuannya tersebut.     

Awalnya, Robin ingin membuka chat dari Medora. Namun, melihat pesan dari manajernya, ia mengurungkan niatnya tersebut. Ia pun berdecak, mulai merasa tak nyaman. Dia sudah memberitahu kepada sang manajer agar tak menghubunginya, karena dirinya ingin fokus mengurus Etria.     

Robin berharap, pesan itu bukan masalah pekerjaan.     

Sayangnya, harapan sang aktor sirna. Sang manajer justru memberikan tawaran sinetron. Dia juga menambahkan kalau sinetron itu akan dibintangi artis-artis ternama, dan pembiayaannya sangat tidak main-main, sayang kalau dilepas.     

Degup jantung Robin mulai meningkat. Pemikiran-pemikiran berlebihan mulai muncul di kepalanya. Kalau dia melepaskan kesempatan ini, mungkinkah karirnya akan terkena dampaknya? Rumah produksi yang membuat sinetron itu juga membawahi film-film televisi yang biasa ia bintangi. Apakah nanti rumah produksi itu akan enggan memakai jasanya lagi?     

Kalau dia sampai tak dapat pekerjaan lagi, bagaimana keluarga dan adik-adiknya? Bagaimana kalau mereka tidak bisa melanjutkan sekolah seperti dirinya dulu?     

Haruskah dirinya benar-benar menerima tawaran sinetron itu? Membuat film televisi saja sudah membuat fisik dan mentalnya terkuras, bagaimana dengan syuting sinetron striping yang dilakukan setiap hari dan kadang tak mengenal waktu?     

Robin mengatur napasnya yang mulai liar. Dia tidak boleh begini. Pikiran-pikiran absurd itu hanya akan mengganjal langkahnya.     

"Kenapa kamu seperti itu lagi, Robin? Ketika awal-awal kamu memutuskan ke kota ini, kamu juga seperti itu. Ada apa sebenarnya?" tanya Etria, penasaran dengan tingkah tuannya.     

"Bukan urusan kamu," jawab Robin, mulai memberikan chat makian kepada manajernya. Dia tentu tak bisa berkata kepada Etria bahwa meliburkan diri dari kegiatan akting memang selalu membuatnya seperti itu. Kekhawatiran kalau karirnya bakalan terdampak pasti menghantui pikirannya.     

"Kata Vania, botol kecil berwarna putih di laci kamarmu itu adalah obat penenang. Kalau bisa menenangkan kamu, kenapa kamu tidak meminumnya? Kenapa botol itu masih disegel?"     

Wajah Robin langsung menyeringai kepada Etria. Dengan suara seperti menggeram, Robin pun berkata, "Itu juga bukan urusan kamu."     

Robin tak mau tergantung kepada obat kimia seperti itu. Walaupun sudah divonis oleh psikiater, dia sengaja menjauhi obat tersebut. Memang, terkadang ada momen-momen saat dirinya nyaris membuka botol itu, tetapi pada akhirnya dia bisa bertahan.     

"Kalau begitu, kamu harus lebih fokus menjalankan misi ini bersamaku, Robin. Kamu ingin bisa hidup tenang tanpa perlu merasa terlalu khawatir lagi, kan?" serang Etria.     

Tawa meremehkan pun terlontar dari mulut Robin. "Setelah kupikir-pikir, aku nggak bisa melihat orang mati di depanku, Etria. Aku nggak mau ikut bertanggung-jawab atas nyawa orang lain, walaupun mereka berasal dari dunia lain dan aku nggak akan dihukum karenanya. Udah terlalu banyak yang mengganjal pikiranku. Aku nggak mau ditambahi beban lagi."     

"Apa kamu bilang!?" Etria mengangkat tubuhnya, langsung meringis menahan sakit. Lukanya masih jauh dari kata sembuh.     

"Makanya, aku memutuskan untuk menitipkan kamu ke bidadari-bidadari itu. Biar aku bisa lepas dari semua ini." Dengan gestur seolah tidak peduli, Robin kembali berkutat dengan ponselnya. "Katanya, energi kehidupan Rava itu melimpah, jadi dia bisa menjadi tuan untuk lebih dari satu bidadari. Maaf, tapi menurutku ini jalan yang terbaik. Aku udah muak dengan pemilihan ratu b*llsh*t ini."     

Etria sudah akan membantah, tetapi mengurungkan niatnya. Ia kembali menaruh kepalanya ke bantal, tak mau menghadap tuannya lagi.     

"Pergi," desis sang bidadari dengan suara parau, seperti orang yang ingin menangis.     

"Oke kalau kamu nggak butuh energi kehidupan dariku." Robin bangkit dari kursi dan pergi begitu saja.     

Robin tak peduli lagi. Dia sudah punya seseorang yang membuat hatinya nyaman. Seseorang yang membuatnya bisa mengusir semua kekhawatiran dalam dirinya. Seseorang yang membuatnya ingat bahwa hidup di dunia itu tidak melulu tentang sesuatu yang buruk. Ya, Robin sudah merasa punya seseorang untuk pulang.     

Dan berbeda dengan orang-orang dulu ada di dekatnya, Medora pasti tak akan membuatnya kecewa. Wanita itu berbeda. Robin yakin sekali.     

Dari kamar Etria, Robin pergi ke kamarnya sambil senyam-senyum sendiri, memperhatikan foto-foto sensual yang dikirimkan Medora. Sang bidadari bahkan berani memperlihatkan bagian-bagian privatnya, walaupun dengan ekspresi malu-malu dan wajah merona merah. Robin tak menduga wanita dengan muka sekalem Medora bisa senekat itu. Memang sangat melenceng dari ekspektasi, tetapi Robin justru sangat menyukainya.     

Di matanya, Medora makin sempurna saja.     

Robin melemparkan tubuhnya ke kasur. Rangkaian foto Medora diakhiri dengan rekaman suara dan sebuah tautan peta.     

"Aku ingin sesuatu yang lebih menantang. Kamu temui aku di tempat ini ya, Robin." Desahan pelan Medora terdengar dari rekaman suara itu, begitu sensual dan menggoda, langsung memicu naiknya hasrat Robin.     

Robin bangkit dari kasurnya, nyaris tertawa kegirangan. Meski baru berpisah dengan Medora tadi malam, rindunya sudah tak tertahankan. Dia ingin menjamah tubuh bidadari itu kembali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.