A Song of the Angels' Souls

91. Botol Kecil



91. Botol Kecil

0Begitu keluar dari rumah itu, Medora berguling menghindari tiga panah Kacia yang datang beruntun kepadanya. Kacia pun melompat dari pohon untuk menghadang Medora, yang masih saja menggendong Bagas di pelukannya.     
0

"Kenapa kalian tidak langsung mengonfrontasiku ketika melihat aku dengan Robin?" tanya Medora sengit.     

"Karena, Ione mengira, Robin belum tentu percaya kalau langsung diberitahu," jawab Kacia, membidik Medora dalam jarak yang cukup dekat. "Robin belum lama mengenal kami. Dia tentunya belum bisa percaya sepenuhnya dengan kami."     

"Tadinya, Ione ingin memberitahu Robin pelan-pelan, tetapi malah terjadi hal seperti ini," sambung Lyra, yang kini memasang kuda-kuda hanya beberapa meter di belakang Medora.     

Medora sedikit tertawa getir. "Huh, kalian mengulur waktu, kan? Untuk apa? Agar Robin datang dan melihatku yang seperti ini? Kan, tidak perlu juga. Kalian sedang merekamku. Tinggal tunjukkan saja kepada Robin nanti."     

Rava memang merekam apa yang sedang terjadi dengan ponselnya. Pemuda itu menjaga jarak dengan berdiri di dekat pintu depan.     

"Tidak, kami hanya ingin berbicara denganmu lagi." Kacia menurunkan busurnya. "Kita jarang bertemu muka seperti ini. Kami ingin menggunakan ...."     

Ucapan Kacia itu membuat tawa keras Medora meledak. Gilang yang sudah diturunkan oleh bidadari itu sampai berjengit mendengarnya. Walau tak sesinting milik Zita, tawa itu terdengar sangat dipaksakan dan tidak natural.     

"Aku muak dengan idealisme menjijikan kalian!" Medora menyeringai bengis, mendadak berlari ke samping. Gilang yang ditinggalkan pun cuma bisa melongo.     

"Ugh!" Rava berjengit kesakitan saat memencet salah satu di tangannya. Kecepatan Lyra langsung meningkat drastis, tetapi Medora keburu lompat melewati pagar besi. Di dekat jalan, Medora langsung menerjang ke arah seorang ibu yang sedang menggendong bayi.     

Namun, dalam sekejap saja, Lyra berhasil menangkap tubuh Medora. Keduanya pun langsung tersungkur di jalanan berpaving.     

"Lepaskan aku, atau cakarku akan menembus kulit mulus bayi ini," ancam Medora, tersenyum puas.     

Rava mengumpat dalam hati. Karena bahu yang cedera, kecepatannya memencet tanda jadi jauh berkurang, membuat Medora punya cukup waktu menyahut bayi itu.     

Perlahan, Lyra melepaskan pegangannya dari tubuh Medora. Keduanya lalu bangkit. Lyra mengangkat kedua tangannya, sementara Medora menimang-nimang bayi yang baru diambilnya tersebut, layaknya ibu yang mengasuh anaknya dengan kasih. Bayi yang usianya kelihatan belum genap setahun itu tak merespon. Tentu saja, karena jelas Piv telah membekukannya beserta manusia lain yang ada di sekitar huru-hara para bidadari itu.     

"Kamu cantik sekali bayi kecil." Medora mendekatkan jari-jemari bercakarnya ke leher sang bayi. Melihat Lyra dan Kacia memasang kuda-kuda dengan mata fokus, jelas sekali menunggu dirinya lengah, Medora pun mengangkat bayi itu tinggi-tinggi dengan sebelah tangan.     

Semua yang ada di situ pun berjengit, termasuk Etria yang sudah memakai baju tempurnya walau masih berjalan sangat tertatih.     

"Jangan ada yang berbuat apa pun," ujar Medora santai, seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan dia sekarang memajang senyum teduh yang biasa. Ia pun memberikan isyarat tangan kepada tuannya. "Bagas, sini."     

Awalnya Bagas cuma bisa terhenyak dan mematung dalam diam. Namun, melihat senyum penuh arti dari bidadarinya itu, bocah kecil itu pun keluar dari area rumah, menghampiri Medora dengan tubuh lesu dan gemetar.     

"Medora? Apa yang kamu lakukan?"     

Medora menoleh ke arah suara Robin itu berasal, yakni di ujung jalan. Robin turun dari punggung Ione dengan ekspresi kebingungan bercampur ngeri,     

"Padahal, kamu berkata paling anti digendong bidadari." Medora tertawa getir.     

"Aku yang memaksanya," jawab ione tegas, baru saja menurunkan Stefan yang dibopongnya dengan kedua tangan. "Kalau dia menggunakan mobil, kamu bisa mendengar kedatangannya dari jauh."     

"K-kamu lagi ngapain, Medora?" ulang Robin, berjalan lunglai menghampiri bidadari itu.     

Agak jauh dari sana, Etria mengamati Robin dengan mata menyipit dan urat-urat wajah yang menegang.     

"Huh, sepertinya sudah tidak ada yang disembunyikan lagi." Medora kembali memajang senyumnya. "Singkatnya, aku ini bukan wanita baik-baik, Robin."     

"Dia pernah berkhianat dua kali. Paling tidak, itu yang aku tahu," serang Lyra dengan nada dingin, seperti biasa tanpa mengubah ekspresi.     

Robin menarik napas begitu panjang. Matanya yang kini sendu hanya bisa terhujam ke hamparan paving di jalanan. "Kamu memanfaatku, kan?"     

Alih-alih menjawab pertanyaan Robin, Medora menurunkan tangannya yang memegang bayi, kemudian menggendong Gilang dengan satu tangannya yang bebas. "Jangan ada yang mengejar, atau bayi ini akan mati. Tenang saja, aku akan menaruhnya di suatu tempat yang mudah untuk ditemukan. Aku tidak sekejam itu, kok."     

Tak ada yang menjawab.     

"Selamat tinggal, Robin." Setelah memberikan senyum samar kepada Robin, Medora melompat pergi dari tempat itu.     

***     

Sambil duduk di ruang tamu rumahnya, Robin menunduk dalam-dalam. Etria yang duduk di kursi roda cuma memerhatikan tuannya dengan ujung bibir yang begitu turun, sama sekali tidak berbicara.     

Tak berapa lama kemudian, Rava, Stefan, dan para bidadari lainnya masuk.     

"Bayinya sudah ditemukan dan selamat," terang Ione pelan.     

Robin mengusap wajahnya. "Syukurlah."     

"Mumpung semuanya ada di sini, aku ingin mengatakan sesuatu, Robin," ucap Etria dengan suara parau, menghapus tetesan-tetesan cairan bening yang sudah muncul di ujung matanya. "Aku minta, kamu lepas kontrak kita sekarang juga."     

Robin langsung terhenyak. "Eh?"     

"Kamu mendatangi bidadari bernama Medora itu karena ingin menggantikanku dengannya, kan?" tanya Etria sinis, mati-matian menahan diri agar suaranya tidak meninggi. "Pantas saja kamu ingin membuangku ke kelompok Rava."     

"Bukan begitu Etria ...."     

"Kamu juga sudah tidak punya ambisi untuk memenangkan pertarungan ini, kan?" potong Etria. Aliran airmatanya makin deras. "Aku juga sama. Aku tidak punya keinginan memenangkan pemilihan ratu ini. Aku harus menerima kenyataan pahit. Aku ini cuma beban. Aku tidak bisa bertarung. Aku tidak akan mungkin bisa jadi juara, sekuat apa pun tekadku."     

Kacia berjongkok di samping Etria. Bidadari mungil itu mengusap lengan Etria sebagai tanda simpati.     

Robin sudah akan membantah, tetapi memutuskan untuk menahan diri. Pada kenyataannya, dia cuma tergoda dengan sosok Medora. Pria itu tak punya keinginan mengganti Etria. Dia justru ingin lepas dari pemilihan ratu yang menyita waktu dan tenaganya ini, dan nantinya menjalin hubungan lebih serius dengan Medora.     

Paling tidak, itu yang dipikirkannya. Sekarang, mimpi kecilnya itu hancur lebur.     

Etria berbalik untuk menghadap kelompok Rava. Bidadari itu sempat membisu sejenak, melirik ke arah lain, tampak begitu ragu, sebelum akhirnya berkata lirih, "Kalau boleh, aku ingin bergabung dengan kalian .... Aku tidak meminta apa pun. Aku cuma ingin perlindungan saja .... Aku mohon ...."     

Mengembangkan senyum lebar, Ione berjongkok di hadapan Etria. "Selamat bergabung."     

"Biar kuhubungi pak Herman untuk membawakan mobil." Stefan pun turut mengembangkan senyum.     

***     

Robin duduk di kursi kamarnya, memandangi satu botol kecil obat penenang yang masih saja tersegel. Lagi-lagi seperti ini. Dia merasa sudah mempunyai seseorang yang bisa menjadi 'rumahnya,' orang yang menyayangi dirinya dan bisa menjadi tempatnya berkeluh-kesah. Namun, pada akhirnya semua itu tak sesuai ekspektasinya.     

Sedikit tawa getir pun meluncur dari mulut pria itu. Bodoh. Bukannya dia ini belum terlalu lama mengenal Medora? Terlalu sebentar bahkan. Dia terlalu terbuai dengan kesempurnaan bidadari.     

Perlahan, Robin mengangkat ponselnya dan menghubungi Medora. Bukan apa-apa, dia hanya perlu jawaban atas pertanyaan yang menyesakkan dadanya.     

"Halo, Robin."     

"Aah." Robin tercekat, tak menduga kalau Medora akan mengangkat panggilannya itu. "Aku nggak akan basa-basi. Aku cuma mau tahu kenapa kamu ngelakuin itu."     

"Daripada membujukmu menjadi tuanmu, aku merasa cara paling cepat adalah membunuh Etria. Kamu yang tidak punya bidadari pasti akan langsung mau menerimaku. Kamu sudah mabuk kepayang denganku," jawab Medora, terdengar sinis. Namun anehnya, di saat yang sama suaranya juga dihiasi sedikit parau. "Lagipula, kalau membujukmu menjadi tuanku saat Etria masih hidup, maka kelompok Ione akan merekrut Etria menjadi bagian dari mereka. Mereka sudah kebanyakan anggota. Aku tidak mau mereka tambah kuat."     

"Jadi, semua itu palsu?"     

"Tentu saja, dan kamu dengan mudahnya tertipu. Sebegitu hausnyakah kamu dengan kasih sayang?"     

"Bye." Tidak kuat lagi, Robin menutup panggilan itu. Ia mematikan ponselnya, melemparnya ke atas kasur, kemudian membungkuk sambil meremas kepalanya.     

Botol kecil berisi obat penenang itu belum juga disentuhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.