A Song of the Angels' Souls

92. Kembali



92. Kembali

0Ibu Rava terus bertanya kepada Herman yang tengah membolak-balik potongan daging di atas alat panggangan barbeque. Asap dan bau daging yang menggugah selera sudah menguar dari alat tersebut.     
0

Sepertinya, cara memasak ala barat itu memicu rasa penasaran ibu Rava.     

"Kamu pasti sekarang tambah senang kan, Rav?" celetuk Stefan, menempati meja makan yang sengaja dipindah ke halaman belakang rumah itu. Meja makan itu memang berat, tetapi dengan kekuatan para bidadari, membawanya keluar jadi seperti memindahkan kardus.     

"Senang bagaimana, Mas?" tanya Rava yang duduk di sebelah Stefan, meneguk minuman ringannya.     

"Karena haremmu tambah satu lagi."     

Serta-merta, Rava menyemburkan minumannya. Dengan sigap, Lyra yang duduk di hadapannya menghindar. Ione pun tertawa keras, sementara Kacia mengedik-ngedikkan kedua bahunya tanda tak nyaman.     

"A-aku nggak mikirin begituan," ucap Rava yang wajahnya mulai dihiasi rona merah. Mendapati kedua bidadarinya membuang muka, Rava semakin salah tingkah.     

Ione sedikit menghela napas, menoleh ke arah rumah. "Sayang sekali, Etria tidak mau ikut."     

"Pasti berat baginya. Setelah merasa dibuang sama Robin, dia terpaksa memohon untuk ikut dengan kita. Aku nggak tahu kalau di dunia bidadari gimana, tapi kalau di sini biasanya orang seperti Etria itu punya pride yang tinggi. Dia tidak akan memohon seperti itu kalau tidak benar-benar terpaksa," tutur Stefan.     

"Yah, kurasa masalah orang kaya dan bangsawan di dunia kami sama saja dengan di bumi: harga diri mereka kadang terlalu tinggi," balas Ione, menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.     

"Tapi, aku yang sekarang tidak seperti itu," celetuk Lois yang baru datang, melompat turun dari atap rumah. "Aku tahu, harga diri berlebihan itu tidak ada gunanya di saat-saat tertentu."     

"Kami sedang tidak membicarakan dirimu, tetapi Etria, Lois," timpal Ione.     

Lyra sedikit mendesah. "Kalau bertamu, seharusnya kamu mengetuk dari pintu depan, Lois. Kamu kan seharusnya diajarkan sopan-santun dalam kebangsawanan."     

"Halo, saudariku." Lois memberikan senyum lebar, lantas mengambil satu botol minuman ringan dari kotak pendingin.     

"Kak Marcel nggak ikut, Lois?" tanya Stefan, hanya menyadari kedatangan satu orang.     

Lois mengangkat bahu, sedikit nyengir. "Kakakmu akhir-akhir ini sibuk sekali, Stef."     

Stefan sedikit mengerutkan kening saat mendengar nada bicara Lois yang terkesan agak dilebih-lebihkan itu. Namun, dia memilih untuk diam saja.     

"Ayok, makan-makan!" Ibu Rava datang sambil membawa piring-piring yang agak mengepul. Ia pun membagikan piring-piring berisi steak itu ke meja.     

"Aku ke kamar Etria dulu, ya. Biar kuantarkan makanan ini, sekalian menemaninya," ucap Kacia, bangkit dan membawa dua piring steak.     

Tak ada yang protes. Walaupun anggota yang ada di situ jadi berkurang, mereka semua mulai makan.     

Baru saja memasukkan sepotong daging ke mulutnya, Rava bangkit dari kursi. "Bu, aku ambil nasi, ya."     

"Ibu juga ambilin, Rav!" seru ibu Rava. "Sekalian satu ceting di bawa ke sini! Siapa tahu ada yang mau!"     

Herman dan Stefan sedikit terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala.     

"Duh, kebiasaan. Kalau tidak di depan orang asing, makanmu jadi bar-bar begini," ujar Lyra, mengelap mulut Lois yang belepotan saos barbeque.     

"Aku kan bukan bangsawan lagi dan kalian sudah kukenal dengan baik," jawab Lois, yang menusuk satu steak itu dengan garpu, dan menggigitnya banyak-banyak. Dia samasekali tak mau repot-repot memotongnya terlebih dahulu.     

"Haha, memang sifat-sifat seperti itu sulit dihilangkan, ya," timpal Ione, melakukan hal yang sama persis. Bahkan mulutnya lebih penuh dari Lois.     

"Aah, kita keburu makan, lupa kalau Robin belum datang," celetuk Stefan, dengan mulut yang juga sama-sama penuh.     

"Ah, tapi Robin sudah sampai, kok," ucap ione dengan mulut penuh, melihat layar ponselnya. "Sebentar, ya."     

Ione beranjak dari sana, menuju ke dalam rumah. Hanya dalam waktu beberapa detik, dia sudah menarik Robin ke halaman belakang.     

Robin hanya bisa pasrah dirinya dibawa meja makan. Ia pun didudukkan ke salah satu kursi oleh Ione. Kemudian, dengan senyum ramah, ibu Rava menaruh sepiring steak ke hadapannya.     

"Kalau mau pake nasi loh, Mas," tawar ibu Rava, menunjuk ceting bambu berisi nasi yang baru dibawa Rava.     

Robin pun nyengir melihat ceting itu. Namun, itu cuma bertahan sebentar saja, bukannya makan, dia malah menunduk lesu. "Kenapa kalian masih menerimaku, padahal aku membuat kesalahan yang nggak termaafkan? Etria sampai hampir mati gara-gara aku."     

"Terus, kenapa kamu datang memenuhi undangan kami?" kekeh Ione.     

"Aku dulu hampir membunuh Kacia, dengan senjataku sendiri pula," jawab Lois, kali ini makan dengan lebih anggun. "Dan mereka di sini tidak lagi mempermasalahkannya."     

"Bahkan saat ini Ione dengan bodohnya masih mengharapkan Medora bergabung dengan kami," sahut Lyra.     

"Hei, siapa yang kamu bilang bodoh?" gerutu Ione, tetapi terdengar tidak serius. Kemudian, dia tersenyum kepada Robin. "Begitulah Robin, barangkali benar kata Lyra, aku dan mungkin Stefan .... Kacia juga .... Mungkin Rava juga .... Pokoknya kami semua orang-orang bodoh yang tidak memikirkan kesalahan masa lalu orang lain, dan bahkan berharap orang lain tersebut bisa berubah. Yah, asal kamu tidak gila seperti Zita."     

Robin merenung sejenak, berusaha mencerna kata-kata Ione. "Aku masih belum ngerti. Bisa-bisanya kalian memaafkanku semudah itu?"     

"Sudahlah, lebih baik kamu makan saja," celetuk Ione, kembali menggigit steaknya.     

Robin mengangkat kepalanya, melihat yang lain terus menikmati makanan, diselingi dengan obrolan kecil. Hanya kegiatan pesta kecil-kecilan, cuma makan dan mengobrol, tetapi mengapa dirinya iri kepada mereka?     

Mereka terlihat begitu hangat.     

***     

Acara makan sore itu telah usai. Senja telah menjelang, setelah mengobrol cukup lama, akhirnya mereka mulai beres-beres. Rava berniat membuang satu tas plastik berisi sampah ketika Robin mendatanginya.     

"Bisa ngomong sebentar, Rava?" tanya sang aktor.     

Rava mematung dengan mulut melongo, sebelum akhirnya menjawab, "Boleh."     

"Kamu ini punya bau orang khawatiran dan suka overthinking," desah Robin, sedikit memijati keningnya. "Sifatmu yang begitu agak mirip sama aku, walaupun aku lebih bisa menyembunyikannya. Yang ingin kutanyakan adalah, apakah kamu pernah merasa kesepian? Kalau iya, bagaimana cara kamu menghadapinya? Sekarang kamu kelihatannya nggak kesepian."     

"Itu ...." Karena tak terlalu mengerti arah pertanyaan Robin, Rava tak kunjung bisa menjawab.     

"Kalau soal kesepian, kamu salah nanya ke orang, Mas," celetuk Stefan, mendatangi kedua pria itu. "Rava ini masih punya rumah, masih punya keluarga. Bahkan sebelum ketemu para bidadari, dia nggak kesepian karena masih ditemani ibunya."     

Rava sedikit mengingat masa lalunya yang suka mengurung diri di kamar. Ya, walaupun kehidupannya waktu itu tidak bisa dibanggakan, tetapi dirinya masih bisa bertahan karena ibunya. Paling tidak, dia tahu, apa pun yang terjadi, ibunya itu tak akan meninggalkannya.     

"Makanya, aku iri sama Rava. Ibuku meninggal waktu masih kecil, ayahku .... Yah, anggap saja ayahku itu kurang pandai menjadi orangtua. Memang ada pak Herman, tetapi hubungan kami masih terasa seperti asisten dan atasan," lanjut Stefan, memberikan senyum getir. "Sementara itu, teman-temanku .... Intinya, orang-orang di sekitarku cuma mau berteman denganku karena ada maunya. Jadinya yah, aku kesepian. Sampai akhirnya, aku ketemu Ione dan bidadari-bidadari lainnya, juga Rava sama ibunya."     

"Keluarga, ya?" Robin menggaruk rambutnya.     

"Maaf kalau nanya begini. Apa hubungan Mas Robin sama keluarganya nggak baik?" tanya Rava hati-hati.     

"Nggak, sih. Aku masih berhubungan sama mereka lewat hape. Aku juga masih ngirimin uang buat mereka. Cuma yah, aku emang jarang banget pulang."     

"Mas Robin bekerja keras buat keluarganya, ya? Aku dengar, Mas Robin juga membiayai biaya sekolah adik-adiknya. Tapi, apakah Mas nggak pernah bertanya, apakah cuma materi yang mereka inginkan dari Mas Robin?" Stefan melebarkan senyum getirnya. "Kalau aku, sih. Jujur aja udah terlalu muak sama materi yang dikasih sama ayahku."     

"Aah." Robin pun tertawa kecil. Ia menertawakan dirinya sendiri yang terlalu bodoh. Mengapa dia sampai repot-repot mencarinya di luar? Padahal tinggal pulang saja, apa susahnya?     

Mungkin dia akan dilanda kekhawatiran karena harus berhenti berakting untuk sementara. Pemasukannya akan berkurang dan risiko untuk tidak dipakai lagi oleh rumah produksi tentunya masih ada.     

Barangkali, ini saatnya mengabaikan pemikiran-pemikiran itu? Paling tidak, untuk sementara.     

"Thanks, kayaknya aku udah nemu jawaban yang kucari." Mengangkat bahu, Robin meninggalkan dua orang itu. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel, langsung menghubungi seseorang.     

"Halo?" Dari ponsel itu, suara perempuan yang begitu familier di telinga Robin pun terdengar.     

Robin yang menempelkan ponsel itu ke telinga pun berkata, "Mak, besok Robin pulang."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.