A Song of the Angels' Souls

93. Berlatih



93. Berlatih

0Lois membuka pintu kamar Marcel dari luar, langsung mendapati tuannya itu terbaring lemah di kasur. Tangannya tersambung ke selang infus. Lois hampir menghela napas saat melihat kondisi Marcel yang kini begitu pucat, kurus, dan bermata sangat sayu.     
0

"Kamu memanggilku, Marcel?" tanya Lois, menempati kursi di dekat tiang infus.     

"Anggun mau pulang ke sini. Sebenarnya, aku sudah bilang ke dia supaya jangan pulang dulu. Kondisiku masih begini ...." Marcel terbatuk keras.     

"Minum?" Lois mengambilkan segelas air putih di atas meja kecil.     

Marcel sedikit meneguk air itu, kemudian menghela napas dan memijati keningnya. "Tapi, dia tetap nekat buat datang ke sini. Mungkin juga nanti dia ke rumahku. Jadi, aku minta kamu untuk mengungsi dulu ke hotel atau ke mana terserah, sampai Anggun kembali ke luar negeri."     

"Aku sih tidak masalah." Lois mengangkat bahunya. "Tapi, apa kamu punya tenaga untuk menemuinya dengan kondisi seperti ini?"     

"Berapa kali harus kubilang, hal seperti bukan urusanmu."     

"Ya, sudah. Terserah. Tidak ada hal lain yang ingin dibicarakan, kan?" Lois bangkit, langsung berjalan meninggalkan tuannya itu. "Tenang saja, aku belum memberitahu Stefan tentang kondisimu, walaupun aku heran bahkan di saat seperti ini, kamu tetap merahasiakannya dari keluargamu sendiri .... Ah, aku lupa, itu kan bukan urusanku."     

"Lois, sebentar." Marcel bangkit ke posisi duduk, suaranya kini terdengar serak.     

Lois yang sudah akan membuka pintu pun berhenti, kembali menatap tuannya. "Ada apa?"     

"Kamu masih ingin menjadi ratu, kan?" tanya Marcel dengan nada penuh penekanan. "Aku masih membutuhkanmu untuk menggampai keinginanku."     

Sang bidadari tercenung. Cukup lama, sampai Marcel nyaris akan mengulangi pertanyaannya, tetapi Lois keburu keluar kamar.     

***     

Lois menaruh tas ranselnya ke lantai rumah kontrakan. Lyra yang baru membukakan pintu untuknya pun melipat tangan di dada.     

"Kejutan," ucap Lois, tersenyum dan merentangkan kedua tangannya.     

"Hei, kamu ingin menginap di sini, Lois?" tanya Ione, menghampiri dua bidadari itu.     

"Kekasih Marcel mau datang ke negeri ini, jadi aku disuruh mengungsi dulu."     

Lyra mendesah pelan. "Kamu kan bisa tinggal di hotel saja."     

"Membosankan kalau cuma di hotel. Lebih baik di sini, dengan saudariku yang tercinta." Tiba-tiba Lois memeluk tubuh Lyra erat-erat. Lyra tidak membalas pelukan itu, tidak pula berusaha melepaskanya. Ia cuma mendesah lagi.     

"Wah, aku baru pernah melihat sisi Lois yang seperti ini. Ternyata Lois benar-benar sayang denganmu, Lyra," kekeh Ione.     

Awalnya Lois diarahkan untuk menempati kamar yang masih kosong, tetapi dia bersikeras untuk tidur dengan Lyra. Setelah melalui perdebatan kecil, akhirnya Lyra mengalah. Lois pun menaruh tasnya di kamar saudari angkatnya itu, kemudian berganti kaos dan mengenakan hot pants pendek yang biasa Lyra gunakan untuk berlatih. Tentu saja dia mengambilnya tanpa izin.     

"Etria mana?" tanya Lois, menyampirkan handuk kecil di pundaknya. "Dia sudah sembuh total, kan?"     

"Dia ada di kamarnya. Sudah berapa hari dia mengurung diri." Ione yang sedang duduk-duduk di ruang tengah bersama Stefan pun menunjuk ke salah satu pintu kamar. "Mungkin baru kemarin dia benar-benar sembuh .... Dan sekarang kamu akan mengajaknya berlatih?"     

"Betul sekali." Lois tersenyum ceria     

Ione menyipitkan matanya untuk mengamati pakaian yang membalut tubuh Lois. "Kamu dan saudaramu itu benar-benar tidak suka pakai bra, ya?"     

Mendengar hal itu, Stefan sedikit berjengit. Lois pun memeriksa dadanya, memegangnya, kemudian menggerak-gerakkannya naik-turun.     

"Memangnya kelihatan? Ah, kalau berjalan pasti kelihatan, mereka bergerak-gerak, sih. Tenang saja, kaosnya tidak akan transparan, kok. Beda dengan yang dipakai Lyra. Jadi, Rava tidak akan heboh kalau melihatku berkeringat," kekeh Lois, menghampiri kamar Etria.     

Lois membuka pintu kamar Etria begitu mendadak, sampai membuat Etria berjengit hebat, nyaris meloncat dari kasur.     

"N-nona Lois!?" Etria gelagapan melihat idolanya itu.     

"Selamat pagi, Etria! Daripada kamu berdiam di kamar begini, lebih baik kamu ...." Lois mengangkat sebelah alis saat menyadari Etria tengah berkutat dengan jarum, benang, busa isian boneka, dan kain berbagai warna. "Aah, kalau begitu selesaikan itu dulu. Kali ini kamu ingin membuat siapa?"     

Etria melongo untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab. "Aku ingin membuat boneka Kacia, Nona. Mungkin dialah yang paling baik denganku sejak aku datang ke bumi. Aku ingin memberikan sedikit apresiasi. Hanya ini yang bisa kulakukan."     

"Jadi, aku ini tidak baik, begitu? Tidak butuh apresiasi?" ledek Lois.     

Etria langsung gelagapan. Mulutnya sudah membuka dan menutup bak ikan di akuarium, tetapi tidak ada satu pun kalimat yang bisa diucapkannya.     

"Becanda." Lois terkikik pelan. "Aku sangat suka boneka buatanmu, sampai boneka yang berwujud diriku kubawa pulang. Nanti kukembalikan. Hari ini aku membawanya, kok."     

"Bawa saja, Nona. Justru suatu kehormatan kalau Nona Lois mau menerimanya." Etria kembali berkutat dengan potongan kain. "Yah, barangkali cuma ini kemampuan yang bisa saya banggakan, Nona."     

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu berlatih."     

"Eh?" Etria menatap Lois kembali, kemudian menunduk, kembali menghentikan kegiatannya. "Mohon maaf, tapi apa gunanya saya berlatih? Saya sudah tidak berniat untuk mengikuti pemilihan ratu ini. Saya di sini hanya bersembunyi mencari perlindungan."     

Lois sedikit mencondongkan tubuhnya kepada Etria. "Apa kamu tidak ingin melawan monster? Sebelum menjadi pemimpin tertinggi, ratu kita juga suka membasmi monster, kan? Kudengar, kamu masih bisa bertahan beberapa kali sebelumnya dari serangan monster. Itu artinya, kamu sebenarnya punya potensi."     

Etria menelan ludah. "Tapi, pada akhirnya saya malah terluka parah karena gegabah."     

"Memangnya, yang lain tidak pernah membuat kesalahan sampai membuat dirinya terluka? Aku saja pernah beberapa kali. Kalaupun hal itu terjadi lagi kepadamu, yang lain akan menolongmu. Kamu sudah menjadi bagian dari grup Ione dan kawan-kawannya, kan? Kemudian, dengan berlatih, peluangmu menghindari hal seperti itu akan jadi lebih besar. Pokoknya, aku tidak mau ada alasan lagi! Kamu harus berlatih! Ini juga untuk melatih mentalmu supaya tidak manja! Nantinya kamu akan menjadi orang yang lebih baik!" cerocos Lois cepat, sampai membuat Etria melongo. "Eh, tapi kamu selesaikan dulu saja boneka itu."     

Etria tercenung sejenak, akhirnya menarik napas dan menaruh alat jahitnya. Menatap Lois, ia pun berucap, "B-baiklah. Akan saya coba."     

"Lalu, bonekamu?"     

"Masih butuh beberapa hari lagi sampai selesai."     

Lois manggut-manggut dengan senyum puas terentang di bibir. "Kamu mungkin terlambat, baru memulai latihan yang benar dari sekarang. Tapi percayalah, terlambat berlatih itu lebih baik daripada tidak berlatih sama sekali. Tenang saja, aku pernah ada di posisimu. Aku tahu caranya membuatmu jadi lebih baik."     

Sengatan panas seolah menyambar kedua mata Etria. Nyaris tersedu, ia pun menyeka kedua cairan bening di ujung matanya itu. Padahal, dia sudah begitu terpuruk, tetapi masih ada orang yang peduli dengannya.     

"Baiklah, saya siap, Nona!" Akhirnya, suara Etria berubah menjadi lebih lantang.     

"Aah, satu lagi. Jangan panggil aku Nona. Cukup Lois saja."     

***     

"Akhhh!!!" Untuk kesekian kalinya, Etria merasakan hujaman tongkat kayu Lois di perutnya. Keseimbangan Etria pun langsung oleng, membuatnya jatuh terduduk. Tongkat yang dipegangnya pun tergelincir lepas.     

Lois melipat tangan di dadanya, menunggu Etria untuk bangkit. Namun, Etria cuma duduk diam, memandang ke bawah dengan napas yang sudah tak terkendali.     

"Ini bukan pedang betulan! Kamu cuma sakit sedikit! Sebentar lagi juga sembuh!" bentak Lois dengan suara menggelegar, membuat Etria terhenyak hebat. "Cuma sampai di sini ternyata tekadmu, hah!? Yah, kamu memang lebih pantas jadi putri bangsawan yang menunggu jodohnya saja! Yang kerjanya cuma minum teh dan ngobrol-ngobrol cantik saja!"     

Lois menyentuhkan ujung tongkat kayunya ke dagu Etria. Kemudian, tongkat kayu dengan panjang sedang itu Lois gerakkan untuk membuat wajah Etria menghadapnya.     

"Sayangnya, kamu ini bukan bangsawan. Kamu hanya anak orang kaya yang bertingkah layaknya bangsawan. Bangsawan atau putra orang kaya lain tidak akan memilihmu. Mereka tentunya akan meminang putri bangsawan. Paling tidak, putri bangsawan punya kedudukan. Sementara kamu? Paling-paling kamu akan menikah dengan seseorang yang ingin mengambil-alih harta kekayaan keluargamu saja," serbu Lois sinis. "Pada akhirnya, kamu cuma sampah, cuma beban. Mengurus diri saja kamu tidak bisa, kan? Kamu itu tidak punya kemampuan apa pun. Kalau harta keluargamu habis, kamu hanya akan menjadi makanan hidung belang. Kamu ini mangsa yang sangat-sangat empuk."     

Air mata Etria kembali turun. Namun, kali ini dia menahannya mati-matian. Ia kembali menunduk. Kedua tangannya terkepal erat. Perlahan, ia pun mengambil tongkatnya, kemudian bangkit, memandang nyalang wajah Lois.     

"Huh!" Lois tertawa meremehkan. "Berikan tatapan seperti itu kepadaku kalau kamu sudah bisa menyerangku!"     

"Heaaaa!!!" Etria mengayunkan pedangnya secara vertikal, tetapi dengan mudah Lois menghindarinya.     

"Latihan seperti ini sebenarnya lebih untuk membentuk mental Etria, sih," celetuk Ione yang duduk di undakan pintu belakang, mengamati Lois yang terus saja menghindari serangan Etria. "Aku jadi penasaran dengan guru Lyra dan Lois. Apakah dia juga berbicara kejam seperti itu?"     

Menyadari Stefan yang duduk di sampingnya tak merespon dan wajahnya berubah sangat serius, Ione pun bertanya, "Kenapa, Stef?"     

Stefan melepaskan earphone yang dipasang di sebelah telinganya. "Aku kan ngirim orang buat meriksa gudang tempat Robin diundang itu. Di sana ternyata ada mayat Yohan, tuan Ursa itu. Dia dikubur di belakang salah satu gudang."     

"Zita tidak akan mau repot-repot mengubur korbannya. Kalau misalkan tuan Ursa itu dibunuh Medora, berarti Ursa dibunuh duluan oleh Medora. Kalau tidak lepas kontrak dan bidadarinya masih hidup, seorang tuan kan tidak boleh dibunuh bidadari lain," desah Ione, memeluk kakinya dan memangkukan dagunya ke lutut. "Jujur, Stef. Lama-lama aku ragu, terutama setelah kejadian dengan bayi itu, apakah Medora itu memang masih punya cahaya di hatinya dan patut diselamatkan, atau dia seperti Zita, yang akan terus berbuat keji?"     

Stefan hanya bisa membisu seribu bahasa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.