A Song of the Angels' Souls

97. Krisis 3



97. Krisis 3

0Ione membunyikan serulingnya, memaksa monster itu membeku total. Para bidadari pun bahu-membahu melancarkan serangan, memberikan luka-luka ke bagian depan tubuh sang monster. Sekarang, bagian itu sudah tertutup cairan hitam nyaris seluruhnya.     
0

"Iiiiii!!!" Ketika sudah bisa bergerak lagi, sang monster mengayunkan ekor dan kedua tangannya. Hampir semua bidadari yang ada di situ bisa menghindar. Kecuali Kacia, yang tubuhnya terserempet tangan si monster. Bidadari bertubuh mungil itu berputar-putar di udara dan menyambar Etria. Seperti efek domino, Etria pun ikut terlempar dan punggungnya mengenai Rava. Keduanya pun jatuh telentang, saling menindih.     

"Ughhh ...." Rava merasakan nyeri di badannya. Napasnya sesak karena tubuhnya tertindih Etria. Tak hanya itu, kedua tangannya juga bisa merasakan sensasi kenyal, kencang, dan membuatnya nyaman. Ingin memastikan apa itu, Rava pun meremas-remasnya.     

"Kamu pegang apa, hah!?" Etria yang pantatnya diremas Rava pun meloncat bangkit, kemudian plak! Bidadari itu menampar pipi Rava.     

"S-sori," ucap Rava sambil memegangi pipnya yang seperti disengat panas. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri, yang tak segera menyadari itu pantat Etria dan malah meremasnya.     

"Hmph!" Etria pun berjalan cepat menjauhi tuannya iru.     

Rava menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha melupakan sensasi yang menyenangkan, tetapi terasa sangat salah itu.     

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Kacia, menghampiri Rava, tetapi dia sendiri meringis kesakitan sambil memegangi pinggangnya.     

"N-nggak apa-apa, kok," ucap Rava, berdiri dengan bantuan Kacia, kendati beberapa bagian tubuhnya masih dihinggapi nyeri.     

"Benar tidak apa-apa?" Bukannya memeriksa bagian tubuh Rava yang ditabrak Etria, Kacia malah memeriksa bekas tamparan di pipi pemuda itu, dengan berlebihan pula.     

"B-beneran." Rava jadi grogi karena tangan hangat Kacia yang menyentuh-nyentuh pipinya. "Kamu fokus bertarung aja."     

Setelah memeriksa untuk beberapa detik lagi, Kacia pun meninggalkan tuannya itu, kembali kepada para bidadari. "Kalau masih ada yang terasa sakit, bilang ke aku, Rav."     

Rava menggaruk kepalanya kembali, heran kenapa masalah tamparan saja bisa membuat Kacia begitu khawatir.     

"Bisa kamu ceritain rasanya, Rava?" celetuk Stefan yang sedari tadi berdiri diam di sebelah Rava, berdehem pelan. "Aku kan sudah nggak bisa melihat, lebih baik kamu jelasin sensasinya, Rav. Kamu megang sesuatu, kan?"     

"N-nggak, Mas! Aku nggak megang apa-apa!" kilah Rava, yang tanpa alasan jelas wajahnya mulai memerah lagi.     

Di sisi lain, Ione melempar sebuah batu besar ke sang monster yang kembali bergelung. Tentu saja batu itu hanya memantul, tak memberikan bekas apa pun ke sisik keras sang monster. "B*j*ngan tengik!"     

"Kalau dia bangkit lagi, lukanya pasti akan sembuh," desis Lyra, mengibaskan kedua pedangnya, membuang cairan hitam yang melekat di senjatanya itu.     

Lois berdecak keras. "Kita cuma berputar-putar saja kalau begitu. Lama-lama stamina dan energi pelindung kita akan habis."     

Ione mengamati luka yang dibuat Lois bagian tengah kepala si monster. "Luka di situ belum sembuh .... Lois, coba kau tusukkan pedangmu ke luka itu, tapi miring saja."     

"Ah, benar juga." Lois pun menghampiri si monster, langsung menuruti perkataan Ione, menusukkan rapier-nya secara diagonal ke luka tersebut.     

"Iiiii!!!" Monster itu kembali mengeluarkan raungan melengking yang memekakkan telinga. Ia pun melepaskan diri dari perlindungannya, kembali berdiri sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya.     

"Yes! Luka-lukanya belum sembuh!" seru Ione girang. "Ayo, kita serang lagi."     

Para bidadari pun bahu-membahu menyerang monster itu kembali. Ketika si monster lagi-lagi bergelung, Lois akan kembali menusukkan pedangnya secara diagonal ke luka di kepala monster tersebut. Begitu seterusnya.     

***     

Monster itu tak kunjung tumbang, padahal luka-luka di tubuhnya sudah begitu banyak. Entah sudah berapa kali dirinya bergelung untuk melindungi diri. Para bidadari memanfaat momen sang monster begelung lagi itu untuk beristirahat, sebelum akhirnya Lois menusukkan pedangnya lagi. Etria beberapa kali harus bolak-balik untuk memberikan minum dan makanan untuk sekedar menambah tenaga.     

Duduk di trotoar, Rava mengecek jam di ponselnya. Sudah pukul dua dini hari. Kepalanya terasa berat dan mulutnya sudah berkali-kali menguap. Dia membayangkan betapa nikmatnya merebahkan diri dan memejamkan mata, di atas trotoar sekali pun.     

Namun, dia masih harus mengawasi pertarungan para bidadari, yang masih tak jelas juntrungannya. Kalau mereka menyerah, nanti monster itu akan menyerang orang-orang. Sementara, bila tetap bertahan, kondisi bidadari sudah mulai di titik nadir. Napas mereka sudah habis, gerakan mereka sudah melambat, dan tubuh mereka dipenuhi lebam-lebam karena serangan monster.     

Apakah mereka harus benar-benar menyerah, seperti waktu itu, ketika mereka meninggalkan gelombang monster-monster yang akhirnya menghilangkan banyak nyawa?     

Mendengar dengkuran keras, Rava menengok ke arah Etria yang sedang berbaring, tetapi itu hanya sebentar saja sebelum dirinya mengamati pertempuran kembali. Posisi tidur Etria benar-benar tidak anggun. Bidadari itu telentang, dengan kedua lutut menekuk, dan kaki yang mengangkang. Karena bidadari itu memakai baju tempur yang bawahannya pendek sekali seperti celana dalam, selangkangannya jadi terlihat cukup jelas oleh Rava.     

Sang monster kembali bergelung menjadi bola. Para bidadari pun beristirahat untuk kesekian kalinya. Lois membaringkan tubuhnya ke aspal, sementara yang lain duduk. Kecuali Ione yang malah mendatangi Etria.     

Dengan tubuh berlumur cairan hitam, Ione menepuk-nepuk pelan pipi bidadari berbusana tempur biru muda itu. "Etria, bangun! Sekarang saatnya kamu bersinar!"     

Tak ada respon samasekali. Ione pun melanjutkan usahanya. Tak hanya menepuk-nepuk pipi, Ione juga mengguncangkan tubuh Etria, menggelitikinya, meneriakkan sesuatu di telingannya, bahkan sampai meremas buah dadanya.     

"Ahnnn ...." Bukannya bangun, Etria malah mendesah keenakan. "Rava, jangan .... Kamu nakal. Ya .... Ahnnn ...."     

Stefan yang duduk di sebelah Rava pun sedikit terkikik. Rava mengerjap-ngerjapkan matanya, tak mengerti mengapa dirinya ada di mimpi Etria.     

Sekarang, Etria malah memiringkan tubuhnya dan membelakangi Ione. Tak tahan lagi, Ione menghujamkan serulingnya ke belahan pantat Etria.     

"Auwwww!!!" Etria pun meloncat bangun, meringis kesakitan sambil mengusapi pantatnya.     

Rava sampai menutupi mulutnya saat melihat adegan itu. Seruling Ione memang tidak sampai menancap ke lubang pantat Etria, tetapi tetap saja Rava tak bisa membayangkan rasanya.     

"Ada apa, Rav?" tanya Stefan. "Teriakan itu kedengerennya menyakitkan banget."     

"I-itu, Mas .... Etria pantatnya ditus .... Etria dipukul Ione biar bangun!" Bahkan untuk mengucapkannya saja, Rava sudah merasa ngilu.     

Etria terys mengelus-ngelus pantatnyaya sambil memandang Ione dengan mata berkaca dan bibir bagian bawah yang ditarik ke dalam.     

"Ayo." Namun, Ione tak peduli dan tetap menarik Etria. "Kamu yang kondisi fisiknya paling bagus. Hanya kamu yang bisa melakukan ini."     

Etria berontak, tetapi dia kalah tenaga, padahal stamina Ione seharusnya sudah berkurang jauh. "Aku tidak mau! Lepaskan aku! Kamu sudah jahat padaku!"     

Melihat pemandangan itu, Lois pun bangkit dan langsung memegangi kedua tangan Etria erat-erat. "Seperti yang Ione bilang, hanya kamu yang bisa melakukan ini. Aku mohon Etria. Ini adalah kesempatanmu untuk benar-benar berperan dalam membasmi monster."     

Etria sempat melongo sambil mengamati wajah penuh permohonan Lois, sebelum akhirnya mengangguk pelan.     

"Baiklah, tugasmu adalah masuk ke salah satu luka di perut monster itu. Setelah menghentak-hentakan kakinya, monster itu akan menyerang membabi-buta, tetapi tetap terpaku di tempatnya. Posisinya jadi stabil. Nah, kami akan memasukanmu pada saat itu. Di dalam perut monster, kamu bebas melakukan apa pun, mencubiti, menarik-narik organnya, atau memukul-mukul, pokoknya terserah. Yang terpenting, kamu harus benar-benar menyakitinya," terang Ione dengan cepatnya, kemudian memegangi lengan Etria. "Lyra, pegangi dia."     

"Eh?" Etria tak sempat bereaksi banyak ketika Lyra memegangi lengannya yang satu lagi.     

"Aku dan Kacia yang akan mengalihkan perhatiannya." Tahu-tahu, Lois sudah mendekati sang monster, hendak menusuk kepalanya lagi untuk kesekian kalinya.     

"Sebenarnya akan lebih maksimal Medora yang masuk. Dia bisa mencakar-cakar di dalam, tetapi seperti biasa Piv seenaknya sendiri dan tidak mengundang semua bidadari," cerocos Ione lagi. "Dan kita tidak punya kontak Medora. Robin cuma tahu alamat rumahnya, tetapi mungkin kita akan butuh waktu lama untuk membujuknya. Jadi maaf, kami terpaksa menggunakan kamu."     

Mata Etria pun membelalak begitu lebar, seperti akan lepas dari tempatnya. "Eeeeeh!?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.