A Song of the Angels' Souls

99. Mengapa Kamu Menolak Keindahan, Rava?



99. Mengapa Kamu Menolak Keindahan, Rava?

0Berbaring di kasur lantai, Rava menatap langit-langit kamarnya. Padahal, tadi dia sudah sangat mengantuk, tetapi sekarang memejamkan matanya tak memberi dampak apa pun. Dia masih saja terjaga. Dulu, kalau Kacia dan Lyra luka-luka, dia lebih memilih tidur di kursi, sementara kedua bidadarinya itu menempati ranjang dengan kondisi nyaris telanjang. Sekarang, gara-gara dipaksa Lois, dia harus berdekatan dengan para bidadari. Kacia melintang di atasnya, Lyra di sisi kanannya, dan Lois di sebelah kirinya.     
0

Lyra dan Kacia masih menggunakan selembar kecil kain putih untuk melindungi bagian bawah tubuh, tetapi Lois memilih untuk tak memakai apa-apa sama sekali.     

Rava menghela napas. Jantungnya sekarang seperti akan meledak dan kedua pipinya bak sedang disundut bara api.     

"Rava, apakah kamu sudah tidur?" bisik Lois.     

Sedikit terhenyak, Rava pun menjawab. "B-belum."     

"Aku ingin bertanya kepadamu, Rava," lanjut Lois, terdiam sejenak. "Kenapa kamu selalu seperti itu? Ada bidadari-bidadari cantik di sekitarmu, tapi kalau dalam situasi 'seksi,' kamu malah menghindar. Kalau Marcel aku paham, dia kan sudah punya kekasih. Kamu yang aneh, seperti tidak mengapresiasi keindahan di sekitarmu. Kenapa kamu seperti menolak keindahan, Rava?"     

Cukup lama Rava mencernya pertanyaan itu. Sama sekali tak menatap Lois, pemuda itu pun menjawab, "Yah, i-itu yang emang seharusnya dilakukan, kan? A-aku nggak mau jadi orang mesum. L-lagipula, aku selalu grogi kalau hal-hal seperti itu terjadi."     

"Intinya kamu ini polos dan pemalu?" Lois terkekeh pelan. "Barangkali karena bidadari-bidadari di sekitarmu tidak memberikan persetujuan .... Ah, waktu aku menggodamu di kafe itu juga reaksimu sama saja."     

Lois pun mengubah posisinya menjadi miring, kemudian bergeser mendekati pemuda itu. Rava yang mulai bisa merasakan napas Lois pun menoleh, langsung mendapati wajah bidadari itu sudah sangat dekat dengannya. Belum lagi bagian tubuh mulus Lois yang mulai menempel di lengannya. Rava jadi tak bisa berkata-kata.     

Pemuda itu bisa merasakan kehangatan dan kelembutan kulit Lois.     

"Aku cuma mau membuktikan, kamu ini benar-benar lelaki atau tidak, sih?" Lois pun menangkap tangan Rava. Rava berjengit saat tangannya dipaksa Lois untuk menjelajah lekukan tubuh bidadari itu.     

Semakin merasakan lembut dan hangatnya tubuh Lois, pikiran Rava jadi kacau. Ia sama sekali tak sanggup melawan. Sendi-sendinya seolah kehilangan energi dan tak bisa digerakkan.     

"Rasakan, Rava," desah Lois dengan nada menggoda. "Tubuh seperti inilah yang para lelaki idamkan. Tidak perlu takut, tidak perlu menolak, aku bukan monster."     

Perlahan, Lois menggerakkan tangan Rava menuju dadanya. Otak Rava kini benar-benar tak bisa bekerja.     

"Mungkin, sesekali kamu harus mengapresiasinya. Jangan anggap sebagai bencana, tetapi anugerah. Supaya kamu terlatih dan tidak canggung. Memangnya, kalau menikah, kamu mau menghindari istrimu?"     

Tangan Rava semakin dekat dengan dada bidadari itu.     

"Apa yang sedang kamu lakukan, hah!?" bentak Lyra, tiba-tiba menjambak rambut saudari angkatnya itu.     

"Auw!" jerit Lois kesakitan. "Memangnya kenapa kalau aku melakukan ini? Dia kan bukan kekasihmu!"     

Sekarang lengan Rava yang lain bisa merasakan sensasi kenyal dan empuk dari buah dada Lyra. Itu gara-gara Lyra yang mencondongkan tubuhnya untuk menarik rambut Lois. Rava merasa seluruh darahnya naik ke kepala, membuatnya dihinggapi sensasi melayang.     

"T-tetap saja perbuatan kamu itu salah!" hardik Lyra, kemudian menarik Lois, membuat kepala Rava terperangkap dada dua bidadari itu. Dada yang tidak tertutupi apa pun.     

Kacia pun terhenyak bangun karena keributan yang terjadi, langsung mendapati pergumulan antara Lyra dan Lois.     

***     

Byur! Lois melemparkan dirinya ke kolam renang yang dikelilingi pepohonan asri. Setelah berenang sedikit, ia mengangkat tubuhnya dan menyisir rambutnya yang basah dengan tangan.     

"Aah, segarnya!" ucap bidadari yang memakai bikini merah itu.     

Di pinggir kolam renang, Etria yang memakai bikini warna pelangi tengah duduk dengan kaki lurus yang terbuka, terlihat seperti anak kecil. Ia sibuk mencomoti kue sus dari sebuah kotak yang cukup besar. Mulutnya tak henti-hentinya mengunyah.     

"Kalau makannya terlalu banyak, kamu bisa sakit perut saat berenang, loh," celetuk Ione yang berjongkok di hadapan Etria itu. Ione mengenakan bikini ungu yang ukurannya tampak kekecilan, membuat lekuk tubuhnya lebih menonjol daripada bidadari yang lain.     

Rava yang tadi sekilas melihat penampilan Ione pun langsung bisa menebak, Stefan-lah yang memilih bikini itu sebelum kehilangan penglihatan.     

Etria cuma melirik Ione sebentar, kemudian melanjutkan kegiatan makannya. Ione pun mengangkat bahu dan akhirnya melompat ke kolam renang. "Yuhuuu!!!"     

"Kamu tidak ikut berenang, Rav?" tanya Kacia kepada Rava yang malah rebahan di dipan kayu dekat kolam renang.     

Bukannya langsung menjawab, Rava malah mematung, terpesona dengan bidadarinya itu. Berbeda dengan yang lain, tubuh Kacia dibalut baju renang one piece warna putih bersih, begitu cocok dengan tubuhnya yang mungil dan kulitnya yang cerah.     

"Rava?" Kacia pun sedikit menelengkan kepala.     

"Aah." Rava langsung gugup dan mengalihkan pandangan. "Nanti aja, Kacia."     

"Oke, aku duluan, ya?" Tersenyum ceria, Kacia pun mendatangi kolam renang. Dia duduk di tepian terlebih dahulu, tidak asal melompat seperti yang lain. Setelah mengayun-ngayunkan kakinya di dalam air sejenak, ia akhirnya turun.     

"Jangan jelaskan penampilan mereka, Rav. Aku tidak sanggup mendengarnya," celetuk Stefan tiba-tiba, menempati dipan di sebelah Rava. Suaranya terdengar begitu sendu.     

Rava cuma menggaruk rambutnya kebingungan. Tentu saja dia tidak akan menjelaskan. Mengamati saja dirinya tidak berani.     

"Huh, kukira kau sudah bisa melakukannya, Rava? Kamu tadi sempat memperhatikan tubuh Kacia, tetapi malah mengalihkan pandangan, kan?" celetuk Lois yang sudah ada di tepian kolam renang., langsung membuat Kacia berjengit. "Nikmatilah pemandangan ini, Rava! Ione dengan bokongnya, Lyra dengan dadanya, aku dengan kakiku! Kalau tidak menyukai sesuatu secara spesifik, ada Etria yang proporsinya serba seimbang!"     

Sekarang Etria yang berjengit. Ione pun tertawa terbahak-bahak mendengar racauan Lois, sementara Stefan mendesah dengan nada mengenaskan. Dan Rava pun cuma bisa mematung di dipan kayu, dengan wajah yang sudah begitu memerah bak tomat matang.     

"Dan jangan lupa dengan Kacia yang .... Kacia .... Yang ....." Lois menoleh kepada Kacia. Bidadari dengan tubuh mungil dan cenderung kurus itu cuma melongo. "Dan Kacia dengan pesonanya!"     

Tanpa diduga-duga, Kacia memajang wajah kecewa.     

Tak mendapat respon dari Rava, Lois berdecak keras. "Kamu lelaki bukan sih, Rav!?"     

"Sudahlah, dia memang orangnya begitu, tidak mesum seperti kamu," celetuk Lyra yang memakai bikini coklat, mengambang mendekati saudara angkat. Secara ajaib, hanya kedua buah dada dan wajahnya saja yang menyembul di air.     

"Wow." Etria langsung melompat ke pinggiran kolam renang. "Punyamu kok bisa begitu!?"     

"Lihatlah, Rav!" Lois menjawil buah dada saudari angkatnya itu. "Punya Lyra serbaguna! Bisa jadi pelampung! Kamu tidak perlu takut akan tenggelam!"     

Perkataan itu langsung memantik rasa penasaran Rava. Refleks dia pun bangkit ke posisi duduk. Dia sempat akan mengalihkan pandangannya lagi. Namun, dia justru teringat perkataan Lois tadi malam.     

"Jangan anggap sebagai bencana, tetapi anugerah. Supaya kamu terlatih dan tidak canggung."     

Barangkali ada benarnya juga. Kalau seperti ini terus, dia benar-benar bisa jantungan. Dia harus berlatih agar terbiasa dengan situasi seperti itu. Akhirnya, ia pun mencondongkan tubuhnya, mengamati aset Lyra dengan lebih seksama.     

Kulit putih yang dihiasi tetesan-tetesan air yang berkilau, dada yang lekukannya seperti dibuat oleh seniman tinggi. Sebuah ciptaan yang memang indah dipandang.     

Menyadari dirinya diperhatikan seperti itu, Lyra buru-buru menutupi dadanya dengan tangan, membelakangi tuannya itu dan memberikan lirikan sinis. "Ternyata, sebenarnya kamu ini memang mesum."     

Semangat Rava tiba-tiba anjlok. Ia membungkuk dan memegangi kepalanya seperti orang depresi. Gara-gara Lois, dia mendapat pandangan yang membuatnya merasa jadi seperti tokoh antagonis betulan.     

"Kok, kamu malah menolaknya, Lyra!? Harusnya kamu senang tuanmu lebih perhatian denganmu!" dengus Lois, kemudian naik ke permukaan dan mendatangi Rava dengan langkah cepat.     

Begitu mengangkat wajahnya, pemuda itu melihat dada Lois yang bergoyang naik-turun dengan liar, tampak semakin dekat dengannya.     

Dan tahu-tahu, Rava bisa merasakan empuknya pantat Lois di pahanya. Ya, Lois duduk di pangkuan Rava, merangkul pemuda itu dengan mesra. Dada bidadari itu pun menekan tubuh Rava.     

"Hei! Apa yang kamu lakukan!?" raung Lyra, berenang cepat ke tepian.     

Terbahak keras, Lois pun bangkit dan berlari kabur. "Aku mau ambil minum dulu!"     

Sementara itu, Rava tetap pada posisinya, kaku seperti patung. Matanya membuka sangat lebar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.