A Song of the Angels' Souls

86. Rebecca



86. Rebecca

0Robin memasuki sebuah minimarket dengan agak sempoyongan. Ia menggerutu dalam hati. Mengapa minimarket itu sangat jauh dari rumah persembunyian? Mengendarai motor dalam kondisi sangat mengantuk adalah pekerjaan yang cukup sulit. Dia harus benar-benar harus menjaga konsentrasi.     
0

Wig model bob dan kacamata besar Robin langsung menarik perhatian pengunjung dan pekerja minimarket. Namun, ia tak peduli. Pria itu fokus menuju ke lemari pendingin untuk mengambil minuman energi, dan mungkin nanti ke rak makanan kecil untuk orang-orang di rumah. Kantuknya sudah begitu berat.     

Ketika akan membuka lemari pendingin, ponselnya berdering. Ada telepon dari Etria. Robin menarik napas lega, berarti bidadarinya itu sudah sadar. Akan tetapi, mengangkat telepon itu berarti akan mendengar omelan panjang. Dia sudah akan mematikan panggilan itu, hanya saja hatinya merasa kasihan kepada sang bidadari yang sudah mengalami banyak hal buruk. Pasti hati Etria semakin sakit kalau merasa tidak diperhatikan.     

Pria itu menarik napas lagi, lantas mengangkat panggilan itu. "Halo ...."     

"Kamu ke mana, sih!? Aku tergeletak luka-luka begini, kamu malah pergi begitu saja! Aku kan butuh energi kehidupan kamu untuk bisa cepat sembuh! Kalau aku tidak sembuh-sembuh bagaimana!? Kamu tega sekali membiarkanku seperti ini! Memangnya, di luar sana ada yang lebih penting daripada aku!? Aku ini sekarat, Robin! Tanyakan kepada dirimu sendiri, apakah pantas kamu keluar seperti itu! Sekarang ...."     

Robin langsung menyesali keputusannya. Tersenyum masam, ia menurunkan ponselnya dan memasukannya begitu saja ke saku kemeja, tanpa mematikan panggilan itu. Biar saja bidadarinya mengomel sampai puas, lebih baik dirinya melanjutkan belanja.     

Setelah mengambil minuman energi, Robin berbalik, hanya untuk menghela napas panjang, sekarang karena orang-orang di minimarket itu membeku.     

"B*ngsat B*ngsat B*ngsat B*ngsat B*ngsat B*ngsaaaaat!" umpat Robin dengan bernada, kemudian menenggak minuman energinya sampai habis. Setelah itu, dia kembali mengambil ponselnya.     

Prangggg!!!     

Robin terhenyak hebat sampai ponselnya terjatuh. Tubuh seorang sosok perempuan menghantam dinding kaca minimarket sampai pecah, kemudian berguling-guling di antara serpihan-serpihan tajam. Sosok dengan rambut ikat dan baju abu-abu beraksen sobek-sobek itu segera bangkit dengan bantuan rak barang, lantas tanpa sengaja menoleh kepada Robin yang berdiri dengan pose aneh, seperti bangau karena sebelah kakinya terangkat. Robin cuma bisa mengerjap-ngerjap memandangi sosok rupawan tersebut.     

"Kamu seorang tuan?" tanya Medora cepat, sedikit meringis nyeri. "Mana bidadarimu!? Ada monster yang sangat kuat!"     

"Aku sedang keluar sendirian! Biar kuhubungi temanku!" Robin gelagapan mencari ponselnya yang ternyata tergeletak di lantai. Ia pun segera mengambil ponsel itu dan mendapati Etria masih mengomel. "Etriaaaaa!!! Ada monster! Cepat kasih tahu yang lainnya!"     

"Bisa dengarkan aku dulu tidak! Aku sedang berbicara, jangan menyelaku!" semprot Etria, jelas sekali tak mendengar ucapan Robin tentang monster.     

Robin mematikan panggilan itu, berniat menghubungi Rava. Namun, baru saja akan memilih nomor Rava, Robin melihat nama Etria lagi di ponselnya. Etria kembali menelepon.     

"Aduh! Dasar bidadari dari dunia lain! Kenapa dia masih kayak anak kecil, sih!" gerutu Robin, kembali mematikan panggilan itu, kemudian menoleh kepada Medora. "Maaf, aku nggak lagi menghina bidadari secara umum ...."     

Pria itu tercekat, terpesona dengan lekuk tubuh indah Medora yang begitu menonjol karena baju tempur ketatnya. Apalagi dengan kuda-kuda super rendah seperti itu. Lekukan di bagian tubuh—terutama bagian bawah—bidadari tersebut semakin membuat pikiran Robin melayang.     

Sempurna.     

Medora memajang senyum teduh andalannya. "Tidak masalah. Aku justru ingin bertemu bidadarimu dan berkenalan dengannya. Dia kelihatannya punya sifat menarik."     

Senyuman itu seperti menusuk dada Robin dan langsung menaikkan degup jantungnya.     

"Ah, aku harus melawannya lagi. Dia mendekat." Medora bersiap.     

"Siapa nama kamu!?"     

Bidadari itu makin melebarkan senyumnya. "Medora."     

Medora melesat ke luar minimarket, menghampiri satu sosok monster berbentuk serigala raksasa bertubuh manusia dan bertangan empat.     

Begitu Medora menyerang monster itu, Robin sampai menahan napas saking takjubnya. Gerakan lentur bidadari itu begitu indah di mata Robin, bahkan lebih indah dari gerakan gemulai Lyra. Robin sama sekali tidak pernah melihat yang seperti itu. Berbeda sekali dengan Etria yang serampangan dan terkesan bar-bar.     

"Mungkin sekarang saat yang tepat untuk menghubungi bidadarimu!?" seru Medora. Dirinya beberapa kali memang berhasil melukai monster itu, tetapi tubuhnya pun juga kadang mendapat balasan pukulan.     

Mendengar Etria masih saja menyerocos, Robin berdecak keras, kemudian menarik napas dalam-dalam.     

"Woi!!! Ada monster, Woi!!! Aku bukannya mau motong omongan kamu, tapi di sini ada monster!!! Di minimarket arah barat dari sana! Aku udah ngomong dari tadi, tapi kamu ngomel terus!" bentak Robin tanpa ampun, langsung membuat Etria terdiam seribu bahasa. "Sekarang, kamu minta tolong yang lain buat datang ke sini!"     

Etria pun langsung mematikan panggilan itu. Khawatir Etria ngambek dan tak memberitahu yang lain, Robin menghubungi Rava. Rava hanya menjawab dirinya akan segera datang dengan Kacia.     

Bruggghhh!!!     

Medora naik ke punggung sang monster dan mulai mencakar-cakar. Sang monster pun berontak saat mukanya terus dilukai Medora, gelagapan dan menabrak motor-motor yang diparkir. Layaknya domino, motor-motor itu pun rubuh dibuatnya.     

Robin memegangi kepalanya. Salah satu motor yang rubuh itu adalah motor besarnya. Dia ingin menyelamatkannya, tetapi pertarungan masih berlangsung. Medora dibanting ke atas motor itu, membuat Robin berjengit dan meringis. Hal itu masih ditambah dengan kombinasi pukulan sang monster yang mendarat di kendaraan kesayangannya itu karena Medora menghindar. Seketika saja, Robin merasa tubuhnya lemas sekali.     

Medora melompat lagi untuk naik ke punggung sang monster. Kali ini, bidadari itu menghujamkan cakar-cakarnya ke luka yang tadi dibuatnya di leher sang monster. Monster itu pun melenguh kesakitan, sebelum akhirnya rubuh.     

"Rebeccccaaaaaa!!!" Robin pun histeris dan berlari ke arah motornya. Melihat motornya yang dinamai Rebecca itu sudah dihiasi penyok di sana-sini, tangki bensinnya bocor, dan lampu-lampunya pecah, Robin pun berlutut. Kakinya seolah kehilangan energi.     

Dia harus terlebih dahulu menghidupi keluarganya di kampung, juga menyekolahkan adik-adiknya, baru bisa menabung untuk membeli sepeda motor itu. Sampai akhirnya bisa membawanya pulang adalah sebuah perjuangan.     

Dengan tubuh berlumur cairan hitam dari si monster, Medora meringis dan menghampiri Robin. "Ini motor kamu? Maaf, karena cara bertarungku, motormu ini jadi rusak parah."     

"Ah, nggak usah dipikirin! Ini kan bisa diperbaiki!" Robin segera bangkit, tak mau membuat Medora jadi tambah bersalah. Pria itu pun melepaskan wig dan kacamatanya, kemudian mengulurkan tangan. "Hai, Medora. Aku, Robin."     

Melihat orang-orang sudah mulai sadar dan cairan hitam di tubuhnya sudah menguap, Medora mengubah pakaiannya menjadi normal. Ia pun membalas jabatan tangan itu dengan senyum hangat yang lebih lebar. "Hai, Robin."     

Gilang pun datang dan bersembunyi di belakang Medora, mencengkram rok panjang yang dipakai bidadarinya itu.     

Melihat anak kecil itu, Robin membelalakkan matanya. "I .... Ini .... A-an ...."     

"Ah, ini tuanku." Medora mengusap rambut tuannya itu. "Dia memang yang paling unik. Soalnya paling kecil sendiri."     

"Huufff ...." Robin menghela napas lega, memicu kening Medora untuk mengernyit.     

"Om ini artis, ya?" celetuk Gilang pelan.     

Sadar kalau dirinya mungkin dikenali, Robin memakai wig dan kacamatanya kembali, kemudian membungkuk dan tersenyum kepada si bocah cilik. "Bisa dibilang begitu, tapi jangan bilang-bilang, ya? Nama kamu siapa?"     

"Gilang, Om."     

"Nah, Gilang. Om Robin pengen ngajak kamu sama bidadari kamu ini buat makan siang. Soalnya, kalian berdua udah nolongin, Om."     

"Nggak usah, Robin. Nanti malah merepotkan," tolak Medora ramah. "Lagipula, motor kamu kan harus diurusi."     

"Motor mah gampang." Robin terkekeh pelan, seolah masalah motornya itu biasa saja, padahal hatinya masih sakit sesakit-sakitnya. "Tinggal telepon orang, nanti ada yang ngurusin. Pokoknya aku maksa, nih. Yah, walaupun balas budiku ini nggak sebanding, tapi kalau nggak dilakukan segera, aku bakal kepikiran."     

Medora menoleh sekilas kepada tuannya, yang cuma bengong. Kemudian, bidadari itu kembali tersenyum kepada Robin. "Baiklah kalau begitu."     

"Ayo, kita cari makan di dekat sini aja," ajak Robin, sementara orang yang lain sudah mulai berkumpul di dekat motor-motor yang jatuh. Robin pun menuliskan chat bahwa semuanya sudah beres kepada Rava.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.