A Song of the Angels' Souls

57. Pasar Malam



57. Pasar Malam

0"Kamu yakin mau menemuinya?" tanya Marcel, melompati sebuah genangan lumpur.     
0

"Aku sudah memikirkannya selama lebih dari dua hari, Marcel. Kalau mau membunuhku, dia tidak akan memilih tempat ramai yang begini. Tuannya yang masih kecil bisa trauma kalau aku dan Medora bertarung di tempat yang rentan untuk melukai orang lain," timpal Lois, memandangi wahana-wahana permainan yang dihiasi lampu berkelap-kelip, anak-anak kecil berwajah ceria yang berlalu-lalang bersama orangtuanya, lapak-lapak yang menjual berbagai macam souvenir dan makanan, kemudian yang terakhir matanya tertuju kepada penjual harum manis. "Tempat ini menarik sekali."     

Seperti biasa, Lois menjadi pusat perhatian semua orang. Bukan hanya cantik, tetapi jarang-jarang seorang bule datang ke pasar malam seperti itu.     

"Kamu mau?" Marcel menarik salah satu harum manis yang dibungkus plastik dan digantung di bagian atas lapak. Setelah membayar, ia membuka bungkus makananan itu dan menyerahkannya kepada Lois.     

Lois menelan ludah. Bukan saja lantaran seleranya tergugah oleh aroma manis yang menguar, tetapi seumur hidupnya Lois tak pernah menemukan bentuk makanan seperti itu. Sebentar lagi, dia akan masuk ke teritori yang baru.     

Begitu menggigit makanan tersebut, matanya membelalak. Kepalanya sedikit mengangguk-angguk tanda senang. "Tekstur yang lembut ini, rasa manis ini .... Ini otomatis jadi makanan favoritku nomor satu di Bumi, mengalahkan mie ...."     

Lois menyipitkan matanya saat mendapati Marcel memandang sendu ke arah bianglala yang berputar.     

"Kenapa? Kamu teringat dengan kekasihmu, ya? Yah, bagaimanapun tempat ini kan cukup bersejarah buat kalian," ledek Lois, tertawa kecil. "Aku tahu, dulu kalian cuma ingin coba-coba masuk ke 'hiburan rakyat' ini. Sebelumnya, kalian belum pernah ke sini. Terus, pada akhirnya kalian malah menikmatinya."     

"Kamu nguping obrolan kami, ya?" decak Marcel, lantas menghela napas. "Yah, aku nggak tahu kenapa, tapi atmosfer tempat seperti ini terasa berbeda dibandingkan dengan misalnya taman bermain yang besar."     

"Yah, seperti yang aku bilang tadi, tempat ini memang menarik."     

Mereka melanjutkan perjalanan. Lois tak terus saja mengecek lapak-lapak yang ada, terus mengamati dagangan-dagangan dengan raut penasaran. Ia juga sesekali mengecek wahana yang ada. Namun, dia tidak naik karena Marcel berkata tujuan mereka ke sana itu bukan untuk main-main.     

Sampai akhirnya, mereka melihat Medora yang melambaikan tangan sambil bersandar di pagar komidi putar.     

"Berani sekali kamu meminta tolong Piv untuk mengundangku ke sini. Kamu seharusnya tahu. Kemungkinan besar, pihak atas terus mencekoki Varya dengan informasi tentang kita. Pihak atas ingin sekali dia menang. Kamu lihat sendiri, dia bisa membaca gerakan dan kemampuan kita. Itu artinya, pertemuan ini juga ada kemungkinan dibocorkan oleh Piv," serbu Lois tanpa berbasa-basi.     

Dengan senyum andalannya, Medora melambaikan tangannya kepada Gilang yang sedang naik komidi putar. "Kalau pihak atas memberitahu semuanya tentang kita, seharusnya tempat kita bernaung sudah didatangi oleh Varya satu-persatu .... Yah, aku berjudi saja Piv tidak memberitahu pertemuan ini kepada Varya. Kita ini sedang terdesak gara-gara kedatangan Varya, kita harus berani mengambil risiko."     

"Kemungkinan seperti itu memang ada. Perilaku Piv memang tidak bisa diprediksi."     

"Jadi, apa mau kamu?" tanya Marcel kepada Medora.     

"Sejak bertemu dengan Varya dua hari lalu, aku terus memikirkan ini .... Jadi, aku ingin kamu bekerjasama denganku untuk menjadi anak buah Varya, Lois. Lalu .... Ah, kamu bisa menebak sendiri kan apa tujuan akhirnya aku melakukan itu?"     

Seketika saja, Lois tertawa keras, sampai menarik perhatian orang di sekitarnya. "Bekerjasama? Denganku yang telah kamu khianati ini? Kamu memang .... Ah! Kamu juga berjudi kalau Varya tidak mengetahui pengkhiatanmu?"     

Dan tentunya berjudi kalau Varya tak tahu kebohongan Lois waktu itu, yang tadinya berkata ingin bekerjasama dengan Ione, tetapi malah melukai Kacia. Lois tentu tak berniat mengutarakannya. Medora tak perlu tahu.     

"Atau mungkin, waktu itu Piv tidak merekam pertarungan kita?" lanjut Medora.     

Lois memberikan senyum penuh arti. "Mungkin saja."     

Padahal, di lokasi Lois berkhianat, ada banyak sekali Piv yang melihat. Seharusnya Piv melihat semuanya, dari mulai Lois berbohong, sampai memanjangkan pedangnya untuk menghujam Kacia.     

"Dengarkan aku baik-baik, kamulah orang paling rasional di antara bidadari lain." Medora menghela napas panjang. "Kamu kelihatannya masih mau membunuh untuk memenangi pemilihan ini."     

Lois mengangkat bahu. "Setelah kita menjadi anak buahnya, lalu apa? Katamu tadi, aku bisa menebak tujuan akhirnya, tapi aku tidak merasa begitu."     

Mendengar ledekan Lois itu, Medora berdecak. "Kita menunggu saat yang tepat untuk menghabisinya. Saat dia lengah."     

"Kenapa harus denganku? Kenapa tidak kamu sendiri saja yang jadi kacungnya?     

Senyum getir terbentuk di bibir Medora. "Jangan pura-pura bodoh. Sebagai anak bangsawan yang terhormat, kamu jelas lebih punya kesempatan membujuknya untuk bekerjasama."     

Tawa Lois kembali lagi, sekarang lebih keras dari sebelumnya. Bahkan dia sampai memegangi keningnya. "Kukira cuma Ione saja yang punya rencana bodoh, ternyata kamu juga."     

"Jadi, kamu mau atau tidak?" Medora mulai kehilangan kesabaran.     

Lois menoleh kepada Marcel sekilas, lantas berkata dengan nada tegas, "Tentu saja tidak. Aku tidak mau punggungku dicakar olehmu lagi."     

Medora kembali berdecak, langsung membuang muka.     

"Semoga beruntung mendapatkan partner baru," ujar Lois santai, kemudian berbalik. "Alasanku tidak menyerangmu sekarang adalah karena banyaknya manusia di sini. Aku bisa dimarahi Lois dan Marcel kalau orang lain terluka."     

"Sebelumnya." Marcel mendatangi Medora, kemudian mengeluarkan satu batang ponsel. "Ini untuk kamu. Aku belum menghapus kemungkinan kita bekerjasama. Kalau kami berubah pikiran atau membutuhkanmu, aku akan menghubungi kamu."     

Medora pun menerima ponsel kecil berwarna hitam itu dengan kening mengernyit.     

"Ayo kita pulang, Marcel," ajak Lois, sudah mulai berjalan.     

Komidi putar telah berhenti. Giliran Gilang sudah habis. Dia pun turun dan langsung menghampiri Medora yang sudah tersenyum padanya. Sementara itu, Marcel dan Lois sudah berjalan makin jauh.     

"Ponsel itu dipasangi alat pelacak, kan?" bisik Lois kepada tuannya.     

"Tentu saja. Barangkali kapan-kapan kamu ingin berkunjung ke rumahnya," balas Marcel, sedikit memijati keningnya. "Kamu masih punya keinginan untuk memenangkan semua ini, kan?"     

Senyum Lois melebar. "Tentu saja."     

***     

"Ah, sebenarnya aku masih mau menikmati pasar malam itu," gerutu Lois, memandang jalanan lewat kaca jendela mobil. "Tapi aku malas dekat-dekat wanita itu. Melihat wajahnya saja aku ingin muntah."     

"Besok kamu bisa pergi ke sana lagi," ujar Marcel pelan, kemudian mengecek ponselnya. "Yah, yang penting kita dapat sesuatu yang berharga. Sebentar lagi kita tahu rumahnya di mana."     

Lois melongok ponsel tersebut, mendapati tanda merah di tengah sebuah peta penduduk. "Ah, dia masih ada di pasar malam, ya? Semoga saja dia tidak terlalu pinta, sehingga tidak memilih untuk menghancurkan handhpone itu."     

"Kemungkinannya memang kecil, tapi ada. Orang yang frustasi seperti dia kadang tidak bisa berpikir jernih. Aku bisa lihat dari wajahnya. Sepertinya, dia stres karena tidak ada yang bisa diajak kerjasama lagi."     

"Ngomong-ngomong, misalnya dia terlalu bodoh dan akhirnya menyimpan handhpone itu, kamu ingin aku mendatanginya kapan? Saat tuannya sekolah? Apa kamu tidak kasihan kepada tuannya itu? Dia masih sangat kecil dan hubungannya dengan Medora sudah sangat erat, loh."     

Marcel terdiam untuk beberapa saat, fokus memandang ke arah jalan, sebelum akhirnya menjawab datar, "Mau bagaimana lagi?"     

"Ugh, kamu dingin sekali." Tawa getir pun meluncur dari mulut Lois.     

Marcel membelokkan mobilnya ke sebuah perumahan mewah yang sepi, kemudian menghentikannya di depan salah satu hunian besar berpagar tinggi.     

"Kok, lama?" Marcel mengernyit karena penjaga rumah tak kunjung membukakan pintu pagar.     

Lois menguap dan meregangkan tubuhnya, meskipun malam masih sangat jauh dari larut. Kejadian beberapa hari terakhir begitu mengganggu pikirannya, membuatnya sangat sulit tertidur.     

Saat menengok ke samping, bidadari itu seketika mematung. Matanya perlahan membuka semakin lebar. Irama degup jantungnya pun mulai meliar.     

Dari kejauhan, Lois melihat satu sosok bidadari berbusana putih. Bidadari yang juga memakai topeng itu cuma berdiri diam, tak bergeser satu senti pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.