A Song of the Angels' Souls

166. Bentuk Terakhir



166. Bentuk Terakhir

0Tidak. Ione tidak akan membiarkan semua berakhir di sini. Hasrat untuk melihat sang kekasih sudah begitu menggebu. Dengan sisa-sisa tenaganya, bidadari itu melecutkan serulingnya kembali, menjerat leher Zita. Zita yang tidak sempat menghindar pun rubuh ke samping Ione.     
0

Ione lalu menyahut leher Zita, melingkarkan lengannya ke sana. Sekarang, posisi Zita telentang di atas Ione, berusaha melepaskan lengan sang musuh, mulai kehilangan napas.     

Namun, napas Ione juga mulai habis. Kesadarannya pun terkikis. Pandangannya juga mengabur. Sekuat apa pun berusaha, cekikannya di leher Zita melemah.     

Air mata Ione mulai menetes. Ia benar-benar tak ingin semuanya berakhir di sini. Dia sudah banyak mengorbankan teman-temannya sendiri, sudah membunuhi orang-orang tak bersalah, sudah menyiksa mental mereka yang dibuat kehilangan.     

Akan tetapi, waktu Ione akhirnya habis juga. Tangannya akhirnya terlepas dari leher Zita. Zita tak merespon sama sekali sekarang, masih telentang dengan mata tertutup.     

Aiden mendekati dua bidadari itu, mengamati mata Ione yang masih sedikit membuka, kemudian mengamati genangan darah yang melebar di bawah pinggang bidadari itu.     

"Hebat sekali, bisa bertahan padahal sudah kehilangan darah sebanyak itu," gumamnya, sedikit mencibir, lantas memeriksa nadi di tangan dan leher Zita.     

Ia masih bisa merasakan denyut lemah. Zita masih hidup.     

Bukannya menolong, Aiden malah berdiri dan menghampiri kendaraan yang ditempati Marcel. Ia menyipitkan matanya saat Marcel hanya duduk terkulai dengan mata menutup rapat. Wajah bibirnya begitu pucat. Aiden pun memukul-mukul jendela kendaraan itu, tetapi tak mendapat respon sama sekali.     

"Apa dia juga mati?" tanyanya pelan.     

"Selamat, Zita membunuh Ione yang mempunyai kekuatan bidadari lain. Itu artinya, dia akan mendapatkan hadiah," celetuk satu sosok Piv yang tiba-tiba melongok dari atap kendaraan.     

Mata Aiden kembali menyipit. "Hadiah? Hadiah apa?"     

"Lihat saja lenganmu."     

Aiden memeriksa lengannya, yang kini dihiasi dengan tanda baru berwarna kuning. Tanda itu ukurannya hampir dua kali lipat dari tanda-tanda lain yang dimilikinya. Bentuknya juga bukan lagi seperti tulisan, melainkan seperti simbol yang mirip dengan bunga.     

"Itu adalah tanda untuk membuka bentuk terakhir dari kekuatan Zita. Ketika digunakan, skala kekuatannya akan bertambah berkali-kali lipat," terang Ione lagi, melompat ke kap mobil dan memperhatikan tanda itu. "Sayangnya, aku tidak boleh memberitahumu lebih dari itu."     

Aiden mengangkat lengannya untuk mengamati tanda itu dengan lebih saksama. "Apakah bentuk terakhir itu akan menarik?"     

"Kalau itu, aku tentu tidak bisa menjawabnya," timpal Piv lagi. "Menarik atau tidak, semuanya itu subyektif, kan?"     

Aiden melirik Zita, yang belum juga bangun, kemudian mengangkat bahu dan mencibir. Pria itu lantas mendatangi Zita untuk membawanya pergi dari situ.     

***     

Rava yang duduk di ruang tengah kontrakan pun meremas kepalanya. Dia, bersama dua bidadarinya dan Robin, baru saja menonton pertarungan Ione melawan Zita lewat proyeksi dari mata Piv. Kedua bidadari Rava hanya membisu dengan wajah menegang, sementara Robin sudah mondar-mandir sambil terus mengacak-ngacak rambutnya.     

Kalau Ione yang menang, paling tidak dia tak akan membantai orang-orang yang bersalah. Namun, kemungkinan terburuk telah menjadi kenyataan. Zita berhasil membunuh Ione.     

"Apa yang dimaksud dengan bentuk terakhir dari kekuatan yang dikatakan Piv itu?" tanya Rava lirih. Bibirnya mulai bergetar.     

Lois menghela napas. "Kekuatan kami yang sebenarnya akan dibuka, Rava. Asal kamu tahu saja, kekuatan kami di dunia asal itu jauh dari yang kami tunjukkan di sini. Baju tempur kami juga akan menyesuaikan dengan tingkat kekuatan kami. Kalau kekuatan kami menjadi berlipat-lipat, maka baju kami pun berubah."     

"Semacam final form, ya?" Pertanyaan Rava itu hanya dijawab Lois dengan mengangkat bahu tanda tak mengerti.     

"Kamu tidak usah tanya kenapa kekuatan kami ditekan seperti itu," imbuh Lyra, dengan wajah tegas seperti biasa dan sambil melipat tangan di dada. "Seperti yang kamu tahu, pihak atas memang suka sembarangan membuat peraturan."     

"Ada yang bilang, itu dilakukan untuk meminimalisir kerusakan besar kalau kami bertarung," sambung Lois, sedikit mencibir. "Jadi, yah. Kekuatan kami itu baru dibuka kalau kami sudah membunuh monster atau bidadari dalam jumlah tertentu."     

"Argh!" Robin menghardik, kemudian menunjuk satu sosok Piv yang berdiri di meja ruang tengah. "Yang lebih sintingnya, kenapa temen elu ngasih bentuk terakhir kekuatan itu ke Zita? Udah tahu dia itu psikopat!"     

"Pihak atas yang memberikannya, bukan kami," jawab Piv, tentunya dengan nada biasa saja, seolah tidak ada suatu krisis yang sedang terjadi. "Lagipula, seperti yang dibilang Piv di sana, kekuatan Zita dibuka kuncinya karena dengan membunuh Ione, maka dia artinya telah membunuh tiga bidadari sekaligus."     

"Kalau dalam bahasa bumi, level Zita itu melonjak drastis, begitu?" tambah Rava, menyenderkan punggungnya ke sofa dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Padahal hanya duduk dan melihat pertarungan orang lain, tetapi tubuhnya terasa begitu lelah. Mungkin karena dirinya terus berdebar dan cemas mengharapkan kemenangan Ione.     

"Cepat atau lambat, kita akan bertemu dengan Zita. Kita harus memikirkan strategi untuk mengalahkannya," desah Lyra, juga terdengar lelah.     

Lois mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Semua giginya merapat. "Tapi, walaupun misalnya Mireon sudah kembali, kesempatan kita menang itu nyaris nol persen. Kita harus melawan versi Zita yang jauh lebih kuat."     

Jantung Rava seperti dihentak keras. Tepat ketika perkataan Lois itu selesai, sebuah ide melintas begitu saja di kepalanya. Hampir saja Rava keceplosan mengungkapkan ide itu, tetapi dia langsung ingat: idenya itu bakal ditentang habis-habisan.     

"Kamu kenapa, Rava?" tanya Lyra, tahu-tahu sudah mengamati wajah Rava dengan begitu dekat.     

Rava sampai berjengit karena merasakan napas lembut nan hangat bidadari itu di pipinya. "N-nggak, kok. Aku cuma mikirin cara kita ngelawan Zita aja."     

Mata Lyra menyipit, tetapi bidadari itu memilih untuk tak bertanya lebih lanjut dan menjauhkan wajahnya. Rava menelan ludah. Rencananya ini tidak boleh diketahui siapa pun.     

"Mungkin kamu bisa menyanyikan lagu yang tepat untuk Ione, Lyra?" usul Lois. Meski mulutnya menyungging senyum tipis, tetapi matanya memancarkan sinyal kemuraman. "Walau kita tidak bisa memberikan pemakaman yang layak, tetapi paling tidak kita bisa memberi sedikit penghormatan .... Yah, walaupun orang terdekat dan keluarganya tidak bisa mendengar juga, sih."     

Lyra membisu sejenak, kemudian menatap tuannya. "Judulnya Navezora uin Soa Viroa, tentang seseorang yang kehilangan arti hidupnya setelah kematian sang kekasih."     

Setelah mengatakan hal itu, Lyra berdendang dengan suaranya yang lembut dan melenakan itu.     

***     

Dengan tangan bergetar, William membuka selimut berwarna putih itu. Ia langsung melihat wajah Marcel. Putranya itu memejamkan matanya. Wajahnya begitu pucat dan tidak menguarkan aura kehidupan sama sekali. Otopsi belum dilakukan, tetapi dokter sudah menduga kalau kematian Marcel adalah karena kankernya yang sudah begitu ganas menggerogoti otaknya. Tidak ada luka sama sekali di tubuh pemuda itu, baik dari benda tumpul maupun tajam.     

Belum juga meneteskan air matanya, William terhuyung ke belakang dengan mulut menganga, sebelum akhirnya jatuh terduduk. Pandangannya begitu kosong. Herman beserta ajudan Marcel pun membantunya berdiri, sekaligus berusaha menyadarkannya. Namun, pria malang itu tak merespon sama sekali.     

"Miriam .... Stefan .... Marcel .... Kenapa kalian meninggalkanku sendirian," rintih pria tua itu, akhirnya meneteskan air matanya di pipi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.