A Song of the Angels' Souls

168. Jiwa



168. Jiwa

0Sekarang, Rava tahu semuanya hanya ilusi. Kota tempatnya tinggal itu, hanyalah kota kosong karena ditinggalkan penghuninya, dialihfungsikan sebagai set sebuah set pertunjukan.     
0

Ya, sebuah pertunjukan.     

Dirinya, Lyra, bidadari-bidadari lain, para orang berlalu-lalang, semuanya hanyalah aktor yang tidak tahu bahwa mereka berada di sebuah pertunjukan. Memang ada beberapa yang tahu itu, misalnya saja ibu Rava. Dia adalah seorang wanita yang berperan sebagai ibu Rava.     

Walau sebenarnya, Rava sendiri hanyalah makhluk yang lahir dari tabung. Begitupun Lyra, Lois, Stefan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ya, mereka hanyalah makhluk buatan, walaupun wujud mereka sempurna, memiliki perasaan, dan bisa merasakan sakit. Sifat-sifat mereka telah ditentukan sebelum acara dimulai.     

Dan pihak atas bisa dengan mudah mengubahnya. Itulah yang terjadi ketika Lyra menjadi begitu getol mengejar Rava. Itu karena desakan penonton.     

Pertempuran para bidadari itu hanyalah skenario yang dibuat untuk menghibur. Bagaimanapun, struktur tubuh dengan wujud manusia tak mungkin memiliki sayap yang digunakan untuk terbang.     

Bidadari.     

Mereka mengaku berasal dari dunia lain. Lalu, kalau penduduk dunia itu berjenis kelamin lelaki, apa sebutannya?     

Kemudian, bagaimana dengan bangunan-bangunan, pertempuran-pertempuran, kehancuran-kehancuran, kematian-kematian orang tak bersalah? Itu semua hanyalah spesial efek yang dirangkai sedemikian rupa. Beberapa bahkan hanya bisa terlihat oleh para manusia buatan dan penonton, tetapi sebenarnya tidak terjadi.     

Seperti contohnya hujan pita Kacia. Hal itu tidak pernah terjadi secara nyata. Pihak yang terkena serangan itu hanya merasa terluka. Darah-darah yang keluar pun hanya bisa dilihat para manusia buatan itu.     

Bahkan skala kota tempat Rava berada sebenarnya tak seberapa. Kalaupun Rava dan lainnya menempuh jarak jauh, mereka hanya berputar-putar saja. Pikiran merekalah yang dimanipulasi untuk menganggap bahwa diri mereka sudah pergi jauh.     

Belum lagi bangunan-bangunan yang ada. Kebanyakan hanyalah bangunan mangkrak yang terbengkalai. Indra penglihatan mereka dimanipulasi untuk melihat bangunan-bangunan itu tampak jadi lebih bagus.     

Semuanya demi tontonan. Demi hiburan. Ini adalah season ketiga dari sebuah acara yang mempertunjukan pertarungan manusia buatan. Temanya tentu saja pemilihan ratu.     

Rava akhirnya tahu semua itu. Inilah kebenaran.     

Rasa sakit, air mata, kebahagiaan kematian, pertarungan, perjuangan, percintaan, kasih sayang, perselisihan, semua itu hanyalah untuk disiarkan ke penjuru dunia. Emosi penonton akan diaduk-aduk. Mereka bisa ikut tertawa, menangis, mendukung favorit masing-masing, bahkan sampai memuja para tokohnya.     

Kebanyakan memang terjadi secara natural, tetapi ada saat-saat ketika pihak atas turut campur. Seperti kisah cinta Rava dan Lyra di mana keduanya bertingkah di luar karakter, ataupun dibangkitkannya kembali Zita dan Varya karena desakan penonton.     

Banyak sekali kejutan-kejutan yang ditimbulkan agar semuanya menjadi lebih menarik.     

Sekarang Rava hanya melihat kegelapan. Kemudian, dari kegelapan itu, dia melihat seseorang yang memakai zirah logam berwarna perak, lengkap dengan helm yang menutupi sampai ke wajah. Orang itu berjalan mendekat kepada Rava, setiap langkahnya mengeluarkan derit mekanis.     

"Siapa kamu?" tanya Rava.     

Sosok berzirah itu melepaskan helmnya, menunjukkan wajahnya yang sama persis dengan Rava.     

"Aku adalah dirimu dari season pertama yang bertema pertempuran antara yang baik dan jahat," terang sosok itu.     

Dari arah lain, Rava melihat sosok pria lain yang merangkak dengan tubuh penuh luka yang telanjang bulat. Sebuah kalung besi berantai tampak melingkari lehernya. "Kalau aku adalah dirimu dari season kedua yang bertema abad pertengahan. Aku berperan sebagai budak yang selalu disiksa dan dilecehkan."     

"Menyebalkan, bukan?" Rava tertawa getir. "Apakah kalian rela, diri kalian diperlakukan seperti ini terus?"     

Kedua sosok itu menggeleng dan lenyap begitu saja.     

***     

"Aku tidak mengerti mengapa mereka bersikeras memberitahunya tentang kebenaran itu. Bukannya Varya dan Mireon jadi tidak bisa dikembalikan lagi pikirannya untuk melupakan bahwa diri mereka hanyalah makhluk buatan?" Terdengar suara seorang lelaki.     

"Huh? Kamu tidak baca laporan, ya? Itu kan untuk penelitian juga, untuk menganalisis apa yang terjadi kalau makhluk-makhluk ini diberitahu dalam berbagai kondisi. Memang ada efek sampingnya, tapi toh mereka bisa dipaksa untuk melakukan apa yang kita mau. Mereka tidak akan bisa menolak. The show still goes on! Kalau beruntung, kita malah bisa memodifikasi pikiran mereka seperti Mireon, yang sudah tahu dirinya buatan, tapi ceritanya diutak-atik sedikit." Sekarang yang berbicara adalah perempuan.     

"Iya, aku tahu itu. Tapi, kan jadi repot juga jadinya. Kita harus bawa dia ke sini untuk diperiksa dan dimodifikasi pikirannya."     

"Argh! Masa kamu tidak paham kalau pemerintah juga tertarik dengan ini? Di pihak atas yang menjalankan pertunjukkan ini kan ada orang pemerintahnya.     

Rava bisa mendengar obrolan dua orang itu dengan jelas. Setiap kata yang keluar dari mereka, membuat emosi Rava jadi makin menggelegak. Dirinya, bersama makhluk-makhluk yang lain dianggap seperti mainan yang bisa diutak-atik sesuka hati.     

Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya Rava bisa membuka matanya. Ia langsung bisa melihat dua orang yang memakai jubah laboratorium. Satu lelaki berkepala botak, satu lagi perempuan berambut ikal pendek, dengan kulit putih, dan memakai kacamata.     

Rava membelalak saat menyadari kalau wajah perempuan itu begitu familier baginya.     

"Ah, dia sudah bangun," celetuk si pria, memperhatikan tubuh telanjang Rava yang terbaring di sebuah meja.     

"Jangan kaget. Aku bukan Lyra. Wajah cantikku sempat viral dan diriku dijadikan model untuk Lyra," ucap si perempuan cepat.     

Rava sudah ingin bergerak, menghajar dua orang yang menurutnya biadab itu. Namun, sendi-sendi di tubuhnya seolah mati.     

Bukan.     

Dia tak bisa merasakan tubuhnya sama sekali.     

Si pria terkikik. "Padahal, aku ingin sekali melihat Lyra berhubungan badan dengan Rava. Dia itu favoritku."     

"Aku justru membencinya. Aku seperti melihat versi diriku yang terlalu dieksploitasi. Dada dan pinggulku tidak sebesar itu," gerutu si perempuan, mulai mengetikkan sesuatu di sebuah alat yang mirip komputer, tetapi bentuknya lebih bulat.     

Si pria terbahak keras, kemudian memandang wajah Rava. Dia sudah akan berkomentar, sebelum akhirnya menemukan sesuatu yang janggal.     

"Kenapa wajahnya seperti marah begitu?" celetuknya sambil mengangkat alis. "Tidak seharusnya seperti itu, kan?"     

Ya, karena tak bisa melakukan apa pun, Rava cuma sanggup mendelik dan menyeringai.     

Si perempuan masih fokus kepada alatnya. "Yah, kadang kita memang menemukan anomali seperti itu. Emosinya bocor, walaupun itu jarang terjadi dan kita belum tahu pasti penyebabnya .... Ted, kita sudah bisa melakukan operasinya."     

Si pria pun memasangkan semacam helm logam ke kepala Rava. Rava cuma bisa menggerakkan matanya mengikuti gerakan pria tersebut. Matanya masih nyalang penuh amarah.     

"Berharap saja pikiranmu bisa benar-benar bisa dikembalikan lagi ke kondisi sebelum mendengar kebenaran itu, atau paling tidak bisa dimodifikasi seperti Mireon. Itu akan jauh lebih baik dan tidak menyakitkan, daripada seperti Varya yang tahu semuanya, tetapi tidak bisa melawan dan harus patuh dengan perintah pihak atas," terang si pria, memencet beberapa tombol di alat yang bertengger di kepala Rava itu.     

"Huh? Aku heran dengan orang sepertimu, yang menaruh simpati kepada boneka," celetuk si perempuan, memencet salah satu tombol di alatnya, kemudian menghadap Rava kembali.     

Volume 1 Tamat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.