Elbara : Melts The Coldest Heart

Kedatangan Mario



Kedatangan Mario

0Reza terbangun dari tidurnya yang tentu saja nyenyak. Ia mengusap-usap kedua bola mata, lalu tangannya meraba dimana tadi dirinya menaruh ponsel sebelum tertidur, dan ya ponsel masih berada di tempat semula.     
0

Beranjak dari duduknya dengan gerakan perlahan, lalu merenggangkan kedua tangan ke udara pertanda kalau dirinya tengah melepas hawa mengantuh sepenuhnya dari tubuh.     

"Masih jam empat lewat tapi gue udah bangun tanpa di bangunin, keren banget dah." gumamnya yang selesai merenggangkan otot-otot tangan, lalu beralih melakukan perenggangan pada otot kakinya yang juga terasa sedikit pegal.     

"Kemana nih Priska? Tumbenan banget gak nemenin gue tidur, biasanya dia duduk sambil ngapain kek gitu."     

Kesadaran sudah kembali walaupun belum 100%, dan ia pun memilih untuk memeriksa ponsel. Belum sempat untuk mengecek aplikasi bertukar pesan, namun kini kedua telinganya mendengar ada perbincangan seseorang yang sepertinya tidak jauh dari tempatnya berpijak saat ini.     

"Gak, lo gak boleh masuk. Lagian ngapain sih malah ke rumah gue? Sana ah pulang, Reza-nya lagi gak mau di ganggu. Dia mau sama gue, nemenin gue di rumah."     

Itu adalah suara Priska yang menjadikan Reza menaikkan sebelah alis pertanda bingung, dengan siapa gerangan tengah berbicara? Apalagi membawa-bawa namanya, memang siapa yang mengajak cewek itu bercakap-cakap?     

"Ya lo siapa sih? Baru jadi ceweknya beberapa hari aja udah ribet banget lo, gue pengen samperin sahabat gue, emangnya gak boleh? Gue mau ajak nongkrong, bt."     

Dan ya, kini Reza mendengar suara Mario yang tanpaknya kesal dengan Priska. Ia pun sudah dapat menebak kalau mereka berdua tidak akan pernah akur saat bertemu satu sama lain.     

"Ih ada apaan sih gue sampai di perebuti," gumam Reza yang tentu saja penasaran dengan keadaan yang terjadi.     

Dan pada akhirnya, ia beranjak dari duduk dan memilh untuk berjalan menggampiri sumber suara yang memang menurutnya harus segera di lerai.     

Dari jauh, ia melihat Priska yang tengah menahan Mario di pintu masuk. Dan ya, seperti apa yang Reza tau, sahabatnya satu itu tidak pernah memaksa cewek dengan kekasaran makanya mmeilih untuk tidak menerobos masuk yang pasti akan mendorong tubuh Priska. Mario memang membenci Priska, namun perlakuannya juga tetap berpikir-pikir memakai perasaan.     

Reza segera berjalan ke arah mereka sebelum adu mulut akan semakin berisik daripada sebelumnya.     

"Duh ini ada apaan sih berisik banget udah sore, malu kalau di denger tetangga atau ada orang yang lewat gitu nanti mikirnya gimana-gimana." Reza menyingkirkan tubuh Priska yang menghalangi pintu, menjadikan Mario kini bisa melihat ke arahnya karena sebelumnya agak tertutupi oleh tubuh cewek yang saat ini ada di sebelahnya.     

Priska mendengus, ia menatap sinis ke arah Mario sambil menyilangkan tangan di depan dada.     

Mario pun menjulurkan lidah penuh kemenangan karena hadirlah Reza yang menjadi penengah di antara mereka. "Tuh cewek lo songong banget. Gue udah telepon lo, eh dia yang jawab. Gue minta tolong buat bangunin lo, dia malah gak mau terus langsung tutup telepon. Pas gue samperin kesini, dia malah marah-marah sama gue. Nah, siapa yang salah?" ucapnya yang menjelaskan, tentu tidak ada bumbu kebohongan dari ucapannya.     

Mendengar penjelasan Mario, menjadikan Reza menghembuskan napas dengan perlahan sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Ia menggeser tubuhnya. "Sini lo masuk dulu, gak enak banget kalau ngobrol di depan pintu." ucapnya yang seakan tuan rumah.     

Mulut Priska menganga, ia menatap sebal ke arah Reza yang malah mempersilakan Mario masuk. Namun, entah mengapa ia tidak bisa membantah apa yang sudah di kehendaki oleh Reza. Dan ya, pada akhirnya hanya menghembuskan napas pasrah sambil mengikuti jejak kedua cowok itu yang sudah berjalan menuju ruang tamunya.     

Mario sudah duduk di sofa ruang tamu, begitu juga dengan Reza yang duduk satu sofa dengan sahabatnya itu.     

"Bentar ya Za, kayaknya lo mau balik. Gue beres-beresin barang-barang lo di ruang Tv dulu." Dan Priska lebih memilih untuk mengambil tas milik Reza.     

Dan ya, sekarang tersisa dua insan yang bersahabatan tengah menatap satu sama lain.     

"Lo serius tadi nelepon gue?" tanya Reza, menatap Mario dengan sebelah alis yang terangkat.     

"Serius, lo liat aja riwayat telepon lo."     

Reza menganggukkan kepala, setelah itu memeriksa riwayat telepon. Ia mencari apa yang dikatakan oleh Mario, namun tidak ada.     

Berakhir dengan gelengan kepala, Reza kembali menaikkan pandangan untuk menatap Mario dengan bingung. "Gak ada riwayat apapun, lo gak nelepon ke hp gue." balasnya, lalu menjulurkan ponsel untuk di berikan ke hadapan sahabatnya supaya cowok tersebut bisa melihat.     

"Sialan." umpat Mario sambil berdecih. Ia sungguh tidak habis pikir dengan Priska, memang nenek lampir satu itu selalu mengajak dirinya untuk berperang. "Pasti di apus sama Priska, heran gue sama tuh cewek. Lo juga Za, biasanya di telepon langsung bangun tapi ini gak." Sambungnya yang merasa kesal.     

Reza menaikkan kedua bahu, merasa kalau dirinya itu tidak tau menau. "Ih serius gue gak tau kalau ada telepon. Gue bosen anjir di rumah Priska, tadi abis adu mulut juga sama dia, makanya gue lebih milih tidur daripada nanti makin panjang terus akhirnya berantem gak jelas."     

Mario mendengus. "Udah lah, ayo gak usah di bahas lagi. Gue lagi mau nongkrong di cafe."     

"Tapi gue belum mandi, anjir." ucap Reza, ia menunjukkan tubuhnya yang masih memakai seragam sekolah. Dirinya sudah memasukkan kembali ponsel ke saku seragam.     

Mario memperhatikan Priska dari atas sampai bawah, lalu menghembuskan napasnya. "Hah serius, kah? Ya udah bagus kalau gitu biar cewek-cewek di cafe lebih tertarik sama gue," ucapnya dengan bangga.     

"Dih najis. Udah nanti ke rumah gue aja dulu, gimana? Sekalian mandi terus ambil kendaraan, masa lo mau balik nongkrong pakai kendaraan online? Nanti gue bawa motor aja." balas Reza sambil menganggukkan kepala kalau ini adalah saran yang terbaik.     

Mario ikut menganggukkan kepala dengan apa yang dikatakan oleh Reza. "Ya udah setuju juga gue. Tapi jangan pake motor, najis banget lo tau sendiri kalau jok belakang lo nonggeng banget. Pakai mobil aja, kalau gak lo anterin dulu ke rumah gue sekalian jalan-jalan biar gue ambil motor juga." balasnya yang juga memberikan saran.     

"Tapi tipe motor gue kece, bos. Gak ada yang bisa nandingin, asli."     

"Iya deh iya, sama-sama sultan diem aja deh kita."     

Mereka berdua tertawa. Memang benar mereka adalah gambaran persahabatan yang sangat erat sehingga memunculkan berbagai macam topik pembicaraan yang selalu sejalan.     

Setelah berbincang-bincang layaknya sahabat yang memang tidak bisa berhenti berbicara, Priska datang kembali dengan tangan yang sudah memegang tas milik Reza.     

"Za, ini tas lo." ucap Priska sambil meletakkan tas Reza yang berwarna hitam tepat di atas meja yang berada di hadapan cowok itu.     

Reza menolehkan kepala ke arah Priska, menghentikan percakapannya dengan Mario terlebih dulu. "Oke, thanks ya gue pulang dulu. Makasih udah nampung gue tidur ya, sampe ngerepotin ngasih makan segala." ucapnya sambil mengulas senyuman di permukaan wajahnya.     

Setelah itu, Reza beranjak dari duduk di ikuti dengan Mario.     

"Lain kali, jangan lancang sama hp orang. Lo emang pacaran sama Reza, tapi bukan berarti lo bisa pegang barang punya sahabat gue. Apalagi sampai jawab panggilan telepon. Kalau lo sopan sih gue sama sekali gak masalah, tapi jawaban lo gak sopan banget bahkan termasuk ke arah yang gak baik sumpah."     

Priska yang mendengar ucapan Mario pun melirik ke arah Reza yang kini terlihat seperti tidak mempedulikan dirinya, apa cowok itu marah kepadanya?     

"Iya." hanya itu saja perkataan yang keluar dari mulut Priska, ia tidak tau ingin menjawab apa karena perkataan Mario itu benar dan menjadikan dirinya malu karena sifatnya yang buruk.     

Reza yang merasa Mario sudah selesai dengan perkataannya pun langsung saja menarik ujung kaos sahabatnya yang ia kenal kalau kaos ini sebenarnya adalah milik El. Pinjam meminjam juga telah menjadi kebiasaan bagi Mario.     

"Ayo udah keluar, katanya mau nongkrong, kalau kelamaan ngobrol disini, nanti jam nongkrong kita kelamaan."     

"Ya emang biasanya kalau nongkrong sampai tengah malem,"     

Reza menyentil kening Mario, lalu kini beralih mencekal tangan cowok tersebut untuk membawanya keluar dari rumah Priska.     

"Gue sama Mario pulang ya, sekali lagi thanks, sampai jumpa besok ya, Ka." ucap Reza yang kembali mengatakan ini kepada Priska.     

Sedangkan Priska? Ia hanya diam saja. Ingin mengantar mereka berdua sampai teras rumah atau setidaknya sampai gerbang rumah, namun ia sadar kalau dirinya bisa saja kembali memicu bagaimana ketidaksukaan Mario terhadapnya. Jadi. Ia lebih memilih untuk diam menatap kepergian kedua cowok tersebut yang punggungnya semakin terlihat menjauh dan pada akhirnya menghilang di balik pintu utama rumah.     

Mario pasrah saja di tarik-tarik oleh Reza, ia sebenarnya sih masih ingin mengeluarkan banyak perkataan dari dalam mulutnya. Seperti tidak puas kalau hanya seperti tadi saja.     

"Udah gak usah ngomong lagi, gue tau kalau lo mau protes, iya kan?"     

Sebelum Mario berhasil mengeluarkan unek-unek di dalam hati, Reza langsung menyelah perkataan sebelum Mario dapat mengeluarkannya.     

Menjadikan Mario mengambil napas, lalu menghembuskannya dengan kasar karena tidak terima dan tidak puas. "Iya iya bawel lo, gue kan mau marahin cewek lo. Emangnya siapa siapa bisa gak sopan sama gue? Aneh aja lagi sifatnya,"     

Reza paham kalau Mario paling tidak suka dengan seseorang yang sekolah tidak memiliki kesopanan. Jadi, ia seperti layaknya pelatah, sedia payung sebelum hujam. Sedia memisahkan Mario dari Priska, sebelum terjadi kembali perang mulut.     

"Tahan emosi lah, lo mah malah di ladenin terus. Liat gue yang sekarang, udah berubah, kan?"     

"Ya lo pacarnya Prisaka, Za. Jadi kan mau gak mau itu langsung berubah biar gak berantem terus lo berdua,"     

"Iya iya, udah ah Za lo juga jangan banyak ngomong. Soalnya nih gue udah bisa atur emosi, tapi nanti traktir, ya?"     

Mendengar perkataan Reza yang pada akhirnta meminta traktiran menjadikan dirinya langsung melepaskan cekalan tangan pada pergelangan tangan Mario dengan sebal. "Ngomong aja lo sana sama angin, gue kayaknya pensiun deh jadi sahabat lo."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.