Elbara : Melts The Coldest Heart

Sama-sama Menyebalkan



Sama-sama Menyebalkan

0"El, udah tidur apa belom?"     
0

Mario mengetuk pintu kamar El sebanyak tiga kali, dan tidak melupakan bertanya dari luar ruangan untuk memastikan kalau sang pemilik kamar masih terbangun atau sudah tertidur seperti apa yang dikatakan sekitar tiga puluh menit yang lalu.     

Ia sudah mengenakkan baju milik El. Dirinya maupun Reza sudah terbiasa meminjam baju cowok tersebut, bahkan kalau menginap pun mereka bisa menjelajahi isi lemari El yang memang menarik untuk di pakai.     

Tidak ada jawaban, menjadikan Mario menghela napas. "Kalau di tinggal tidur begini, gue ngapain anjir?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala yang sejujurnya tidak gatal, namun hanya untuk gerakan refleks saja.     

Pada akhirnya, Mario memutuskan untuk melangkahkan kaki menjadi menjauh dari pintu kamar El yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, terbukti kalau sang pemilik sudah tertidur.     

Tadi memang ia sedang bersama dengan Alvira, ikut nonton Frozen 2 bersama dengan adik sahabatnya.     

Ia sudah kembali ke ruang televisi, lalu mengambil tas sekolah yang sudah berisikan buku-buku serta seragam sekolahnya yang kotor. "Ra, gue mau balik nih." ucapnya sambil berdiri di hadapan Alvira.     

Mendengar itu, Alvira mendongakkan kepala sambil menaikkan sebelah alisnya karena bingung dengan kepulangan Mario yang tiba-tiba. "Kok tiba-tiba pulang sih? Kan film-nya belum habis, durasinya masih dua puluh menit lagi." ucapnya, kini memutuskan untuk mem-pause film agar tidak ketinggalan beberapa bagian karena kini mengobrol dengan cowok di hadapannya.     

"Iya, habisnya gue mau ngapain lagi? Ini juga udah sore. Gue udah kenyang di kasih camilan, di kasih makanan, di kasih minuman, udah gak ada yang kurang deh." balas Mario sambil menyengir. Ia memang sunggung menikmati makanan gratisan, apalagi makanan di rumah Alvira dan El enak-enak.     

Alvira tertawa dengan apa yang dikatakan oleh Mario. "Oke, Kak. Perlu Alvira anter atau gimana?" tanyanya.     

Kini gantian, Mario lah yang menaikkan sebelah alisnya pertanda bingung. "Lo? Mau anter gue? Naik apaan, Ra? Lo gak bisa naik motor, gak bisa naik mobil juga." balasnya, namun tidak ada maksud untuk meledek karena ketidakbisaan Alvira.     

Ucapan Mario menyebalkan, namun sesuai dengan kenyataan, menjadikan Alvira saat ini mendengus ringan. "Ya gak sih, kan cuma basa-basi doang nawarin. Terus Kak Mario mau pulang naik apa?"     

"Odong-odong." balas Mario asal-asalan sambil tertawa terbahak-bahak, selera humornya sangat rendah menjadikan hal seperti ini saja bisa mengundang tawa.     

Alvira beneran kesal dengan Mario, kini melempar cowok tersebut menggunakkan bantal sofa. "DASAR NYEBELIN!" pekiknya.     

Mario bukannya berhenti tertawa, malah melanjutkannya. "Marah-marah mulu cepet tua lo, keriput nanti wajah lo." ucapnya sambil menjulurkan lidah di akhir kalimat, meledek cewek yang masih duduk manis di sofa sambil menatapnya seperti memandang dengan penuh permusuhan.     

"Tau ah, Kak Mario tuh kali yang tua, makanya nyebelin banget." balas Priska, lalu memutar kedua bola matanya.     

Mario meredakan tawa dengan susah payah, sampai di menit selanjutnya pun akhirnya ia bisa mengontrol dan berhenti. "Ya udah gue mau balik ya, titip salam sama El kalau dia udah bangun. Gue gampang, bisa naik taxi online kok."     

Setelah itu, selayaknya El kepada Alvira, Mario juga menjulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut Alvira. "Dah ya gue balik dulu, sampai jumpa besok."     

Alvira menganggukkan kepala, lalu beranjak dari duduknya. "Sampai jumpa besok juga, yuk Vira anterin sampai teras. Nanti aku sampein ke Kak Bara kalau Kakak pulang,"     

Mario menganggukkan kepala. "Oke, ayo anterin gue soalnya takut di culik om-om." balasnya sambil terkekeh kecil.     

Alvira menyenggol lengan Mario, merasa kalau perkataan cowok di sebelahnya ini terlampau menjengkelkan. "Ya udah ayo, Kak Mario bisanya cuma bikin emosi."     

"Kan yang bisa bikin lo sayang cuma Reza." ceplos Mario sambil berpura-pura menutup mulut dengan satu tangannya seakan dia tidak sengaja berkata seperti itu yang padahal ia mengatakannya dengan kesadaran yang 100%.     

Alvira mengerjapkan kedua bola matanya berkali-kali, setelah itu mencubiti lengan Mario dengan ganas. "Apaan sih Kakak ngeselin banget, udah sana ah mending pulang ayo aku anterin." ucapnya setelah itu mendorong tubuh cowok tersebut ke arah pintu rumah.     

Mario hanya menuruti dorongan tangan Alvira pada punggungnya, ia sih sudah biasa meledeki Alvira seperti ini. "Kok kesel? Berarti omongan gue bener, iya kan?" tanyanya, masih belum puas meledek cewek di belakangnya yang masih mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.     

"Ah Kakak berat banget, aku kayak dorong galon sepuluh." ucap Alvira pada akhirnya menyerah, membuat Mario kembali menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh ke lantai. "Ya emangnya siapa yang bilang bener atau gak bener? Huhhhh." sambungnya yang kini berjalan sejajar dengan Mario yang sedang menikmati kekesalannya.     

Sampailah mereka pada teras rumah, menjadikan Mario memutuskan untuk tidak berprilaku menyebalkan lagi.     

"Kak Mario udah pesen taxi online-nya atau belum?"     

"Belum, nanti di post satpam aja sambil nunggu sambil ngerokok."     

"Kenapa gak di sini aja? Nunggu di teras rumah."     

"Pertama, gue gak mau lo hirup udara yang tercemar karna asap rokok gue. Dan yang kedua, kan kalau nunggu di post satpam nanti bisa langsung naik ke mobil. Kan kalau nunggu di teras, gue sama aja harus jalan kaki dulu buat keluar gerbang, buang-buang waktu."     

Mario membalas panjang kali lebar.     

Alvira menganggukkan kepala. "Oke deh Kak, hati-hati di jalan, ya."     

…     

Alvira menutup pintu rumah, kini hanya kesepian yang menyapa. Ia senang jika ada Mario, bisa menghibur walaupun ya… menjengkelkan.     

Alasan utama Alvira mengajak Mario ke rumahnya dengan embel-embel makan camilan, ya karena ia pikir tadinya El akan lama berada di rumah Nusa dan pada akhirnya ia kembali sendirian.     

Namun, El ternyata pulang lebih awal dari apa yang di duga. Dan ya, ternyata sang kakak-nya itu malah ingin tidur. Kalau tadi sih masih ada Mario, tapi sekarang sudah pulang.     

Tidak menyalahkan kepulangan Mario juga, toh kan sudah beberapa jam cowok itu berada di rumahnya.     

Melangkahkan kaki dengan lesu, dan sesampainya di ruang TV pun ia langsung mematikan benda datar itu karena tidak memiliki suasana hati yang bagus untuk menontonnya. Mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, ia melihat ruang TV tidak ada sampah yang tersisa.     

Ia lalu berjalan menaiki anak tangga, memang berniat untuk menuju kamar.     

Melewati kamar El, ia lebih baik tidak mengganggu kakaknya yang mungkin saja juga capek karena tadi siang mencari keberadaannya yang dengan banyak gaya malah melakukan tindakan membolos bersama dengan Bian.     

Masuk ke kamar, dan telah menutup pintunya dengan perlahan. Alvira menghembuskan napas, lalu mendaratkan bokong di tepian kasur.     

Hal yang paling utama ia lakukan saat ini adalah memegang ponsel dan ya, melihat-lihat beranda media sosial di benda datar tersebut.     

…     

Beberapa menit kemudian, Mario sudah kedatangan taxi online dan pamit dengan security yang berjaga.     

Ia masuk ke mobil, dan memilih duduk di kursi belakang. "Udah Pak, yuk jalan." ucapnya yang memberikan aba-aba.     

Mobil pun jalan meninggalkan pekarangan rumah Alvira dan El sahabatnya, juga mulai berjalan menjauh dari komplek yang memang semuanya setara memiliki rumah dengan bangunan mewah.     

Mario mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan melihat layar benda datar tersebut. Ia langsung menghubungi Reza tanpa banyak berbasa-basi. Dirinya tau kalau ia sekiranya harus mengeluarkan sang sahabat dari kekangan maut Priska yang membawa cowok itu ke rumah.     

Panggilan telepon pertama tidak di jawab membuat Mario mengeluh kemana sebenarnya sahabatnya yang satu itu.     

Akhirnya, Mario pun mencoba untuk menghubungi kembali, panggilan telepon kedua.     

Dan ya, pada akhirnya panggilan kedua terhubung menjadikan Mario rasanya ingin memaki karena tidak biasanya Reza tidak menjawab panggilan telepon darinya.     

Ia menaruh ponsel di daun telinga. "Kemana aja lo anjir gue telponin kagak di angkat-angkat, gue mau ngajak lo nongkrong." ucapnya yang langsung to the point. Memang dirinya terbiasa nongkrong di cafe berdua dengan Reza.     

Ya, tanpa El. Karena El juga merasa tidak masalah kalau memang Mario dan Reza ingin nongkrong berdua. Lagipula, persahabatan mereka tidak memiliki rahasi, berbeda dengan persahabatan Priska and the genk yang semin banyak hal yang disembunyikan.     

"E-eh? Halo Mario? Ini gue, Priska."     

Ternyata, suara di seberang sana itu adalah suara Priska dan bukan sahabatnya, Reza.     

"Lah? Ngapain lo yang jawab, marpuah? Dimana Reza, kasih telponnya ke dia. Gue mau telponan sama Reza, bukan sama lo." balas Mario yang sinis, ia tidak peduli kalau perkataannya ini di dengar oleh sang pengemudi taxi.     

Terdengar suara mendengus dari seberang sana. "Iya maaf nih gue yang bales, soalnya Reza lagi tidur. Masa gue bangunin? Gue gak tega."     

"Ya lagian lo ngapain izinin dia tidur? Udah sore, cepetan bangunin."     

"Dia nyuruh gue bangunin jam lima, sekarang masih jam empat. Takutnya, tidur Reza gak nyenyak."     

"Ya lo mau modus kan sama sahabat gue? Dasar nenek lampir."     

Mario san Priska bagaikan musuh, dan itu sepertinya akan tetap berlaku sampai kemudian hari dan seterusnya.     

Memamgnya siapa yang mau berdekatan dengan seseorang yang selalu membuat kesal? Reza pun juga berpikir demikian untuk tidak dekat-dekat dengan Priska yang hanya bisa memancing emosinya saja.     

"Ya udah bangunin aja, urak-urak badannya. Gue mau ngajak main. Kalau dia marah, bilang di suruh gue. Kalau perlu nih ya, gak udah di matiin ini telepon biar gue aja yang langsung bilang ke dia kalau marah."     

Bukannya menjawab, malah terdengar helaan bapas dari seberang sana. Tentu saja hal itu membuat Mario langsung mengacak-acak rambutnya karena merasa frustasi.     

"Jawab woi nenek lampir, malah diem aja, atau kesel ya lo sama gue apa gimana?"     

Tiba-tiba …     

Pip     

Telepon di putus oleh pihak di seberang sana. "Ih sialan, malah di matiin teleponnya." umpatnya dengan kasar.     

Mario mengangkat senyuman. Memangnya ia tidak tau lokasi rumah Priska dimana? Ia akan menyusul kesana, setidaknya itu yang memang harus ia lakukan untuk cewek yang songong seperti Priska.     

Sepertinya Mario tidak sadar kalau ia sebenarnya sama menyebalkannya dengan Priska.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.