Elbara : Melts The Coldest Heart

Perubahan Sifat Moli



Perubahan Sifat Moli

0Ini sudah pergantian hari. Dan seperti biasa, Bian duduk di tepi lapangan sambil menikmati hembusan angin di pagi hari mumpung cuaca masih sejuk dan bel masuk masih lama berbunyi.     
0

Kali ini ia tidak mengajak siapapun untuk duduk di sampingnya. Ya, ia sendirian. Tidak ada niat menarik perhatian, atau apapun itu. Ia hanya ingin menikmati hari-hari yang telah ia syukuri sebagaimana mestinya.     

Berita kedekatannya dengan Moli sudah tidak asing lagi di telinga para murid karena mereka kini lebih mengurusi kisah percintaan Priska dan Reza yang tidak di duga-duga sebelumnya.     

Sempat berpikir kalau apa yang terjadi akhir-akhir ini sedikit aneh, namun berkat Moli, ia mengerti untuk tidak menaruh prasangka buruk pada orang lain yang kali saja memang ingin menanamkan takdir baik.     

Reza menembak Priska, dirinya di ajak berdamai oleh El, rasanya begitu tiba-tiba.     

Mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Bian mendongakkan kepala, menatap langit biru dengan awan putih seperti kapas yang membingkai di udara, tampak cantik dan memanjakan mata.     

Mengenai perasaannya ke Moli, sungguh seperti perasaan cinta yang sudah mengalir di setiap aliran darah yang berada di tubuhnya. Oke, katakan saja kalau ini berlebihan. Tapi, memang itu benar adanya.     

Bagaimana selanjutnya, ia merasa ingin memiliki hubungan spesial dengan Moli. Namun, ia benar-benar memilih saat yang tepat.     

Karena sudah puas menatap langit, kini tatapan Bian kembali menurun dan terlihat Moli yang seperti membawa satu buku di tangannya, cewek tersebut peluk seakan-akan menahan agar tidak terjatuh yang menyebabkan kerusakan.     

Melihat itu, tentu saja senyuman Bian mengembang. Ia beranjak dari duduk, setelah itu berlari kecil ke arah Moli yang tampak berjalan lurus tanpa ingin menolehkan kepala ke kanan ataupun kini.     

"Selamat pagi, cantik. Perlu gue bantuin bawa bukunya gak? Atau gue bawain tas lo?" Bian dapat melihat kalau isi tas Moli sangat penuh, entah apa saja yang di bawa oleh cewek tersebut sampai-sampai satu buku pun harus berada di dalam dekapannya.     

Mendengar seseorang yang mengajaknya berbicara menjadikan Moli hanya melirik sekilas, setelah itu menggelengkan kepala dengan perlahan. "Gak perlu." Ia menjawab dengan secukupnya, kembali mengingat apa yang dikatakan oleh Samuel tentang semua peringatan yang sang Daddy tanamkan pada dirinya. Apalagi tentang berpacaran, laki-laki tersebut menentangnya dengan keras.     

Merasa kalau ada yang sedikit aneh dari perilaku Moli menjadikan El menaikkan kedua alisnya, ia menghembuskan napas. Berpikir apa ada hal salah yang telah ia lakukan, atau bagaimana? Ia cukup peka dengan para cewek, namun sejauh ini, Moli-lah yang paling sulit untuk di mengerti.     

"Lo kenapa? Jutek banget dah sama gue, apa gue ada salah sama lo? Tadi malem gue lupa rapihin ruang televisi, ya?" tanyanya yang malah menebak-nebak, hanya ini saja yang kepikiran di otaknya.     

Pertanyaan Bian sangatlah lucu, namun Moli pikir, ini bukan saatnya untuk terkekeh atau menunjukkan ekspresi yang serupa.     

"Gak kenapa-napa."     

Pada akhirnya, mereka sudah berada di luar lapangan, berganti menyusuri koridor yang terkadang tatapan mata orang-orang terlihat menatap mereka seolah ingin tau. Memang pada dasarnya orang-orang kepo, selalu penasaran dengan kehidupan yang di jalankan oleh orang lain.     

"Kalau lo gak kenapa-napa, kenapa seolah lo diemin gue? Ya sorry kalau gue tadi malem pulang, atau karena jawaban kenapa gue deket sama Priska itu gak cukup memuaskan bagi lo?"     

"Gak penting juga sih kalau kamu deket sama Priska, lagipula jawaban kamu tadi malam itu udah lebih dari sekedar cukup."     

"Terus kenapa lo seolah-olah marah sama gue? Apa lo mau jauhin gue gara-gara gak percaya sama penjelasan gue tadi—"     

"Aku gak peduli." jawab Moli sekali lagi dengan penuh penekanan, ia menghentikan langkah di tengah koridor yang beruntung ini masih terlalu pagi dan tidak terlalu banyak murid.     

Bian menaikkam sebelah alis, ia sudah berusaha untuk intropeksi diri dan berpikir apa saja kesalahannya yang mampu membuat Moli marah. Namun, cewek itu malah seperti ini kepadanya? Oh astaga. "Terus apaan yang lo peduliin?" tanya yany mengubah raut wajah menjadi serius. Jangan sampai, di pagi hari yang cerah seperti ini, ia kehilangan mood-nya.     

Tidak mengerti harus bagaimana, Moli diam saja. Setelah itu melanjutkan langkah kaki meninggalkan Bian yang masih berada di pijakannya. Ia sangat ingin yang terbaik untuk orang tua —apalagi untuk Samuel— namun dalam artian ia harus mengorbankan kedekatannya dengan Bian, di satu sisi ia juga sudah nyaman dengan cowok yang saat ini melangkahkan kaki mengejar ketinggalan karenanya.     

Pilihan itu rumit, dan memilih itu sulit.     

Bian menyamakan langkah kaki dengan Moli. Kemarin, tingah cewek itu normal, namun ada apa dengan pagi ini? "Kalau emang lo ngerasa gue bikin lo kesel atau lainnya, seharusnya lo bilang biar gue paham, Li. Gue bukan cenayang yang bisa baca apa yang lo pikirin, gue juga butuh penjelasan."     

"Gak ada yang perlu di jelasin, Bian. Nanti aku cerita, tapi gak sekarang." Moli menjawab dengan gelengan kepala yang pelan, lalu menampilkan senyuman simpul.     

"Kenapa begitu? Apa ceritanya berat? Rahasia? Atau gimana? Gue kalau begini, takutnya pandangan orang-orang, lagi dan lagi anggep gue kayak sampah yang permainin hati cewek terus, please." Entah sejak kapan Bian bisa menjadi pribadi yang memohon.     

Mendengar permohonan Bian, menjadikan Moli tidak tega. Ia menghembuskan napas dengan perlahan agar hatinya terasa lega. "Iya, maaf ya aku udah bertingkah kayak gini ke kamu, maafin banget." ucapnya mengembalikan nada bicara menjadi normal. Bagaimana pun, dari awal ini memang kesalahannya. Dan ia, akan menerima konsekuensi dan menjelaskan seperti tiada rahasia di antara dirinya dengan cowok yang berjalan bersisian dengannya.     

"Iya gak apa-apa, jangan di ulangi lagi kayak gitu, emangnya lo pikir enak ya di jutekin kayak gitu? Kesannya lo di jahatin sama gue, makanya berubah sifatnya."     

"Enggak, lo bahkan cowok terbaik yang pernah ada di hidup gue. Lo bener-bener yang pertama, cowok pertama yang membawa kebahagiaan."     

Tidak seperti cewek-cewek lainnya yang berada di muka bumi menobatkan bahwa sang Daddy adalah cowok terbaik pertama di hidup mereka, bahkan tak jarang ada yang menyebutnya 'Daddy adalah cinta pertama-nya anak perempuan di muka bumi'. Tapi ya, itu tidak berlaku bagi Moli.     

Bian pun paham dengan ucapan Moli yang menjerumus kesana. Tidak memiliki niat untuk memancing kesedihan, akhirnya Bian terkekeh sambil mengacak-acak rambut Moli yang terjatuh lemas. "Dasar lo gemesin banget jadi cewek, gue jadi nyaman nih gimana dong." ucapnya, frontal. "Belajar ya yang bener, jangan gara-gara kehadiran gue, nilai lo jadi merosot. Gue bakalan dukung apa yang lo giati,"     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.