Elbara : Melts The Coldest Heart

Kebenaran Bolos Sekolah(?)



Kebenaran Bolos Sekolah(?)

0El meminta kunci belakang sekolah pada penjaga sekolah, dan tentu saja ia menadapatkannya dengan sangat mudah.     
0

Bahkan, seperti apa yang dikatakan Reza untuk izin terlebih dulu untuk keluar sekolah mendapatkan respon yang baik karena ini menyangkut tentang mencari Alvira.     

Para guru juga tidak ada yang bisa membantah, namun ada yang memberikan hukuman berat jika mereka bertiga melakukan pelanggaran karena telah di anggap berbohong atau lain sebagainya.     

Kini, mereka sudah mengunci kembali puntu belakang. Dan El memberikan kunci tersebut untuk di genggam oleh Maruo yang langsung menyimpannya di saku celana.     

"Emangnya lo tau Alvira kemana?" tanya Reza dengan sebelah alis terangkat, yang menatap punggung El karena ia berjalan tepat di belakang cowok yang menjadi lawan bicaranya saat ini.     

El menaikkan kedua bahunya, lalu menjawab tanpa menolehkan kepala ke arah sahabatnya. "Ya emangnya mereka berdua berani bolos jauh-jauh? Kan paskiran termasuk ada di dalam area sekolah, mau gak mau boloh jalan kaki. Mana sanggup Alvira jalan jauh."     

Mendengar jawaban El yang tentu sangat masuk akaln membuat Mario mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali. "Oh iya juga ya. Kan disini tuh ada warkop, coba aja kita kesana." ucapnya yang menyarankan karena memang siapa tau mereka yang di cari ada di sana, iya kan?     

Menganggukkan kepala karena setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mario, kini langkah Reza di setarakan dengan langkah El yang memang sedikit terburu-buru. Mungkin karena cowok itu tidak tega meninggalkan Nusa sendirian di kelas tanpa penjagaan, iya kan?     

Belum tau saja El, kalau saat ini Nusa tengah duduk bersama Priska.     

"Nah iya juga tuh. Pasti kan sekalian isi perut juga nih mumpung udah siang." balas Reza sambil menganggukkan kepala.     

El hanya diam, tidak mengeluarkan sepatah atau dua patah kalimat sedikitpun.     

"Kalau bener sama Bian, jangan kasar sama tuh cowok dlu, El. Nanti semua rencana kita gagal kalau pakai emosi," ucap Reza yang kembali mengingatkan El karena sahabatnya yang satu itu sangatlah suka terbawa emosi dengan apapun hal yang menyangkut tentang Alvira.     

"Iya dengerin, tapi kalau Bian yang salah, gimana?" Pertanyaan itu muncul dari mulut El, menjadikan ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri.     

Mario menagngkat kedua bahu. "Ya gimana ya El. Selayaknya Reza yang mati-matian nahan rasa kesel sama Priska, ya lo juga harus kayak gitu ke Bian. Cukup penegasan aja, jangan pakai ribut segala karna pasti nantinya yang ada dia sama genk-nya curiga." Cukup mahir sepertinya dalam memberikan saran.     

El menganggukkan kepala. Kalau ia tidak bisa mengatur emosi, bisa-bisa semua rencananya akan hancur berantakan, sungguh. "Ya udah, tapi kasih gue aba-aba atau ngapain kek biar kalau gue mau emosi, gue inget sana semua perjanjian kita." balasnya.     

Mario dan Reza menganggukkan kepala dengan kompak. Terlihat seperti Mario yang memang tidak mengambil andil apapun, namun dirinyalah yang memberikan keseimbangan dan terus-menerus memantau agar rencana tidak keluar dari jalannya.     

"Lagian ngapain juga Alvira masih sama Bian. Maksud gue, Bian kan udah punya Moli. Kalau rencana bolos ini di rencanain sama Bian, gak abis pikir sih gue dia buaya darat banget," balas Reza sambil mendengus seperti kesal. Hei ingat, hatinya diam-diam masih memilih Alvira loh makanya ia mengatakan hal ini.     

El tidak mempedulikan hal itu. Entah mengapa, hatinya mengatakan kalau Alvira-lah yang melakukan pembolosan ini. Mengenai Bian, ia sangat tidak peduli dengan apa saja alasan cowok tersebut.     

Mereka bertiga berjalan beriringan, juga di masing-masing leher mereka di kalungkan kartu izin keluar sekolah supaya kalau di liat oleh petugas keamanan atau siapapun itu, mereka bisa menunjukkan kartu tersebut agar tidak menjadi masalah pencemaran nama baik SMA Adalard.     

Ternyata keluar sekolah lewat jalur perizinan itu tidak buruk juga, benar kan?     

Sampai pada akhirnya, mereka sampai tepat di salah satu warung kopi yang memang satu-satunya yang berada paling dekat dengan pintu belakang sekolah. Tanpa banyak basa-basi, mereka bertiga langsung masuk ke tempat tersebut dan terlihatlah Alvira dan Bian yang diam-diaman sambil melihat ke arah ponsel masing-masing di tangan.     

"Waw, canggung sekali." ucap Mario sambil mengerjapkan kedua bola matanya, ia benar-benra tidak menyangka dengan penglihatannya. Sejak kapan Alvira bisa berdamai dengan suasana yang penuh ketenangan seperti ini?     

Mungkin karena ucapan Mario menjadikan Bian dan Alvira menolehkan kepala ke sumber suara. Yang cewek tampak terkejut bahkan membelalakkan kedua bola mata karena takut, sedangkan yang cowok sih bersikap tenang sambil menghisap putung rokok yang di apit kedua jarinya.     

"Sepi, sunyi, dan suram." sambung Reza sambil menatap Alvira dengan tatapan mata penuh 1000 pengartian. Entahlah, rasanya memang kecewa di saat melihat cewek yang di cinta malah bersama dengan orang lain dan duduk berdua, bersebelahan juga memiliki niat bolos bersama yang tentu sangat tidak pantas untuk dilakukan.     

Alvira meneguk saliva, apalagi di saat pandangannya bertabrakan dan saat ini terkunci di kedua bola mata El yang terlihat sangatlah menyeramkan. Tidak ada senyuman ceria seperti biasa, yang ada adalah rasa takut yang tadinya bahkan tidak ia pikirkan.     

"Kenapa kamu bolos? Ada yang bikin gak enak apa gimana? Kok gak bilang-bilang?" Pertanyaan El lolos begitu saja dari mulutnya, tatapan begitu mengintimidasi menjadi ciri khas seorang Elbara.     

Mendengar itu, Alvira menolehkan kepala ke arah Bian. Cowok tersebut tampak santai, sampai pada akhirnya ia menyenggol lengan cowok tersebut untuk membantunya menjawab pertanyaan dari sang Kakak.     

Bian yang di senggol pun menggembuskan napas, padahal baru beberapa saat lalu dirinya membicarakan perihal ini dengan Alvira, ternyata El and the genk sudah bisa memprediksi dimana dirinya dan Alvira berada.     

Dengan deheman kecil, Bian mencoba untuk mengintrupsi suara. "Sorry nih, mau bela Alvira." ucapnya sambil menaruh putung rokok ke dalam asbak karena sudah habis. Ia berani menatap El, memang hanya dirinya yang dari dulu bisa se-santai ini dengan El, apalagi ia sudah berdamai dengan cowok itu.     

Reza dan Mario seperti aba-aba El saat diperjalanan tadi, mereka memilih untuk mendengar dan menyaksikan saja.     

El menganggukkan kepala, ia mempersilakan Bian untuk mengatakan apa yang ingin dikatakan oleh cowok tersebut. "Oke, lo mau buat pembelaan apa sama adik gue?" tanyanya. Seperti yang tadi di bicarakan, walaupun ia kesal, namun dirinya berhasil untuk menahan agar tidak terlalu terbawa emosi karena itu berbahaya.     

Reza dan Mario duduk di kursi panjang warung kopi, beruntung hanya mereka saja yang berada disini tanpa adanya masyarakat setempat. Mereka memiliki niat untuk memesan es teh manis karena perjalanan tadi cukup bisa membuat tubuh mereka lelah dan merasa membutuhkan minum.     

"Ra, lo pindah aja sama di samping Reza atau Mario. Biar enak gue tatap-tatapan sama El," ucap Bian terlebih dulu sembari menepuk-nepuk lengan Alvira dengan pelan seperti tengah memberikan aba-aba untuk pindah dari tempat duduknya saat ini.     

Nusa pun menganggukkan kepalanya, setelah itu tanpa banyak bicara juga langsung pindah menjadi ke sebelah Mario yang kini sudah menyambar bakwan sebagai camilan.     

"Lo jangan ngomong apa-apa Ra, biarin aja di selesaiin sama tuh dua cowok." ucap Mario dengan berbisik tepat di telinga cewek yang berada di sampingnya.     

Mario sama sekali tidak menyalahkan Alvira yang membolos, bahkan tidak berpikir yang aneh-aneh. Menurutnya, setiap orang ada titik jenuh. Bedanya, ia tidak tau apa yang sedang dirasakan cewek satu itu sehingga melakukan aksi membolos dari sekolahan.     

Reza menyaksikan saja dalam diam, selayaknya Bapak warung yang juga pura-pura menutup mata dan telinga karena permasalahan seperti ini sudah banyak terjadi di kalangan remaja. Ia tidak ingin ikut campur, kan tugasnya hanya melayani siapa yang ingin membeli di warungnya.     

El lebih dulu duduk di samping Bian, namun menjaga jarak dengan cowok tersebut agar penglihatannya tidak terlalu dekat. "Gue nunggu ucapan lo." Ingin rasanta berkata kasar ketika Bian yang ditunggu-tunggu berbicara malah berdiam diri terlebih dulu seolah kehilangan kata-kata. Oh atau bahkan, cowok itu sedang merangkai kata-kata untuk dilontarkan kepadanya?     

Bian menganggukkan kepala, setelah itu menghembuskan napas. Ia berjanji kepada Alvira untuk mengatakan yang sebaliknya, bukan kenyataannya.     

Entah mengapa, jiwa ingin melindungi Alvira masih sangat kuat. Namun, ia bukan tipe cowok yang dapat mengulang hal lalu di masa depan. Dalam artian, ia tidak bisa berbalikan untuk kembali memiliki hubungan 'perasaan' kepada Alvira.     

"Tadi gue yang ngajak Alvira cabut, sorry banget ya El. Gue gak enak aja gitu cabut sekolah sendirian, kebetulan tadi pas-pasan sama Alvira yang baru keluar toilet."     

Mendengar penjelasan Bian, seakan tidak tega pun Alvira yang mendengarnya langsung merasa sedih dan sangat tidak nyaman berbohong kepada El walaupun yang berbohong itu adalah Bian, bukan dirinya.     

El melirik ke arah Alvira. Dan benar saja, terlihat gerak-gerik sang adik yang kurang nyaman pertanda kemungkinan besar apa yang dikatakan oleh Bian tidak ada unsur kebenarannya.     

Dari situ, El paham kalau perkataan Bian bukanlah kejujuran yang dirinya ingin dengar. "Oh gitu ceritanya? Gak ada cerita lain apa gimana?" tanyanya, namun saat ini nada bicaranya terdengar sangat kalem, bahkan tidak ada lagi tatapan intimidasi.     

Bian menggelengkan kepalanya dengan tegas, setelah itu tersenyum tipis. "Gak ada. Dah sana lo bawa adik lo balik ke sekolah, gue masih mau disini. Kalau banyak yang nanya Alvira bolos apa gak, bilang aja gak buat ngelindungin dia—"     

"By the way, gue kan Kakak-nya Alvira jadi gue paham kok apa yang harus gue lakuin. So, gak perlu takut gue jujur buat ungkap kejelekan yang baru ini di liatin Alvira." balas El.     

"Oke, thanks." ucap Bian. Ia sangat beruntung karena El bisa mempercayai apa yang dirinya katakan. Dalam artian, ia berhasil menghindari amukan maut El yang bisa saja memarahi Alvira karena hal ini.     

Dalam hati, El mentertawakan sifat Bian yang seolah masih sangat mengenal Alvira. Padahal, cowok tersebutlah yang sama sekali tidak mengenal sang adik.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.