Elbara : Melts The Coldest Heart

Memang Menyebalkan



Memang Menyebalkan

0Nusa kalau di hadapkan dengan manusia seperti Priska mungkin memilih untuk menyerah saja, mungkin? Pasalnya, siapa yang akan menyangka kalau cewek tersebut akan se-bawel ini?     
0

"Jadi tuh ini rumusnya kayak gimana dah? Ajarin dong, sampai nilai gue seratus semua. Kalau bisa, gue mau nyontek jawaban lo aja deh."     

Mendengar perkataan Priska yang seperti itu sekiranya sebanyak tiga kali pengulangan membuat Nusa menghembuskan napas dengan perlahan. Cewek tersebut benar-benar menyebalkan, entah ini termasuk ke dalam kesengajaan, atau memang Priska benar-benar bodoh atau apalah itu.     

Nusa menolehkan kepala, menatap buku tulis Priska yang ternyata masih kosong mlompong. "Ya kamu mah harusnya tuh tulus dulu soalnya, baru mikirin jawaban. Kamu nomor satu aja belum, padahal itu gampang banget, Ka." ucapnya yang memang memilih untuk sabar untuk menanggapi.     

Mungkin kalau saja Nusa itu seperti Mario, sudah habis cewek tersebut di maki-maki olehnya. Tapi, kan dirinya tidak seperti itu jadi lebih memilih untuk mananamkan perasaan sabar saja.     

"Lucu banget ih lo mah, dimana-mana tuh mikirin jawaban dulu baru nulis soal. Kan biar nanti jawabannya gak buyar di otak, iya kan?"     

Kan benar firasat Nusa mengenai Priska yang berpindah tempat duduk menjadi kesampingnya. Ternyata cewek ini ada maunya. Lihatlah, sekarang malah mengatakan hal seperti ingin menyontek dengan embel-embel minta di ajari.     

Nusa menarik napas, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia menatap guru di depan kelas, tampak acuh dan cuek mengingat seharusnya dia adalah guru matematik yang kebanyakan memiliki sifat yang tegas.     

"Ya udah, cari tau dulu jawabannya sendiri. Nanti baru deh hasil akhirnya biar aku yang periksa." ucap Nusa pada akhirnya, setelah itu menghembuskan napas dengan perlahan. Memang, dirinya harus memiliki rasa sabar yang berlipat ganda.     

Priska menaikkan sebelah alisnya dikala melihat Nusa yang ingin melanjutkan melulis menjadikan dirinya terheran-heran, lalu merebut paksa buku tulis dari hadapan cewek di sampingnya.     

Tanpa rasa dosa sedikitpun, Priska menahan kuat-kuat buku Nusa agar tidak di ambil sang pemilik. Lalu, ia menyalin serupa dengan apa yang sudah di tuliskan Nusa dengan secepat kilat.     

Nusa hanya terbengong, rasa ingin memakinya sangat kuat. Namun, ia sadar kalau saat ini berada di dalam kelas yang berarti tidak boleh berteriak dan mengganggu di saat ada guru karena itu sangatlah tidak sopan.     

Pada akhirnya, Nusa membiarkan saja apa yang ingin dilakukan oleh Priska. Toh nanti kalau jawabannya serupa, pasti guru akan menyuruh untuk membuktikannya di depan kelas. Dan di saat itu terjadi, bisa saja dirinyalah yang menang.     

"Terserah kamu deh, udah males ngelarang soalnya juga kayak percuma." ucap Nusa pada akhirnya. Ingin melawan pun nanti malah menjadi keributan yang kesekian kali di saat pagi tadi sudah ada Bian yang berhasil membuat keributan karena ribut sampai membuat anak kelas sebelah bonyok karena perihal Moli yang di siram air mineral sampai seluruh bajunya basah.     

Priska tersenyum manis, lalu menatap Nusa sambil menjulurkan tangan untuk mengunyel-unyel kedua pipi cewek di sampingnya. "Ih gemes banget, untung aja lo baik sama gue. Kan kalau begini, gue gak perlu susah-susah mikir eh udah dapet jawaban." balasnya.     

Nusa meringis, lalu menepis tangan Priska dari pipinya yang sangat mengganggu. "Apaan sih? Untungnya muka aku gak sensitif." Namun tak ayal, tangannya meraih tas untuk mengambil tisu kering di dalam sana untuk mengusap-usap wajahnya karena di tangan itu ada mengandung paling banyak kuman tak kasat mata.     

Priska menaikkan kedua bahu, lalu kembali melanjutkan menyalin jawaban yang berada di buku tulis Nusa. Tulisan cewek tersebut yang sangat rapi menjadikan dirinya tidak perlu bertanya-tanya karena takut tulisan tidak terbaca.     

Nusa menatap ke arah papan tulis yang terdapat rumus-rumus matematika yang beberapa saat lalu di jelaskan oleh guru. Ia sudah paham dengan materinya, semua ini berkat manusia bernama El yang tidak pernah menyerah untuk mengajarinya sampai bisa mengerjakan matematika sendirian. Sebuah perubahan yang sangat maju, iya kan? Mengingat dulu awal masuk sekolah sangat buta dan terlalu meraba-raba dalam pelajaran matematika, namun sekarang ia sudah cukup menguasai sebagai bekal ujian kelulusan.     

Sedangkan Priska? Ia seperti tidak ada kemajuan apapun, malah memutuskan untuk menyontek di bandingkan dengan memikir jawaban sendiri.     

Menghembuskan napas, Nusa melihat Priska selesai menyalin pun langsung saja menebut kembali bukunya. "Dah lima nomor aja, sisanya mikir sendiri." ucapnya. Hei, ia sudah berbaik hati memberikan jawaban atas pemikirannya sendiri, iya kan? Jadi yang selanjutnya tidak akan ia berikan.     

"Yah kok gitu sih? Gue kan beluman kelar nyonteknya, jahat banget sih lo mah."     

"Siapa yang jahat? Gak ada."     

"Ya itu lo, bukannya biarin gue nyonyek aja. Gak boleh pelit Sa jadi orang, nanti kuburannya sempit."     

"Oh begitu."     

Penanggapan Nusa kepada Priska saat ini seperti layaknya respon El yang dingin. Bedanya, Nusa tentu saja tidak memiliki sifat yang kejam seperti sang pacar.     

Priska menaikkan kedua bahunya, setelah itu menutup buku karena firasatnya tugas ini akan menjadi pekerjaan rumah. Jadi, setidaknya nanti ia bisa minta tolong Nika yang lumayan berbakat di pelajaran matematika.     

"Itu tadi El izin keluar sekolah, lo tau gak?" tanya Priska yang kembali memulai pembicaraan, ia tidak berniat mengerjakan soal-soal walau jumlahnya hanya 10 soal dan dirinya sudah berhasil menyontek 5 soal, yang berarti tinggal 5 soal tersisa.     

Nusa menganggukkan kepala tanpa suara. Matanya fokus menatap buku tulis, dan tangannya juga terlalu fokus untuk menulis sambil menghitung di lenbaran sobek yang memang di pergunakkan sebagai kalkulator manual, menghitung dengan otak.     

"Oh kalau tau, itu kemana sih? Gue kepo nih."     

"Gak tau deh, rahasia. Cuma orang-orang terdekat yang boleh tau,"     

"Ya kan gue pacarnya Reza, berarti gue juga seharusnya jadi orang terdekat yang harus tau apapun itu masalahnya."     

Sepertinya Priska berharap besar kalau Nusa kehabisan kata-kata karena dirinta yang mengucapkan hal ini. Namun sepertinya, ia akan menjadi tebakan yang salah besar. Karena saat ini, Nusa tersenyum dengan kepala menunduk yang sudah pasti senyuman tersembunyi.     

"Kalau kamu orang terdekat, seharusnya kan Reza yang kabarin kamu, bukannya kamu yang kepo nyari-nyari informasi." Nusa menampar Priska dengan kata-kata yang diucapkannya. Memang, cewek itu berpikir kalau soal mengadu ucapan, ia bakalan kalah? Tentu saja tidak.     

Priska bungkam, ia memilih untuk tidak menjawab karena kata-kata Nusa seperti menamparnya balik. Sial, siapa yang telah mengajarkan cewek tersebut bisa melawannya hanya dengan kata-kata saja?     

Nusa menyelesaikan satu soal, lalu bergerak untuk melanjutkan menulis soal dan jawaban yang selanjutnya. "Kalau emang Reza butuh kamu dan percaya kamu, hal kayak gini itu udah di kabarin sama dia. Tapi kan kenyataannya beda," ucapnya lagi yang seperti belum puas dengan apa yang dirinya katakan.     

Agak miris memang saat mendengar apa yang dikatakan oleh Nusa memang sebuah kenyataan. Bahkan kini Priska memikirkan apa yang diucapkan cewek di sampingnya. Ia menjadi… ah entahlah seperti tanpa pengekspresian untuk saat ini.     

"Namanya hubungan baru, kalau terlalu menuntut terbuka bahkan ngasih kabar terus menerus, ya kayaknya Reza wajar sih bersikap kayak sekarang."     

"Nah justru di hubungan awal semuanya harus ada kejujuran. Gak dari Reza doang, tapi dari kamu juga harus ada, Ka."     

"Gue jujur—"     

"Inget, tanpa rasa jujur, percuma banget kalian malah pacaran."     

Nusa tau kalau Priska banyak menyembunyikan sesuatu dari orang-orang, termasuk semua yang dilakukan cewek itu kepadanya. Bahkan, saat ini juga Priska merasa kalau dirinya memang telah banyak sekali membohongi orang. Tapi apa? Priska sama sekali tidak peduli.     

"Percaya apa gak, gue mah gak pernah punya rahasia apa-apa yang gue sembunyiin." ucapnya sambil meletakkan pulpen ke atas meja karena merasa ia sudah tidak ingin menulis lagi.     

Nusa terkekeh renyah, seperti mentertawakan apa yang dikatakan Priska karena tidak sesuai dengan kenyataan. Ia tidak mengambil pusing untuk hal satu itu, ia menghembuskan napas dengan perlahan. Biarkan Priska berbicara sesuai dengan jalan pikirnya yang halusinasi.     

Priska menghembuskan napas, ia menggelengkan kepala saat mengetahui kalau apa yang dikatakan oleh Nusa itu membuat dirinya tertampar dengan kenyataan yang ada.     

"Tapi menurut lo sekiranya itu gue cocok gak sih sama Reza? Gue bingunt banget sih asli, rasanya emang gue yang gak pantes buat Reza, sumpah."     

Meskipun menurut Nusa itu tindakan Priska yang berpacaran dengan Reza sedikit aneh, namun ia sangat tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh cewek tersebut barusan. Baginya, itu terdengar seperti insecure, bukan?     

Meninggalkan tatapannya pada buku tulis, saat ini Nusa sudah menolehkan kepala ke arah Priska dengan tatapan yang sedikit kesal. "Jangan pernah ngomong pantes apa gak-nya diri kita buat orang lain, Ka. Potensial kamu, aku, dan orang lain, tentu itu semuanya beda-beda kok." balasnya, kembali peduli karena ia sangat tidak bisa kalau melihat orang yang seperti tersesat di dalam pemikiran yang seperti itu.     

"Ya habisnya kayak cuma hubungan gue doang deh yang bermasalah. Lo sama El hubungannya mulus, Bian sama Moli juga mulus, tapi gak buat gue." ucap Priska dengan nada bicara yang lesu.     

"Ya kan awalnya kamu berdua itu musuh, tiba-tiba pacaran mungkin rasa hubungannya yang beda."     

Mendengar itu, Priska malah mendengus. Kalau saja ada Reza di hadapannya, ia berjanji akan menjambak rambut cowok tersebut kuat-kuat karena kesal dengan sifatnya.     

"Iya kali ya, gue-nya aja yang gak sabar mau hubungan mulus padahal kan masa lalu gue sama Reza itu bukan semacam PDKT-an yang romantis kayak orang-orang." ucapnya seperti sadar dengan kenyataan yang akan terjadi. Memang sadar diri dan sadar dengan keadaan adalah poin yang paling penting, sungguh.     

Nusa menganggukkan kepala. "Nah, makanya emang harus sadar sih dari kitanya juga. Udahlah gak usah di pikirin, nambah-nambahin beban pikiran aja dah."     

Priska diam, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi lalu menatap lurus dengan tatapannya yang kosong namun pikirannya seperti tengah mengeluarkan segala pemikiran yang seolah berkecamuk menjadi satu.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.