Elbara : Melts The Coldest Heart

Bermacam Kebohongan



Bermacam Kebohongan

0Berjalan beriringan dengan El bukanlah hal yang baru bagi Alvira. Namun dalam situasi seperti ini, tentu saja rasanya berbeda karena baru kali ini dirinya bermasalah. Sudah begitu, berbohong pula.     
0

"Lo serius gak ada yang mau bilang ke gue?"     

Pertanyaan El menjadikan wajah Alvira yang tadinya menunduk menjadi mendongak dan menatap cowok tersebut dengan sorot mata bertanya-tanya, bahkan matanya berkelip. "Maksudnya bilang apaan?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.     

Mendengar jawaban Alvira yang malah bertanya balik padanya membuat El berdehem kecil. Ia menundukkan kepala untuk menatap wajah sang adik, dan benar saja sorot mata ketakutan pun masih tercetak jelas di wajah cewek tersebut. "Gue tau lo nyembunyiin sesuatu." balasnya, lalu memutuskan pandangan karena lebih memilih untuk menatap lurus.     

Sekali-kali melihat ke jalanan, sambil kini kembali menatap wajah El lagi, Alvira merasa perasaannya tidaklah enak. Bagaimana bisa enak? Ia telah berbohong, yang dalam artian kalau itu adalah perbuatan yang tercela.     

"Emangnya aku lagi nyembunyiin apa sama Kakak, hm?" Sudah paham kalau El ternyata hapal dengan sifatnya bahkan tau kalau dirinya berbohong, tapi Alvira saat ini berpura-pura tidak tau saja.     

El mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia menarik tangan Alvira supaya mengikuti langkah kakinya, ia ingin ada perbincangan saja untuk menyelesaikan apa yang pastinya saat ini dirasakan oleh sang adik.     

Tidak ada yang mengerti kenapa anak baik-baik, penurut, bahkan tidak pernah melakukan hal yang dilarang menjadi anak yang bolos walaupun baru kali ini saja. Kan sangat aneh kalau tanpa alasan, iya kan?     

Alvira menurut, walaupun langkahnya sempat tersaruk-saruk karena langkah kaki yang di ambil El memang terlalu besar jika dibandingkan dengan langkah kakinya. "Ih ini mau kemana sih, Kak? Kok jadi belok, sih? Kan kelas Alvira masih lurus doang tadi gak perlu belok-belok kayak begini ish." ucapnya sambil cemberut.     

Beginilah El. Cowok ini membutuhkan privasi untuk bertanya apa yang ada di benaknya. Ya karena ketidakjujuran itu layaknya penyakit yang tidak bisa di sembuhkan, jadi harus cepat-cepat saling mengerti dan setelah itu mencari jalan keluar.     

El diam saja, ia masih melangkahkan kakinya walaupun saat ini sudah agak santay jika di bandingkan dengan sebelumnya.     

Pada akhirnya, Alvira merasa langkah kaki El yang melambat dan pada saat itu ia langsung melihat ruangan apa yang menjadi sasaran sang kakak untuk membuat dirinya jujur.     

Dan beberapa langkah di hadapannya ada perpustakaan, tempat yang tepat karena di saat jam pelajaran seperti ini tidak ada satupun murid yang ingin menginjakkan kaki di sana. Berbicara realistis, perpustakaan sekolah memang jarang sekali di kunjungi para murid karena minimnya kesadaran membaca. Tapi masih ada beberapa murid yang ke perpustakaan untuk meminjam buku atau sebagainya.     

"Kok ke perpustakaan, Kak? Nanti kalau di tanya kenapa ada disana, di jawab apa nih?"     

"Ya jawab aja lo bolos, terus kepsek nyuruh lo beresin perpustakaan."     

"Terus kalau di tanya kenapa Kakak ikut, di jawab apa dong?"     

"Jawab aja tugas gue ngawasin lo biar gak kabur, kan gue Kakak lo."     

"Oh iya ya bener juga." ucap Alvira sambil mengangguk-anggukkan kepala paham dengan apa yang dikasih tau oleh El, bahkan sebenarnya tidak tau bakalan kejadian atau tidaknya.     

Pada akhirnya, mereka sudah memasuki perpustakaan. Dan langsung saja terlihat penjaga perpustakaan dengan kacata yang bertengger di pangkal hidung, refleks menatap ke arah mereka berdua.     

"Masuk." ucap sang penjaga perpustakaan.     

Mungkin karena sudah tau kalau yang memasuki perpustakaan adalah El dan Alvira yang merupakan cucu dari sang pemilik sekolah, jadi sang penjaga perpustakaan tidak mengatakan apapun untuk menanyakan kenapa mereka berdua ada disini.     

El berjalan lebih memasuki perpustakaan, dan Alvira pun kembali mengikuti dengan isi kepala yang bertanya-tanya.     

"Kok kita gak di tanyain kenapa ada disini, sih? Kan ini masih jam mata pelajaran," akhirnya Alvira menanyakan hal ini kepada El yang berada di hadapannya.     

Menganggukkan kepala, El mengiyakan apa yang ditanyakan oleh Alvira. "Iya, bagus lah kayak gitu. Jadinya, gak perlu repot-repot atur rencana buat bohong."     

Setelah itu, El melepaskan genggaman tangannya pada tangan Alvira. Lalu, mendongakkan kepala untuk menatap sang adik. "Sini duduk, gue gak mau ada yang ganggu pembicaraan makanya gue bawa lo kesini."     

Pada akhirnya, Alvira berjalan memutari meja yang berada di tengah-tengah. Lalu, ia lebih memilih untuk duduk di hadapan El, lebih tepatnya sih berada di seberangnya.     

"Sekarang jujur lo ngapain bolos? Gue mau tau dari mulut lo, gue juga paham kalau Bian bohong sama gue." ucap El yang membuka percakapan. Ia hanya tidak ingin kejadian yang kemarin-kemarin terulang, maksudnya seperti memiliki rahasia antar satu sama lain.     

Sebelum menjawab, Alvira lebih dulu menatap bahkan mengunci pandangannya pada kedua bola mata El yang kini sudah kembali menatapnya dengan normal. Dari tatapan mata pun ia sudah tau kalau cowok di seberangnya menginginkan kekujuran.     

"Aku bolos ya karena keinginan sendiri. Ngerasa aja gitu sepi banget hari-hari aku. Kakak tau sendiri semua orang yang aku sayang udah punya pengganti aku, jadi aku mau sama siapa?" balas Alvira, nada bicaranta agak serak, mungkin karena perasaan takut yang menggrogoti rongga tenggorokkkannya.     

El menaikkan sebelah alis. "Ya biasanya juga lo gabung, gak pernah ada alesan kayak gitu. Bukannya kita udah damai tentang Nusa—"     

"Gak, aku sama sekali gak bahas Kak Nusa ya, Kak. Aku cuma ngerasa kayak sendirian aja, udah gak ada yang aku kejar." ucap Alvira yang langsung memotong perkataan El yang menurutnya kelewat topik karena takut melenceng ke arah kesalahpahaman.     

El menganggukkan kepala dengan paham, berusaha untuk tidak kembali membahas hal itu. "Oke, jadi, sebenernya apaan?"     

Menghembuskan napas, Alvira memutuskan tatapan pada El. Ia menundukkan kepala, menatap kedua tangannya yang saling bertautan di atas meja. "Tentang yang tadi, maaf Bian boong sama Kakak. Yang mau bolos itu aku, bukan Bian yang ngajak aku bolos. Tadi pas manjat dinding belakang sekolah, dibantuin sama dia."     

"Kenapa boong?" Hanya dua kata, namun saat El yang mengucapkan malah terdengar seperti intimidasi.     

Alvira menghela napas. "Gak tau, aku mau bolos, eh pas udah berhasil malah takut Kakak marah." Balasnya yang mencicit, ketakutan.     

"Makanya lain kali gak perlu lah bolos-bolosan. Udah tau kalau gue bakalan marah, pakai di lakuin. Ya kalau emang lo ada masalah, atau gue ada salah, enakan kan di obrolin tuh kayak gini dibandingin malah kayak lo barusan begitu tercela."     

"Iya maafin banget, sumpah. Aku juga tadi di warkop nyesel, terus Bian mau lindungi aku."     

"Kok lo tadi keliatan gak seneng sama Bian? Bukannya lo masih tergila-gila banget?"     

Pertanyaan El yang paling sulit untuk di jawab oleh Alvira ya adalah pertanyaan yang satu ini. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menaikkan kedua bahunya pertanda tidak tau. Lebih tepatnya, ia juga ingin jujur dan bertanya untuk mengetahui kebenaran Bian yang telah mencelakakan sang kakak.     

"Aku sama Reza udah jauh, dan kayak yang kita tau kalau dia kan pacaran sama Priska. Abis itu, Bian juga udah punya Moli dan aku ngerasa bukan bagian aku untuk ngerusak hubungan orang."     

El menganggukkan kepala, setuju untuk hal yang satu itu. "Oke, kalau itu gue setuju. Tapi kan lo bisa sama gue,"     

"Ih Kakak mah gak ngerti, ya ngerusak waktu sama Kak Nusa lah."     

"Lah kesel?"     

Alvira berdecak kecil, ia sudah kembali menatap wajah El. Rasa penasaran masih membingkai. "Sekarang aku yang tanya sama Kakak boleh?" tanyanya, kali ini sorot matanya pun berubah menjadi serius.     

Menganggukkan kepala, El sama sekali tidak merasa was-was atau apapun itu.     

"Boleh tanya aja." Karena kondisinya sudah tidak terlalu tegang, saat ini ia merenggangkan kedua tangan ke udara. Terasa pegal karena tadi saat menyampar Alvira dan Bian di warung kopi berjalan kaki, tidak menggunakkan kendaraan.     

Alvira sudah yakin dengan apa yang ingin di tanyakan. "Oke, gimana kalau sekarang Kakak yang jujur sama Alvira?"     

El menaikkan sebelah alisnya, ia sudah menurunkan kedua tangan yang tadi di renggangkan. Ia merasa tidak memiliki apapun yang menjadi rahasia, ya sepertinya begitu. "Maksudnya? Jujur apaan dah? Gue gak ada tuh nyembunyiin apapun dari lo, sumpah."     

"Kakak-nya aja tuh nyembunyiin sesuatu tapi pura-pura gak ada rahasia. Selayaknya Kak Bara tau Alvira boong, sebaliknya aku juga tau Kakak boong." balas Alvira. Menunggu jawaban El memang terasa lama sekali, sungguh.     

El tidak mengerti, pura-pura sih. "Coba kasih tau apaan yang lo tau dari 'rahasia' yang menurut lo gue sembunyiin." ucapnya, ya kan juga supaya lebih jelas."     

Alvira menganggukkan kepala, ia sudah menyiapkan mental untuk bertanya hal yang seharusnya tidak ia ikut campuri. "Maaf ya sebelumnya kalau aku lancang atau apapun itu, Kak." ucapnya yang malah memiliki kalimat pembuka terlebih dulu.     

"Iya elah cepetan, gue juga mau belajar nih ketinggalan banyak materi pelajaran di kelas." ucap El yang tampak tidak ingin ada basa-basi lagi di antara mereka.     

"Aku mau tanya tentang Bian. Bener kalau dia udah nabrak Kakak sampai waktu itu patah tulang? Jawab yang jujur Kak, Alvira juga gak masu di bohongi. Apalagi ini tentang Kak Bara yang cidera parah waktu itu, gak ada komunikasi apa-apa bahkan Mom dan Dad gak tau yang sebenernya, iya kan?"     

Pertanyaan Alvira membuat El membungkam mulutnya terlebih dulu karena ia tidak mengerti ingin menjawabnya dengan kalimat yang seperti apa. Ia pantas saja menyembunyikan hal ini karena tidak menginginkan Alvira kepikiran bahkan takutnya bisa keceplosan berbicara di muka umum.     

Sedangkan Alvira? Ia masih menunggu jawaban dari El dengan penuh ketenangan, dan sekaligus rasa penasaran yang meliputi di seluruh sudut hatinya.     

Ada yang berbohong untuk menyembunyikan rasa takut namun pada akhirnya memilih untuk jujur karena merasa tidak enak, dan ada juga yang berbohong untuk mengungkapkan sendiri kenyataan yang terlalu kejam dan menyakitkan.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.