Elbara : Melts The Coldest Heart

Ada Banyak Perubahan



Ada Banyak Perubahan

0Moli berjalan ke arah toilet, seperti perizinannya kepada Nusa dan yang lainnya tadi. Ia berjalan dengan cepat, sampai langkah kaki membawa ke tempat yang benar menjadi tujuannya saat ini. Ia menghembuskan napas, lalu berhenti tepat di hadapan cermin panjang melebar yang tersedia.     
0

Menatap pantulan wajahnya di cermin, lalu menyandarkan tubuh pada dinding.     

"Aku kurang apaan sih…" gumamnya dengan suara yang parau, seakan ia juga tidak bisa menela'ah dimana letak dirinya yang mungkin saja kurang di mata Bian sehingga cowok satu itu dapat mempermainkan hatinya seperti ini.     

"Gue udah di akui pinter sama semua orang, perubahan gue juga udah di akui cantik, berarti kan ada bukti kalau gue udah sesuai dan cukup pantas bersanding di samping Bian. Tapi kenapa kayak rasanya beda aja, Bian malah kayak ngejauhin aku?"     

Tidak mengerti dengan keadaan saat ini, juga tidak mengerti kepada dirinya sendiri.     

Ia menundukkan kepala, menatap sepatu berwarna putih yang menjadi alas kakinya. Sepatu yang baru satu minggu lalu diberikan oleh sang Daddy, terlihat masih baru.     

Entah apa yang berada di pikiran Bian, namun sepertinya cowok itu memang malah terlihat sedang bermain-main dengan hatinya.     

Ia menatap seragam sekolah dan rok-nya sekaligus. Seragam cadangan milik Bian yang diberikan kepadanya karena di siram oleh teman sekelas, juga rok yang langsung dibelikan pada koperasi yang memang menjual segala kebutuhan sekolah termasuk seragam.     

"Kadang baik, kadang keliatan tulus, kadang juga nyebelin, kadang juga jadi tanpa kabar kayak gini. Apa aku-nya aja kali ya yang terlalu terbawa suasana?"     

Menghembuskan napas lebih dulu karena dadanya terasa sesak. "Ya, dari awal padahal udah kasih warning buat diri sendiri supaya gak masuk ke dalam pesona Bian. Tapi ternyata, aku malah seperti memakan ucapan sendiri."     

Awalnya, ia berpikir kalau Bian bersama Alvira setelah di kabarkan dari desas desus kalau cewek dari cucu pemilik sekolah menghilang. Dan hal itu tidak terlalu heboh karena El, Reza, dan Mario segera bergerak untuk mencari Alvira.     

Namun, setelah Nusa terlihat dengan pengakuan berada di Lab IPA karena mencari bandana kesayangan yang sempat tertinggal —ini di usulkan oleh Mario untuk menyebarkannya seperti ini—, dan tidak ada Bian bersamanya menjadikan dirinya sudah pasrah saja.     

Lalu, buat apa dirinya berubah menjadi cantik dan juga sudah membuang beberapa waktu hanya untuk seorang Bian? Terdengar bodoh.     

Setelah itu, Moli kembali meraih ponsel di saki baju seragamnya, dan memeriksa apakah ada pesan atau bahkan panggilan masuk dari Bian, si cowok yang saat ini dirinya selalu tunggu-tunggu.     

Pada saat bersamaan, Moli membelalakkan kedua bola mata karena ada satu riwayat panggilan tidak terjawab dari Bian. Ia langsung merutuki kebodohannya. "Kok aku gak sadar kalau Bian telfon aku? Ih bodoh banget Moli," ucapnya sambil menepuk kepala dengan pelan.     

Tanpa berbasa-basi, Moli masuk ke dalam ruang pesannya dengan Bian. Ia menekan tombol berbentuk gagang hijau yang berwarna biru.     

Ini adalah saat yang paling Moli tunggu-tunggu, tentu saja. Dan ia langsung menempelkan ponsel karena ternyata panggilan teleponnya di jawab oleh Bian, astaga penantian sekali!     

Yang tadinya ia mengumpat kepada diri sendiri dan mengatakan bodoh, sepertinya ia kembali melupakan hal tersebut.     

"Halo, akhirnya kamu bisa di hubungi.." ucap Moli, merasa lega dan sedikit mengelus dada. Bahunya merosot, dan saat ini berjongkok dengan tubuh yang menempel pada dinding.     

Terdengar deheman kecil dari seberang sana, tidak lupa seperti ada kendaraan roda dua yang lewat menjadikan Moli mengernyitkan dahi.     

"Halo, maaf ya gue baru bisa ngabarin lo." suara bariton di sebarang sana menjawab dengan nada santai, bahkan tidak terdengar merasa bersalah atau penyesalan dan lain-lainnya.     

Moli menganggukkan kepala, tak ayal senyuman terukir jelas di permukaan wajahnya. Ia memang terlihat sangat senang seperti ini, sungguh. "Iya gak apa-apa kok, itu kamu lagi dimana? Kok kedengeran suara kendaraan? Jangan-jangan kamu—"     

"Iya gue bolos." balas Bian yang langsung memotong ucapan Moli. Sepertinya, ia tidak ingin terlalu banyak rahasia dengan cewek tersebut. Ingin di rahasiakan juga keberadaannya saat ini bisa dengan mudahnya di tebak.     

"Kok malah bolos? Kan sebentar lagi kita bakalan ujian, seharusnya kamu lebih giatin belajar dan kalau bisa tetap berada di kelas buat dengerin materi pelajaran dengan baik." Mulai menasehati, ia memang agak sebal di saat mengetahui kalau ada orang yang dengan entengnya malah meninggalkan kelas dan memilih untuk bolos.     

Bian terkekeh kecil. "Ya emang kenapa? Gak boleh? Buat ujian, gue si yakin bisa. Bukannya ngeremehin, gue pinter tapi gak terlalu di publish kayak lo." balasnya.     

"Udah tau pinter, tapi malah bukannya diem aja di kelas biar makin pinter."     

"Males, Li. Suntuk, gabut, kayak di kelas tuh gak ada udara buat refreshing otak."     

"Ya kan refreshing otak-nya bisa pas jam istirahat."     

"Iya deh, Bu guru Moli yang terlalu mematuhi peraturan sekolah."     

Mendengar Bian yang memanggilnya bu guru membuat Moli terkekeh kecil. Ia benar-benar melupakan beberapa menit lalu baru saja merasa tidak berguna dekat dengan cowok tersebut.     

"Serius aku nanyanya, gak mungkin kamu bolos. Sendirian, iya kan? Soalnya tadi aku liat temen-temen kamu lengkap di kantin, tapi kamu doang yang gak ada." Moli masih penasaran kalau sekiranya Bian belum bisa menjawab dengan jujur apa yang dirinya tanyakan.     

Terdengar hembusan napas dari seberang sana, terdengar cukup berat. "Lo mau jawaban jujur atau jawaban bohong biar lo baik-baik aja?" Memberikan option seperti itu yang malah terdengar menyebalkan.     

Moli mendengus. Lihat, seberapa menyebalkannya seorang Bian, iya kan? "Ya kamu mikir aja, emangnya siapa yang mau di bohongi? Aku lebih milih option kamu jujur daripada bohong,"     

"Ada resikonya, resikonya itu besar."     

"Ya aku gak peduli, kamu kalau bohong sama aku ya aku udah males gak mau percaya lagi sama kamu."     

Tidak ada orang yang ingin di bohongi, para cewek atau bahkan para cowok, semuanya tidak ada yang ingin dibohongi.     

"Kebohongannya, gue bohong karna tadi bilang suntuk di kelas." ucap Bian yang sengaja memberitahukan kebohongan lebih dulu daripada dengan kebenaran.     

Hal itu menjadikan Moli gregetan bahkan sampai membuat giginya terasa bergemeletuk antara gigi atas dan bawah. "Apaan lanjutin ih, kamu mah ngomongnya setengah-setengah gitu kebiasaan ngeledekin." balasnya sambil mendengus kecil.     

Terdengar suara tawa dari seberang sana. "Kejujurannya adalah, gue bolos karna…"     

…     

"Tadi lo ngapain anjir duduk di samping Nusa? Cari perkara aja ih jadi orang, untungnya cuma Reza sama Mario doang yang negor lo, kalau sampai El tau ya mungkin mampus lo."     

Mendengar perkataan Disty yang seperti sebal dengannya menjadikan Priska mendengus sambil menekuk senyuman. "Ya gue gak tau, emangnya gak boleh gitu duduk sebelahan sama Nusa?"     

Mulut Nika menganga, ia tidak menyangka kalau Priska menjawab dengan pilihan jawaban yang seperti itu. Dengan segera, ia mengarahkan punggung tangan ke kening sahabatnya. "Wah suhu badan lo sedikit panas nih, pasti demam makanya otak lo sedikit miring." ucapnya.     

Ucapan Nika membuat Disty tercenggang, lalu sedetik kemudian tertawa. "Priska baik-baik aja, oneng."     

Nika hanya ber-oh-ria, setelah itu berperan sebagai pendengar lagi yang tutup mulut.     

Disty kembali menatap Priska, setelah itu menaikkan sebelah alisnya. "Coba jujur sama gue, kok tadi balik dari tempat duduknya Nusa lo cemberut? Kayak mau nangis—"     

"Gue gak pernah nangis ya inget itu." ucap Priska yang langsung memotong ucapan sahabatnya. Ya menurutnya, ia sama sekali tidak merasa menangis kok walaupun pernah.     

Disty dan Nika mendengus secara bersamaan, namun tidak berani untuk berkomentar lebih jauh. Dan juga merasa oke-oke saja dan tidak mempermasalahkan ini lebih lanjut.     

"Oke lo emang gak nangis, tapi kayak sepet gitu mukanya." ucap Disty yang seperti mengulang perkataan yang sebelumnya.     

"Itu, Reza." ucap Priska sambil menghembuskan napas dengan perlahan. Ia merasa cemburu ketika tau kalau Reza… ah sudahlah. Bahkan dirinya sendiri tidak tau apa yang dirasa.     

Disty menaikkan sebelah alis, seperti meminta penjelasan yang lebih lanjut lagi mengenai perkataan Priska yang sepertinya tidak terlalu mengatakan dengan jelas dan secara detail. "Reza ngapain lo, Ka?"     

Kini, mereka bertiga masih berada di dalam kelas. Masih berada di tempat duduk masing-masing dengan Disty dan Nika yang memutar arah kursi supaya bisa berhadapan dengan Priska.     

Priska memutar segala ucapan Reza di kepala yang mengusir dirinya hanya untuk menjaga kenyamanan seorang Nusa yang memang sejak cewek tersebut pindah ke sekolah ini menjadi musuh terbesar di dalam hidupnya. "Gak tau ah, gue juga gak ngerti. Sekarang mah jalanin aja yang ada, takutnya kalau kebanyakan benci sama orang bisa kalut kayak kemarin-kemarin."     

Nika yang memang pada dasarnya lemot pun semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya. Butuh waktu lama untuk mencerna apa yany dikatakan oleh Priska, makanya ia jarang merespon seseorang yang tengah bercerita karena tau kalau dirinya tidak nyambung dengan topik yang di bahas.     

Disty menghembuskan napas. Karena banyak hal, Priska yang sekarang memang berubah dan sudah lama tidak berulah membully murid yang lain. Namun, entah mengapa perubahan positif itu juga mengubah sifat jujur Priska menjadi penuh rahasia yang mendalam.     

"Lo sekarang kalau ada apa-apa nyembunyiin dari kita terus, kita kan juga biar tau gimana keluh kesah lo, biar bisa kasih lo saran."     

"Ya gue aja bingung mau cerita kayak gimana kalau apa yang gue ceritain aja gak gue mengerti."     

"Tau ah Ka, lama-lama lo mah kayak orang kebingungan gitu. Gak tegas kayak dulu, ada yang buat perasaan lo jadi lemah gini, iya kan?"     

Pertanyaan Disty yang terdengar sangat mendesak menjadikan Priska berpikir. Yang menjadikannnya seperti ini adalah cowok yang saat ini menjadi pacarnya. Dulu, El tidak bisa membuatnya lemah seperti ini, tapi Reza berbeda.     

Priska menganggukkan kepalanya dengan perlahan. "Ada." gumamnya sambil menghembuskan napas.     

Distu menaikkan sebelah alis, begitupun Nika yang penasaran dengan siapa orang tersebut. "Siapa orangnya, Ka?"     

Priska menunda beberapa saat, lalu masih berusaha untuk menampilkan senyuman tipis. "Reza."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.