Elbara : Melts The Coldest Heart

Beda Orang, Beda Perasaan



Beda Orang, Beda Perasaan

0"Ih ujan."     
0

"Ya emangnya kenapa kalau ujan?"     

"Ya gue gak suka ujan, Za."     

Sekarang sudah masuk mata pelajaran selanjutnya. Dan kebetulan, guru yang mengajar belum masuk ke kelas karena memang ada pengumuman keterlambatan jam hadir guru karena ada rapat sekitar 30 menit lamanya.     

Kini, sesuai dengan arahan El, Reza sudah duduk tepat di samping Priska yang saat ini cemberut. Entah kenapa, sedaritadi cewek itu malah mencampakan dirinya bahkan membalas perkataannya dengan jutek seperti tidak berniat mengobrol dengannya.     

Reza menopang kepala dengan tangan kanan, tangannya di letakkan di dagu sambil mengarahkan pandangan ke cewek yang berada di sampingnya. "Lo kenapa sih? Gue salah nemenin lo? Gue salah duduk di samping lo? Apa gimana nih?" tanyanya dengan berbondong-bondong pertanyaan, bahkan sebelah alisnya terangkat.     

Priska yang tadinya sambil melamun menatap ke arah papan tulis pun mengerjapkan kedua bola mata, menatap Reza dengan bingung. "Siapa yang bilang kayak gitu? Gue gak ada tuh ya bilang lo begitu, dasar huh!" balasnya.     

Merasa hawa yang sedikit panas, menjadikan Priska saat ini melepaskan karet rambut yang tadinya di jadikan gelang dan di letakkan pada pergelangan tangannya. Ia segera menguncir rambut seperti ekor kuda, lalu kembali menaruh kedua tangan yang menyilang di atas meja begitu merasa telah sempurna mengikat rambut.     

Seperti kebanyakan cowok, Reza juga suka di saat melihat cewek menguncir rambutnya. Sekarang, aura Priska seperti terpancar. Memang benar, cewek di sampingnya ini sempat menjadi incaran saat awal masuk sekolah sebelum terkenal menjadi tukang bully. Paras yang cantik, memiliki materi yang tercukupi, hidup Priska terlihat sangat sempurna jika di lihat dari luar.     

"Ngapa lo liatin gue? Baru nyadar kalau gue cantik apa gimana nih?" tanya Priska sambil menarik senyuman miring di permukaan wajahnya.     

Reza yang mendengar itu pun berdecih sekaligus memutar kedua bola mata saat mendengar apa yang dikatakan oleh Priska, mungkin kalau Mario mendengar ini, sahabatnya yang satu itu akan membalas perkataan cewek di sampingnya ini dengan kata-kata menjijikan lainnya.     

"Jangan ge-er, tuh di idung lo ada upil." balas Reza. Karena ia gengsi dan tidak ingin terlihat kalau memang terpesona dengan Priska, langsung saja mengubah arah pandangnya menjadi menatap ke arah meja guru yang berada di depan kelas.     

Priska mencibir, ia tidak menyangka kalau rata-rata cowok itu tinggi ego. "Bilang aja iya, susah amat dah." balasnya, ia mendengus kevil. "Eh by the way beneran idung gue ada upil?" sambungnya yang bertanya dengan cemas sambil menepuk-nepuk lengan Reza agar cowok itu kembali menatapnya. Dan di saat Reza sudah mengarah ke wajahnya, ia langsung mendongak untuk memperlihatkan lubang hidungnya.     

Reza yang melihat itu mengernyit. "Jadi tambah jelek lo." ucapnya sambil memundurkan wajah Priska yang terlalu dekat dengannya, tenang saja ia mendorongnya dengan perlahan penuh kehati-hatian tidak dengan gerakan yang kasar.     

"Najis, jadi cowok gak ada pekanya."     

"Peka gimana anjir? Gue harus liatin lobang hidung lo? Nyariin upil lo? Apa gimana nih?"     

Mendengar perkataan Reza membuat Priska tertawa. Ia membayangkan apa yang dikatakan cowok itu, sangatlah menggelikan. "Ya gak juga lah, masa lo mau cariin upil gue."     

Reza memutar kedua bola mata. Berkat semangat serta saran yang diberikan El dan Mario, ia benar-benar pindah tempat duduk beserta semua peralatan belajar yang sebelumnya berada di samping Mario menjadi di angkut ke meja yang berada di samping Priska. Entah berapa lama ia terjerat di sini, namun kalau ia mau, ia tetap berpindah lagi menjadi di samping Mario.     

"Gak nyaman banget ya duduk di kursi lo," keluh Reza. Bahkan, kini ia duduk dengan rasa yang sangat tidak nyaman.     

Priska merasa bingung. Baginya, tidak nyaman seperti apa yang di maksud oleh Reza? "Perasaan lo aja kali, gue nyaman-nyaman aja duduk disini."     

"Itu kali dua sahabat lo kebanyakan pakai parfum, nyengat banget di hidung." Reza menunjuk Disty dan Nika yang duduk di kursi depannya.     

"Itu parfum mahal, mungkin hidung lo kebiasaan nyium parfum Nusa yang murah." Priska keceplosan berbicara jelek tentang Nusa, ia dengan refleks menutup mulut dengan kedua tangannya. "Ups…" sambungnya, refleks.     

Reza pura-pura biasa saja, ia mengangkat kedua bahu seolah tidak peduli. Padahal mah dalam hatinya, ia bisa menyimpulkan kalau apa yang dirasa Priska pada Nusa itu masih sama.     

"Oh ya, nanti lo pulang semobil lagi sama El?" tanya Priska, ia buru-buru mengganti topik pembicaraan karena melihat Reza yang hanya diam saja.     

Reza menganggukkan kepala. "Iya, kayak biasa. Emangnya kenapa?"     

"Gue boleh satu mobil gak? Sekalian gue mau ke rumah lo." ucap Priska.     

Perkataan Priska yang begitu tiba-tiba menjadikan Reza terkejut, apalagi cewek itu mengatakan ingin ke rumahnya. "Hah? Ngapain dah? Gak, gak. Siapa yang izinin dan ngundang lo ke rumah gue?" tanyanya. Ia berpikir lama kelamaan Priska memang agak berubah, namun berubah ke arah sesuatu yang lebih sulit di mengerti daripada sebelumnya.     

"Ya kan kita udah pacaran, masa lo gak boleh bawa gue ke rumah lo?"     

"Ya nunggu gue yang ajakin lah, bukan lo yang mutusin mau ke rumah gue kapan apa gimana."     

"Ya udah kalau gitu, lo aja Za yang sekarang ke rumah gue, gimana?"     

Melihat tatapan Priska yang seperti ingin di temani, mungkin? Membuat Reza yang memang penasaran dengan cerita cewek tersebut pun dengan terpaksa secara perlahan menganggukkan kepala, menyetujui apa yang dikatakan oleh cewek satu itu untuk berkunjung. "Oke, tapi gak bisa lama-lama." balasnya dengan nada bicara yang agak pasrah.     

"Yeay, makasih!" Priska senang, secara refleks langsung memeluk lengan Reza, namun hanya beberapa detik saja.     

Tubuh Reza menegang, bersamaan dengan anggukan kepala perlahan. Jantungnya terasa tidak aman, padahal ini bukan sentuhan pertama Priska padanya. Kemarin-kemarin, cewek ini selalu saja menjadikan dirinya alat supaya El cemburu. Entah itu tiba-tiba menggandengnya, atau bahkan merangkulnya.     

…     

Bian sudah kembali ke sekolah. Sama seperti sebelumnya, ia memanjat dinding belakang sekolah untuk kembali.     

Ia mulai berjalan menelusuri koridor, lalu melihat area sekolah sudah sepi sunyi karena ini sudah masuk jam mata pelajaran.     

Dengan santai, Bian berjalan dengan tubuhnya yang basah. Ia memasuki toilet cowok karena tidak mungkin masuk ke kelas dalam keadaan basah seperti ini. Untung saja tadi ia memakai payung dan di tinggal di halaman belakang sekolah, jadi tetesan hujan tidak terlalu meresap di bajunya.     

Namun walaupun begitu, dengan segera Bian meraih ponsel di saku celana. Ia segera menghubungi Moli untuk membawakan jaketnya yang di pegang cewek tersebut. Nanti saat masuk kelas, ia bisa beralasan sakit karena memakai jaket. Padahal, ia berniat melepas seragam sekolah dan menaruhnya di laci. Nanti saat pulang sekolah, ia mengambil seragamnya yang pasti lembab.     

Panggilan terhubung, dan Bian pun langsung meletakkan ponsel di daun telinganya. "Halo, Moli." sapanya lebih dulu.     

Terdengar suara guru yang sedang menjelaskan mata pelajaran. Menjadikan Bian mengernyitkan dahi kenapa bisa Moli mengangkat panggilan telefonnya?     

"Bu, maaf sebelumnya. Orang tua saya menelepon, takut penting. Saya mau izin menjawabnya, boleh?" Terdengar suara Moli yang dengan sopan seperti izin untuk mengangkat telepon, padahal panggilan sudah tersambung.     

"Ya Moli, silahkan menjawab di luar kelas." Terdengar jawaban sang guru.     

Moli menganggukkan kepala, ia membawa jaket milik Bian karena di luar udara sangat dingin karena hujan yang membuat hembusan angin terasa lebih menghujam jika di bandingkan dengan sebelumnya.     

Sudah sampai di depan kelas dan memastikan menjauh dari area kelasnya supaya tidak ada yang menguping, Moli kembali menaruh ponsel pada daun telinganya. "Halo Bian, maaf tadi harus izin angkat telfon dulu biar gak kena hukum."     

"Enak ya lo izin keluar kelas buat angkat telfon tapi gak di introgasi atau kasih bukti dulu. Emang deh, anak pinter kesayangan para guru jadinya udah di percaya seratus persen." ucap Bian, tentu saja ia tidak menyudutkan Moli, bahkan di akhir perkataannya ia terkekeh geli.     

Terdengar Moli yang mendengus. "Ish iya iya, bawel. Ini kamu ngapain telfon aku? Kan aku lagi pelajaran? Makanya jangan bolos, jadinya gak ada hal berguna yang bisa di kerjain tuh."     

"Ih ngomel-ngomel mulu lo dasar, nanti cepet tua." ucap Bian, ia menatap pantulan wajahnya di cermin yang masih terdapat beberapa bulir air hujan. Ia mengusap wajah sambil mengacak-acak rambut yang membuat bulir-bulir di rambutnya berjatuhan. "By the way, gue udah di sekolah nih lagi di toilet. Basah baju gue, tolong bawain jaket yang ada di lo ke toilet cowok, bisa? Nanti lo langsung balik ke kelas lagi, Li." sambungnya.     

Memang tidak terlalu basah. Namun jika bajunya tetap di pakai sampai mengering kembali, takutnya saat esok hari bisa menimbulkan demam.     

"Euhm gimana ya… kan aku izinnya cuma telfonan bukan ke toilet, apalagi ke toilet cowok." jawab Moli yang terlewat polos. Bahkan saat ini cewek tersebut masih memikirkan perizinannya kepada sang guru.     

Bian mendengus, lalu menyandarkan tubuh pada dinding. "Ini gue kebasahan, dan lo diem aja kayak gitu? Lagian kan ke toilet cuma anterin doang, gue mohon sekaligus minta tolong sama lo." Pada akhirnya, ia harus meyakinkan Moli. Kalau tidak, pasti cewek itu akan kekeuh dengan pendirian yang tidak ingin menolongnya.     

Tidak terdengar jawaban apapun dari seberang sana, sepertinya Moli tengah bimbang.     

"Please…" ucap Bian pada akhirnya yang malah terdengar seperti ucapan dengan nada bicara yang memohon.     

Hembusan napas Moli yang lembut pun terdengar beraturan. "Iya deh, ya udah ini aku kesana buat nganterin jaket kamu. Tapi nanti aku langsung balik ke kelas, ya?"     

"Ya kan daritadi juga gue bilang kayak gitu, gemesin banget sih lo jadi cewek, Li." ucap Bian yang gregetan sendiri dan pada akhirnya berbicara dengan bunyi gigi yang seperti bergemeletuk.     

Terdengar Moli yang terkekeh. "Oke kesayangan aku, tungguh sebentar ya disana. Bye, aku matiin dulu telponnya."     

Pip     

Entah Bian salah dengar atau Moli yang mungkin keceplosan? Ia mendengar cewek tersebut menyebutnya dengan 'kesayangan aku'. Oke, ini rasanya berbeda seperti apa yang pernah dirasakan dirinya dengan Alvira.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.