Elbara : Melts The Coldest Heart

Permintaan Maaf Bian



Permintaan Maaf Bian

0Beralih menjadi duduk di bangku taman. Ya, ternyata cafe ini terdapat taman cantik yang memang sengaja di buat sedemikian rupa dengan lampu tumblr berbagai warna yang di bias pada rerantingan pohon.     
0

Suasana malam, di tambah dengan pemandangan taman yang cantik menjadikan suasana romantis tercipta. Terbukti beberapa pasang orang berpacaran sudah mulai menikmati pemandangan malam, beberapa mulai menggelar alas untuk duduk di rerumputan taman supaya tidak kotor. Dan beberapa orang lagi tampak duduk di kursi panjang yang memang telah di sediakan.     

"Kita diem-dieman kayak gini itu manfaatnya apa?"     

Priska akhirnya memberanikan diri untuk bertanya karena sebelumnya menghembuskan napas dengan perlahan, bahkan berkali-kali menyadari situasi yang awkward di antara mereka. "Gak mau ngobrol kayak mereka-mereka yang ada disini?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan.     

Perasaan iri pun terasa dengan jelas membingkai di hati, entah mengapa merasa perih terasa sangat dominan.     

Reza yang beralih ke rokok ketiga pun menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Priska dengan tatapan yang aneh. "Apaan maksud lo? Mereka? Mereka keadaannya lagi baik-baik aja, enak buat ngobrol. Kan kalau kita lagi ada masalah, gue juga males ngomong." balasnya dengan cuek, bahkan kini tatapan matanya kembali jatuh menatap lurus dengan menerawang.     

"Kan gue udah minta maaf sama lo, Za. Masa iya kita gak bisa ngobrol kayak biasa lagi? Atau menurut lo, masalah ini belum selesai?" tanyanya dengan suara yang sendu bahkan kini kedua alisnya menurun seolah sedih dengan apa yang terjadi pada saat ini.     

Memangnya enak, ya? Duduk bersebelahan, saling mendekat, namun tidak berbicara apapun. Memangnya enak? Pasti, rasa tidak nyaman langsung menguasai atmosfer sekitar seperti apa yang dirasakan Priska pada saat ini. Entah kemungkinan sudah sekitar 15 menit mereka pindah duduk di kursi, tentu saja Mario dan Bian belum ikut gabung dengan mereka. Mungkin memang membiarkan Reza dan Priska menghaniskan waktu berdua untuk berbaikan.     

"Ya terus emangnya gimana? Kan kalau diem-dieman begini gak enak. Masa gue ada di deket lo tapi gak ngerasa kalau lo deket, tapi lo itu jauh dari jangkauan gue." ucap Priska. Ia menopang wajah dengan tangan kanan yang di tumpu pada paha kanannya.     

'Ya emang siapa yang mau deket sama lo? Gak ada. Kan emang kedekatan kita ini cuma main-main, jadi ini sebenernya perasaan gue buat lo, alias gue gak peduli apa yang lo rasa.' balas Reza di dalam hati. Tentu saja ia tidak berbicara lantang mengenai hal ini, bisa-bisa gagal.     

Priska menaikkan sebelah alisnya karena tidak ada tanggapan apapun dari Reza. Ia benar-benar bingung, dengan situasi saat ini. "Ya udah ayuk kita pulang aja, mau anterin gue atau gimana? Atau gue bareng Bian aja lagi—"     

"Gak." Reza tampak menatap Priska dengan kesal. "Lo masih aja mau balik sama dia? Ya udah jangan harap gue bales pesan lo yang bawel banget." sambungnya.     

Priska berdecak kecil, lalu mendumal di dalam hatinya mengenai sifat Reza yang sangat membingungkan. "Ya terusnya mau gimana? Lo mau anterin gue, kan? Apa gimana sih jawab yang bener. Gue tanya gak di jawab, gue ngomong gak di respon juga." balasnya yang ikutan sebal, bahkan dapat di dengar nada bicaranya naik satu oktaf namun tidak sampai mengundang perhatian beberapa orang yang ada disini.     

Reza mendengus, setelah itu mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Ia tidak ingin Priska terlalu percaya diri dengannya karena takut nanti di bilang perhatian, namun juga merasa tidak rela jika Priska malah di antar pulang oleh cowok lain. "Ya udah balik sama gue, tapi suruh Bian menghadap gue dulu. Kayaknya, dia mau minta maaf."     

Mendengar apa yang dikatakan oleh Reza pun menjadikan Priska menganggukkan kepala dengan tegas, pada akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk berbaikan lagi dengan cowok di sampingnya. "Nah gitu dong kayak pacar, jangan kayak musuh terus lo sama gue." balasnya sambil tersenyum lebar, lalu mulai mengambil ponsel di tas selempang.     

Reza tidak melihat raut wajah Priska, kalau mungkin lihat pasti juga bisa terpesona kok. Namun, kini ia lebih baik menatap ke arah langit-langit dengan deretan beberapa bintang yang ada di angkasa sana. "Hm." balasnya yang hanya berdehem kecil saja.     

Priska segera mengirimi beberapa pesan kepada Bian karena ini adalah kesempatannya, dan ya tentu saja beberapa detik kemudian langsung di balas oleh cowok tersebut. Saat Bian mengirim pesan seperti 'oke, gue mau kesana sama Mario.' Menjadikan dirinya menganggukkan kepala dengan refleks, lalu kembali memasukkan ponsel ke tas.     

"Udah."     

"Ya udah."     

"Kok respon lo begitu doang sih? Nyebelin banget. Lo kayaknya kalau di sekolah gak begini deh, kalau sama gue juga keliatan bawel banget."     

"Terus gue harus gimana? Ceramah? Pidato? Atau gimana nih?" Balasan Reza sangat sewot, bahkan matanya kini menajam melihat ke arah Priska yang memang menurutnya banyak bicara,     

Priska mendengus, lalu memutar kedua bola matanya. "Ih ya udah sih santai aja, jadi orang marah-marah terus. Cepet tua loh kayak kakek-kakek banyak uban-nya,"     

"Iya." Tanggapan Reza memang seperti seseorang yang malas membuka pembicaraan dan bahkan kemungkinan memang malas mengobrol.     

Pasrah, pada akhirnya Priska ikutan terdiam bersamaan dengan Reza yany kembali merokok dan mengepulkan asap ke udara, tak lupa pandangannya menatap langit.     

…     

"Ayo kita samperin Reza dan Priska, ini gue di suruh kesana. Lo ikut, kan?"     

Bian mulai mengemasi barang-barangnya seperti bungkus rokok dan juga rokek. Jangan lupakan ponselnya yang juga di masukkan ke dalam tas kecil yang memang selalu ia bawa-bawa.     

Mendengar apa yang dikatakan oleh Bian menjadikan Mario menganggukkan kepala. "Iya lah gue ikut, mau ngapain sendirian disini? Kalau langsung dapet jodoh sih gak apa-apa, tapi kalau keliatan banget jomblonya ya mending gue ikut lo aja." balasnya sambil beranjak dari duduk lebih dulu daripada cowok di seberangnya.     

"Ya udah ayo, mereka lagi ada di taman. Katanya Reza sekalian ngerokok," ucap Bian lagi yang menginfokan kepada Mario yang memang bernotabene sebagai sahabat dari Reza.     

Mario berdehem kecil karena tenggorokkannya merasa kering, lalu menyeruput kopi lebih dulu sampai habis. Untung saja, makanan mereka juga telah habis tak tersisa. "Bisa banget ngerokok tapi gak bilang-bilang gue, biar gak di minta kali ya tuh rokok." gumamnya yang kesal dengan sahabatnya yang pergi ternyata ingin sambil merokok.     

Bian sih tidak menanggapi hal itu, langsung saja ia beranjak dari duduknya sambil menghembuskan napas. "Ya udah ayo." ucapnya lagi.     

Mereka berdua berjalan, mulai menjauhi kerumunan dan menuruni tangga cafe untuk menuju langsung ke lantai dasar.     

"Tamannya ada dimana sih?" tanya Mario yang sama sekali tidak melihat taman. Ia juga baru pertama kali kesini karena Reza yang merekomendasikan tempat, entah sama siapa sahabatnya itu pergi kesini.     

Bian menunjuk ke arah belakang cafe. "Tamannya ada di bagian belakang cafe, bagus banget si buat orang-orang pacaran. Tapi kayaknya buat lo sih gak bagus, soalnya kan lo jomblo." ucapnya yang sekaligus meledek cowok yang ada di sampingnya.     

Mario memutar kedua bola mata. Kalau saja ia tidak sedang berpura-pura damai dengan Bian yang atas permintaan dari El, mungkin ia sudah mendorong sosok yang saat ini berjalan di sebelahnya. "Wah gila lo ngeledek gue aja. Daripada lo, udah punya gebetan tapi masih mau aja bolos berdua mantan, ups." balasnya yang pura-pura keceplosan, padahal mah ia berkata sesuai dengan realita.     

Mendengar kalimat sindiran dari Mario yang sangat tepat sasaran membuat Bian tersadar kalau perlakuannya memang sangat jahat. Apalagi, Moli tidak mengetahui insiden dirinta yang membolos bersama dengan Alvira. Moli hanya tau kalau ia membolos sendirian, tanpa seorang pun yang menemani di warung kopi.     

"Lah? Gak apa-apa deh, asalkan gue main cantik. Jangan ketahuan aja sama Moli soalnya kan bisa bahaya," balas Bain sambil terkekeh kecil.     

Dalam hati, Mario mengumpat kasar untuk Bian. Tidak tau saja kalau sebenarnya Alvira sudah jijik dengan cowok di sisinya saat ini karena berhasil mencelakakan sang Kakak. "Oh iya deh, gue mah dukung yang terbaik aja. Semoga lo jadian deh sama Moli, gue tunggu kabar baiknya." balasnya sambil menepuk-nepuk bahu Bian sebanyak dua kali setelah itu tersenyum simpul.     

Menganggukkan kepala, Bian mengiyakan apa yang dikatakan oleh Mario. "Oke, thanks bro nanti gue kasih tau kalau dah jadian." balasnya yang merasa mendapatkan dukungan untuk menjalin hubungan lebih serius bersama dengan Moli.     

Padahal mah dalam hati, Mario mati-matian berdoa pada Tuhan supaya Bian tidak berpacaran dengan Moli. Karena apa? Ya karena ia tidak tega dengan Moli yang malah mendapatkan pacar yang memang sejujurnya tidak pernah bisa hanya memiliki satu cewek di dalam hidupnya.     

Mereka mendekati dua insan yang dari belakang saja sudah bisa di kenali karena mereka mengenal pakaian mereka. Terlihat suasana yang sangat canggung antara Reza dan Priska karena memang tidak terlihat kalau mereka tengah bercanda.     

"Lo minta maaf langsung, Bian. Soalnya Reza gak suka basa-basi yang ada takutnya malah marah sama lo, kan gawat." bisik Mario yang memberikan usulan. Ia juga cukup muak melihat drama yang seperti ini, maka dari itu memberikan saran yang sekiranya memang berguna.     

Bian menganggukkan kepala, paham dengan apa yang disarankan oleh Mario. "Ada lagi gak yang harus gue terapin? Ya gue gak mau cuma gara-gara cewek malah berantem sama temen gue," balasnya sambil menghembuskan napas.     

'Temen pala lo?' umpat Mario dalam hati. Ia bahkan masih enggan menganggap kedekatan mereka seperti layaknya teman.     

Pada akhirnya, mereka sudah sampai dan Mario dengan tenang langsung duduk di samping Reza sedangkan Bian kini berdiri tepat di hadapan Bian.     

"Za, gue minta maaf sama lo. Gue bener-bener gak tau kalau Priska belum izin, dan seharusnya gue juga izin ke lo. Sorry ya, sekali lagi." ucap Bian yang begitu sampai langsung mengatakan hal dengan to the point.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.