Elbara : Melts The Coldest Heart

Alvira yang Menangis



Alvira yang Menangis

0El melihat di pantulan layar ponsel yang menampilkan Nusa tengah tertidur lelap dengan dengkuran halus. Ia tersenyum sangat tulus, penuh cinta di kedua pandangannya.     
0

Ia beralih untuk menatap layar laptop, tengah mempelajari beberapa materi yang kemungkinan akan mempermudahnya dalam mengerjakan soal-soal ujian.     

Bahkan, El juga sudah memberitahukan kepada Nusa dan teman-temannya untuk besok belajar bersama sekiranya pulang sekolah berkumpul di rumahnya. Maka, ia berniat akan menjadi guru mereka. Dan ya, terlihat saat ini ia dengan giat mempelajarinya lebih dulu sehingga besok lebih leluasa mengajari karena sudah mengerti dengan materinya.     

"Cewek gue cantik banget, lagi tidur aja cantik." gumamnya sambil terkekeh kecil. Ia selalu mengagumi ciptaan Tuhan, begitu juga ia mengagumi sosok Nusa yang memang selalu menjadi yang sempurna di matanya.     

Nusa tidak khawatir dengan wajahnya yang sehabis bangun tidur atau bahkan saat ini sedang tidur dengan wajah yang terlihat terlelap namun tenang yang biasanya para cewek kebanyakan jika meminta sleep call maka kameranya tidak di arahkan ke wajah. Tapi, sekali lagi, Nusa berbeda kalau di bandingkan dengan cewek lain.     

Sudah sejak tiga puluh menit berlalu saat Nusa mulai pamit dan terlelap. Dan dudah sekitar dua puluh soal matematika ia kerjakan. Bukan karena tidak bisa di kerjakan dengan cepat, tentu saja ia mampu. Namun, ia juga harus memperhatikan rumus serta langkah-langkah pengerjaan supaya teman-temannya mengerti.     

Tidak ada materi pelajaran yang menurut El membosankan. Semua ia kerjakan dengan senang hati, bahkan tidak pernah mengeluh seperti murid pada umumnya yang merasa enggan untuk belajar jika bukan pada waktunya.     

Sebenarnya, El bisa menyerupai Moli. Namun, ia lebih memilih tidak ambis dan pada akhirnya menjadi Cold Boy yang di agung-agungkan cewek di sekolah SMA Adalard.     

"Ih gimana sih gue dasar oneng, salah dong hasilnya bukan segini."     

Mungkin karena terlalu fokus memikirkan Nusa bahkan bolak balik menatap ke cewek itu, menjadikan dirinya juga tidak fokus mengerjakan beberapa soal.     

Ia meraih penghapus, untung saja ia mengerjakannya dengan pensil yang mudah sekali terhapus jika melakukan kesalahan.     

Menghapus bagian yang salah, setelah itu membenarkannya sesuai apa yang sudah ia perhitungkan.     

Diam adalah suatu kondisi yang memungkinkan untuk mengerjakan segala sesuatu menjadi sangat serius karena memang tidak ada gangguan dari pihak manapun yang membuat titik fokus buyar.     

Namun kali ini, diam adalah emas. Kenapa begitu? Ya karena El bisa melihat bidadari hanya dari layar ponsel yang menampilkan wajah Nusa yang sangat damai. Apalagi, di dalam tidurnya cewek tersebut tersenyum kecil sehingga memperlihatkan wajah yang benar-benar cantik.     

"Fokus sih fokus, tapi kalau di depan gue ada Nusa, rasanya malah mau natap dia lama-lama deh." gumamnya sambil terkekeh kecil.     

Pada akhirnya, ia kembali mengerjakan soal matematika penuh dengan konsentrasi. Baginya, matematika bukanlah hal yang menyulitkan. Bahkan, ia sangat senang memecahkan tumus matematika yang tentu dengan senang hati.     

Tok     

Tok     

Tok     

Tiba-tiba saja, pintu kamarnya terketuk. Menjadikan El mengalihkan pandangan dari buku dan kini menatap ke arah pintu kamarnya. "Masuk aja." ucapnya dengan lantang, untung saja mematikan suara di panggilan telepon bersama Nusa soalnya agar cewek tersebut tidak terganggu dengan dirinya tang terkadang memang banyak bersua.     

Dan ya, pintu kamar pun terbuka. Menjadikan El kini melihat Alvira yang masuk ke kamar dengan …     

"Lo kenapa nangis?" tanya El dengan panik, ia segera meletakkan pensil di meja dan beranjak dari duduk lalu melangkahkan kaki mendekati sang adik yang tampak bersedih hati.     

Alvira menekuk senyuman, menatap El dengan raut wajah yang sangat menyedihkan.     

Tanpa menjawab pertanyaan El, Alvira langsung meluruh untuk memeluk tubuh kakaknya dengan sangat kuat. Menumpahkan seluruh air mata kesedihan yang bersarang di hatinya, bahkan sampai membuat ia merasa sangat… dadanya menyesakkan.     

El tidak banyak bertanya lebih dulu, ia lebih memilih untuk menenangkan Alvira dengan cara mengelus punggung adiknya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu berpindah mengelus kepala belakang Alvira, lagi dan lagi penuh kelembutan.     

Ya walaupun saat ini ia bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, namun ia lebih memilih untuk menenangkan Alvira karena sejujurnya memang itulah yang dibutuhkan oleh sang adik.     

Pada akhirnya, El membawa Alvira ketepian kasur dan duduk disana. Kali ini mereka sudah tidak berpelukan, dan dengan jelas El melihat wajah Alvira yang sangat menyedihkan.     

Seperti kebanyakan cowok pada umumnya, El tidak mengerti dengan apa yang dirasa saat cewek menangis. Jadi, hanya gerakan menenangkan saja yang ia bisa lakukan sambil menunggu Alvira yang akan bercerita dengan apa yang dirasakan.     

Sekitar 5 menit telah berlalu dengan sesekali El yang menoleh ke layar ponselnya, tentu saja Nusa masih terlelap seperti sebelum ia meninggalkan cewek itu.     

Tangisan Alvira belum reda, namun sepertinya ia sudah siap untuk mengatakan apa yang di rasa meskipun saat ini tangisannya tersedu-sedu bahkan menjadikannya sesenggukkan.     

"Vira gak bisa Kak, Vira gak bisa liat Reza sama Kak Priska kayak gitu…" lirihan Alvira pun terdengar, bahkan setelah menatakan alasannya menangis pun kembali menangis lebih kencang daripada sebelumnya.     

El menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dengan apa yang dikatakan oleh Alvira mengenai Reza dan juga Priska. "Kenapa? Emangnya mereka kenapa? Kok lo sampai nangis kayak gini?" tanyanya, benar-benar merasa kebingungan.     

Menghembuskan napas dengan perlahan, berharap jika hatinya akan merasa lega. Namun saat ini yang ia dapatkan hanya perasaan sesak yang menyeluruh di rongga dada. "Ini.." gumamnya sambil memberikan ponsel yang entah sudah berapa lama ada di genggamannya.     

El menaikkan sebelah alis, namun tak ayal meraih ponsel Alvira dan melihat apa yang di suruh lihat oleh sang adik. Di layar ponsel itu, ia melihat Priska yang tengah memeluk Reza. Situasinya ramai, ia kenal tempat ini karena tempat nongkrong Bian pada biasanya setiap cowok itu update story Instagram.     

Ia tidak merasa ada yang aneh. Lagipula, berpelukan itu wajar kok. Ya walaupun pasti ada beberapa orang yang bertanggapan negatif, namun baginya itu bukanlah benar-benar pelukan. Mungkin hanya rangkulan saja?     

"Lo cemburu liat mereka?" tanya El dengan penuh kehati-hatian karena takut akan menyakiti hati adiknya.     

Menggelengkan kepala dengan perlahan, namun tangisnya malah semakin menjadi. "Enggak salah lagi!!" serunya, bahkan bisa di katakan tangisannya memenuhi setiap sudut ruang kamar sang kakak.     

El menghembuskan napas, lalu menjulurkan tangan untuk menuntun kepala Alvira agar agar bersandar di bahunya. Lalu, ia beralih mengelus kepala cewek tersebut dengan lembut. "Yang salah itu lo, Vira." balasnya, berusaha untuk mengerti dengan situasi dan tidak membuat adiknya menangis lebih keras lagi daripada sebelumnya.     

Alvira yang mendengar itu pun menghentikan tangis namun masih terdengar tangisan kecil yang tersedu-sedu. "Kok aku yang salah, Kak?" tanyanya dengan sesenggukkan.     

El menganggukkan kepala. "Lo salah karena masih mencintai Reza, lo gak pikir kalau perasaan lo itu salah banget?" tanyanya yang lebih dulu menjadi pembukaan. "Lo salah karena nyesel pernah ngejauhin Reza dan pada akhirnya Reza beneran ngejauh dari lo. Lo kenapa sih?" tanyanya sambil menghembuskan napas.     

"Aku gak kenapa-napa, cuma ya mau kayak dulu lagi sama Reza. Gak apa-apa deh kalau aku sama dia gak jalin hubungan yang serius, gak apa-apa kalau gak PDKT-an, dan gak apa-apa juga kalau emang di takdirin buat gak bersama. Tapi aku cuma mau dia jadi abang aku kayak dulu, penuh perhatian kayak Mario. Reza yang sekarang itu malahan cuek banget sama aku, sedih banget kadang kalau inget kenyataan." Alvira yang menjelaskan panjang kali lebar.     

El seolah tau dengan apa yang dirasakan oleh Alvira pun berusaha untuk tersenyum simpul. Ini memang sudah menjadi tugasnya untuk membuat cewek tersebut merasa berharga dan berada di jalan yang benar, bahkan memberikan nasehat pun adalah hal yang harus ia lakukan. "Mungkin Reza butuh hal yang baru buat ilangin perasaannya sama lo, nanti juga kalau udah baikan sama lo, dia bisa balik kayak dulu lagi kok." Ia menasehati.     

Sudah berkali-kali mendengar nasehat dari El, rasanya tidak ada yang ampuh di telinga Alvira. Ia sudah mencoba menerapkan segala nasehat dari sang kakak, namun rasanya ia sama sekali tidak mampu melakukan hal itu.     

Alvira termenung, ia membiarkan kepalanya menyender di bahu El dengan perasaan yang nyaman. Lalu, ia mulai memejamkan kedua bola mata dengan air mata yang meluruh melewati pipi, hidung, tepian bibir, dan jatuh dari dagu ke pakaian tidurnya.     

El yang mengelus puncak kepala Alvira pun menjadikan cewek tersebut merasa nyaman dengan tindakannya yang seperti itu, memberikan kenyamanan tersendiri sekaligus perhatian yang berbeda.     

Dengan perlahan, El melihat kenarah Alvira yang ternyata saat ini sudah mendengkur halus layaknya Nusa pada layar ponselnya saat ini.     

"Yeh dia malah ketiduran, pasti capek nangis aja kerjaannya." El terkekeh kecil sambil saat ini mulai bergerak untuk memindahkan Alvira dengan hati-hati. Meletakkan adiknya di atas kasur miliknya, melepas sandal rumah, dan mulai menyelimuti cewek tersebut.     

Kalau sudah begini, mereka akan gantian kamar tidur. Alvira saat ini tidur di kamarnya, maka El akan tidur di kamar Alvira.     

Tidak, bukan enggan satu kasur berdua. Namun, ia menjaga batasan karena mereka sudah besar, serta untuk menghindari terjadinya hal-hal melenceng.     

El menatap Alvira dengan lekat. Ia melihat kedua mata adiknya yang sembab. Dalam situasi ini, ia juga tidak bisa menyalahkan Reza. Juga tidak bisa membiarkan Alvira yang pasalnya memang terlalu terbawa perasaan dalam hal apapun.     

Pada akhirnya, yang El lakukan adalah membuang napas. Setelah itu berbalik badan untuk melangkahkan kaki ke arah meja belajar, ia menutup laptop. Lalu meletakkan buku, alat tulis, serta ponselnya di atas laptop tersebut untuk di bawa olehnya pindah ke kamar Alvira.     

Sebelum keluar dari kamar, lebih dulu El menatap adiknya dengan tatapan yang sedih. "Gue bakalan bantu lo cari kebahagiaan." Dan ya, ia melangkahkan kaki mendekat untuk mencium kening sang adik dengan sangat lembut.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.