Elbara : Melts The Coldest Heart

Bingung Memahami Moli



Bingung Memahami Moli

0"Lah itu kenapa Kak Reza sama Kak Mario tidur? Sakit apa gimana?"     
0

El memang sengaja membawa Alvira ke kelas karena ingin memberikan sedikit klarifikasi kalau dirinya tidak marah-marah pada Reza ataupun Mario. Namun saat sesampainya di kelas, yang ia dapatkan adalah kedua sahabatnya yang tengah tertidur.     

"Gak tau, mereka juga tadi gak bilang apa-apa." balas El sambil menaikkan kedua bahu, pertanda kalau dirinya juga tidak tau menahu mengenai hal yang satu ini.     

Alvira memperhatikan Reza dan Mario yang memang wajahnya di tenggelamkan pada lipatan tangan dan juga tas yang dijadikan seolah-olah bantal. "Ya udah, aku ke kelas aja. Lagipula udah gak usah di buktiin, aku gak sedih." balasnya dengan nada pelan sambil menarik senyuman simpul guna memberitahukan cowok di hadapannya kalau ia baik-baik saja.     

El menganggukkan kepala karena setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alvira dan membiarkan sang adik untuk pergi dari kelasnya. "Iya sana deh lo mendingan balik ke kelas, gue juga mau ngurusin nih dua anak." balasnya, lalu menjulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut cewek tersebut dengan gerakan yang sangat lembut.     

Alvira pada akhirnya pun pergi meninggalkan El yang memang berada di kelas cowok tersebut.     

Sedangkan El? Saat ini menjulurkan tangan untuk memeriksa Reza dan Mario yang sepertinya tengah mendengkur ringan.     

"Kamu ngapain?"     

Tiba-tiba terdengar suara halus Nusa yang membuat El sedikit terkejut dengan kehadiran cowok itu yang sia-sia.     

Mengembalikan posisi berdiri dengan kepala yang mulai di tolehkan kepada Nusa yang kini telah berada tepat di samping tubuhnya.     

"Ini gue lagi ngeliat nih Reza sama Mario nyenyak banget tidur, kayaknya sih begadang." balasnya, lalu berjalan ke arah tempat duduk dan membukakan kursi untuk Nusa yang memang mengekor di belakangnya.     

Nusa ternyata kini menunjukkan senyuman yang sangatlah manis karena mendapatkan perlakuan yang seperti itu dari El. "Terimakasih," ucapnya dengan nada bicara yang sangat lembut. Lalu, ia duduk di kursinya yang telah di siapkan oleh sang pacar romantis di pagi hari.     

Menganggukkan kepala, setelah itu El mendaratkan bokong tepat di sebelah Nusa yang memang mereka satu barisan kursi, bersebelahan.     

"Itu mereka kenapa begadang di hari sekolah? Kan udah tau mau sekolah malah begadang, jadinya tidur di sekolah begini." ucap Nusa sambil merasa penasaran dengan alasan mereka berdua.     

Melihat raut wajah Nusa yang sangat menggemaskan sampai dahinya terlihat berkerut itu menjadikan El terkekeh kecil karena merasa lucu dengan raut wajah pacarnya. "Ya gue gak tau, gue berkabar sama mereka aja gak. Palingan juga gak jauh-jauh, urusan cinta." balasnya yang seolah-olah memilih untuk tidak membahas banyak hal.     

"Oh ya, lo udah sarapan atau belum?" Beralih ke pertanyaan lain, El menurunkan tas dari punggung dan meletakkannya di atas meja.     

Mendengar pertanyaan El pun menjadikan Nusa menganggukkan kepalanya. "Udah dong, aku udah sarapan kok tadi sama Kak Rehan. Kalau kamu udah apa belum?" balasnya sambil tersenyum juga meletakkan tas, namun meletakkannya di kursi.     

Menghembuskan napas, El merasa pagi ini adalah yang terindah karena paginya masih sama seperti pagi sebelumnya yang menghadirkan Nusa dengan waut wajah yang sangat di puji olehnya.     

"Iya gue udah sarapan kok, lo cantik banget. Pacarnya El emang cantik, tiada dua." balasnya.     

Dengan senyuman hangat, tatapan mata yang juga sama hangatnya, menjadikan El saat ini menjulurkan yangn untuk meraih surai rambut milik pacarnya dan meletakkan di belakang telinga. "Kamu cantik banget, aku gak pernah bosen."     

'Aku, kamu'?     

Hanya begitu saja menjadikan kedua pipi Nusa terlihat merona dengan sangat jelas. Menjadikan dirinya terlihat seperti orang yang malu dengan godaan yang diberikan oleh sang pacar.     

"Tumben bilangnya aku kamu, gemes." komentar Nusa sambil terkekeh kecil. Ia menjadi salah tingkah karena ulah El yang seperti itu kepadanya.     

"Ya emangnya kenapa? Gak boleh apa gimana?"     

"Boleh, El. Ish kamu mah salah paham, gak baik tau kalau apa-apa nyimpulin sesuatu sendirian."     

El terkekeh kecil, lalu menarik tangannya kembali. "Ya udah nih gue mau bangunin Reza sama Mario, sepuluh menit lagi bel masuk bunyi." ucapnya yang meminta izin terlebih dulu kepada cewek yang berada di sampingnya.     

Nusa menganggukkan kepala, lagipula memang benar kedua cowok itu harus segera di bangunkan dari tidurnya karena memang terlihat sudah sangat nyenyak, takutnya malah kebablasan.     

"Ya udah sana, kasian juga malah tidur di kelas takutnya di tegur guru."     

Pada akhirnya, kini El beranjak dari duduk dan bergerak untuk membangunkan Reza dan Mario. Mengguncang tubuh kedua sahabatnya secara bersamaan agar terbangun.     

"Za, Rio, bangun." ucap El dengan nada bicara yang agak keras, namun tidak sampai perkataannya ini terdengar di setiap sudut ruangan.     

Dan sesuai harapan, dengan perlahan Reza dan Mario mulai beranjak dari tidurnya dengan wajah yang terlihat masih mengantuk.     

"Hm?" balas Reza yang hanya berupa berdehem sambil mengucek kedua bola mata agar menghilangkan rasa kantuk yang menjalar di setiap sudut tubuhnya.     

Menguap kantuk, Mario diam saja seperti tengah mengumpulkan nyawa yang sepertinya masih ingin berlama-lama di dalam dunia mimpi.     

"Cepetan lo berdua bangun, bentar lagi mau jam masuk sekolah. Sana ke toilet dulu lo berdua cuci mula biar ngantuknya ilang," ucapnya namun sepertinya Reza dan Mario sama sekali tidak bergedik dari tempat duduknya. "Gue itung satu sampai tiga kalau gak jalan—"     

"Iya ini kita bangun." ucap Reza sambil langsung berdiri tegak, tak melupakan menarik tangan Mario agar berdiri di sampingnya.     

Melihat Reza dan Mario yang buru-buru keluar dari kelas padahal rasa kantuk melanda tubuh mereka, menjadikan El tersenyum puas dan setelah itu kembali duduk pada kursinya dengan tenang.     

…     

Moli menatap sosok di hadapannya dengan sorot mata yang berkaca-kaca. Hanya tidak habis pikir saja dengan kondisi, situasi, serta posisi yang ia tengah jalani saat ini.     

"Aku itu siapa kamu sih?" Akhirnya, pertanyaan yang menjadi bayang-bayang kepalanya keluar begitu saja tepat di hadapan orangnya langsung.     

Lega? Tentu saja. Namun, kini Moli merasa sangat tegang dan juga khawatir karena tau kalau kemungkinan jawaban dari sang lawan bicara akan membuatnya sangat kecewa.     

Bian, ya dialah sosok yang tengah berbicara dengan Moli. Sosok yang sedaritadi bungkam karena ingin mendengar apa yang dirasakan oleh Moli, namun pada akhirnya kini ia seperti tengah mengerti dengan permasalahannya.     

Mendengar permasalahan yang keluar dari mulut Moli menjadikan Bian meneguk saliva dengan susah payah. "Ya kan kita lagi PDKT-an, lo lupa apa gimana?" tanyanya sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal, merasa sangat canggung dengan menjawab pertanyaan yang seperti itu.     

Moli menaikkam sebelah alisnya. Apa yang dikatakan Bian memang tidak salah, ya karena status mereka seperti itu.     

"Tapi emangnya bagus ya kalau semisalnya aku yang cuma statusnya PDKT-an kamu tapi gak di kasih kabar sama sekali? Bahkan, jalan sama Priska aja kamu gak bilang." ucap Moli yang mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.     

Bian bingung, memang benar apa yang dikatakan oleh Moli kalau sebelumnya ia sama sekali tidak memberikan kabar mengenai dirinya yang hangout bersama Priska. "Ya sorry, gue lupa banget." balasnya sambil menghembuskan napas dengan perlahan. Sebenarnya ini tentu bukanlah alasan yang paling utama.     

Menaikkan sebelah alisnya, Moli menatap Bian dengan serius bahkan kini kedua tangannya menyilang di depan dada. Tanpa berkata pun, tatapan matanya seolah memberi tahu kalau dirinya ini sangat butuh penjelasan yang lebih rinci.     

Bian menghembuskan napas, lalu mengacak-acak rambutnya. Untung saja, saat ini mereka berada di halaman belakang sekolah yang sudah pasti tidak akan membuat siapapun terganggu dengan pembicaraan mereka. "Udah deh ngobrolnya nanti aja, ini udah mau bel masuk. Lagian juga cuma kabar doang tapi lo sampai begini ke gue—"     

"Cuma?" ulang Moli dengan nada bicara yang heran bahkan saat ini menaikkan sebelah alisnya demi meminta penjelasan yang lebih rinci lagi mengenai hal 'cuma' yang di maksud oleh cowok tersebut. "Kamu bilang cuma itu kayak hubungan aku sama kamu gak serius banget dah? Padahal kan kabar adalah kunci segalanya, kalau kamu nyepelein gitu rasanya kamu gak serius sama aku." balasnya yang memang sudah kepalang kesal.     

Terlihat seperti urat-urat wajah Moli yang muncul ke permukaan walaupun tidak terlalu jelas.     

Bian serasa serba salah. Tidak ingin emosi, tentu saja. Ia memilih untuk duduk lebih dulu karena daritadi mereka berdua berdiri, kakinya juga terasa pegal. "Ya terusnya lo mau gimana dah, hm?" tanyanya yang berusaha mengerti dengan kemauan cewek yang masih berdiri di tempatnya.     

Merasa Moli tidak ingin menjawab dengan raut wajah yang semakin lama semakin lesu bahkan terlihat ingin menangis. Tentu saja hal ini membuat Bian panik.     

"Ih sini duduk samping gue, lo jangan nangis dulu. Nanti di kiranya gue apa-apain lo," ucapnya lagi sambil beranjak dari duduk dan berjalan menuju Moli. Lalu seolah menuntun cewek itu untuk duduk di kursi yang sama dengannya.     

Moli pun menurut karena tidak ingin gengsi kalau kakinya pun merasa pegal kali ini. Namun, bibirnya tidak bergerak bahkan mulutnya enggan mengatakan apapun.     

Bian kembali duduk, setelah itu menolehkan kepala ke arah Moli dengan tatapan yang kali ini benar-benar tulus. "Oke gue minta maaf sama lo dan gue mengaku kalau gue salah, maaf, ya? Buat tentang kabar, selanjutnya gue bakalan lebih terapin lagi. Lo juga jangan cemburu sama Priska, lo tau gue sama dia cuma temen."     

"Tapi semua hubungan itu berawal dari temen." balas Moli yang mengeluarkan pendapat yang dirinya ketahui.     

Bian menggelengkan kepala, merasa kalau apa yang dikatakan Moli itu adalah sebuah kesalahan. "Lo yakin? Gue pikir sih pendapat lo salah. Karena kita sampai sekarang dekat itu awalnya bukan karena berteman, iya kan?" balasnya kini, mengangkat senyuman miring yang membingkai di permukaan wajah.     

"Hm, iya." Moli hanya berdehem.     

"Jadi ini gimana? Gue mau di maafin atau emang lo gak mau maafin gue—"     

"Gak tau, pikir aja deh sendiri, aku mau balik ke kelas." ucap Moli tiba-tiba yang memotong perkataan Bian dan sekarang ia lebih memilih untuk meninggalkan cowok itu sendirian di halaman belakang sekolah.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.