Elbara : Melts The Coldest Heart

Pengingat Untuk Melupakan



Pengingat Untuk Melupakan

0Di perjalanan sangat kaku, dengan tangan Priska yang ragu antara ingin memeluk tubuh Reza atau tidak. Dan ia akhirnya lebih memilih untuk tidak memeluk tubuh cowok tersebut di karenakan memang mereka belum dikatakan baik-baik saja.     
0

Menghembuskan napas dengan kasar, ia tidak memakai helm karena memang dari rumah menggunakkan mobil. Dan kini mobilnya di bawa pulang oleh Disty dan Nika, sudah pasti mereka berdua selamat karena memang kedua sahabatnya pandai mengendarai mobil.     

Dan juga, diam-diam Reza melirik wajah Priska dari spion motor besar miliknya. Ia sungguh bertanya-tanya karena biasanya cewek tersebut akan tergolong kegatelan dengan memeluk tubuhnya tanpa perizinan terlebih dulu, namun kali ini Priska diam saja tanpa pergerakan.     

Tidak mau ambil pusing, lebih baik Reza yang menunggu Priska untuk membuka pembicaraan di antara mereka.     

Sampai pada akhirnya, ada polisi tidur jalanan yang membuat tubuh Priska hampir terjungkal ke belakang. Menjadikan dirinya mau tidak mau dengan refleks langsung memeluk tubuh atletis Reza supaya ia tidak terjatuh.     

Mendapatkan perlakuan yang seperti itu tiba-tiba menjadikan Reza mengerjapkan kedua bola matanya. Beruntung kalau tubuhnya selalu seimbang, bahkan motornya tidak limbung dengan pergerakan cewek di jok belakang yang tiba-tiba.     

"Lo kenapa? Untung aja motor gak oleng," tegur Reza dengan suara yang sedikit keras karena saat ini ia memakai helm namun kacanya tidak tidak di turunkan juga karena faktor angin yang berhembus cukup kencang menjadikan suaranya juga teredam.     

Priska juga kaget dengan pergerakannya yang seperti ini. Lalu, ia sadar kalau kedua tangannya sudah melingkari perut Reza yang terasa… oh astaga jangan di tanyakan karena perut cowok tersebut keras yang satu sekolahan juga tau bagaimana bentuk six pack tercetak jelas disana.     

Tiba-tiba saja, kedua pipi Priska tampak bersemu merah menjadikan rongga dadanya terasa jutaan kupu-kupu yang siap beterbangan. Dengan bingung, akhirnya ia menjawab dengan kalimat yany seadanya saja. "I-ini, tadi lo gak ngerasa ya terlalu kenceng pas lewat polisi tidur? Gue pengen mental, gue kaget, makanya langsung peluk lo. Ya kalau menurut lo gue lancang, maaf."     

Baru saja Priska ingin mengendurkan pelukannya dari tubuh Reza, namun terasa tangannya di tangan oleh tangan kelar milik cowok tersebut. Hal ini tambah mempercepat tempo detak jantungnya yang terasa sangat berdebar. Dan ya, lebih parahnya lagi ia pernah merasakan perasaan seperti ini kala awal-awal baru mencintai El dengan tulus dan belum memunculnya obsesi gila.     

Reza mendengus kecil. "Gitu doang lo kesel sama apa yang gue omongin, maaf. Gak apa-apa peluk aja gue, takutnya nanti lo jatuh jadinya nanti gue yang di salahin Nyokap Bokap lo."     

Walaupun sudah dapat di pastikan 100% kalau kedua orang tuanya tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada sang anak, namun menurut Priska perkataan cowok satu itu benar-benar manis dan penuh perhatian.     

Priska mengulum senyuman manis, menahan agar tidak mengembangkan senyuman tersebut. "Oh begitu? Ya udah ini gue peluk lo karena kemauan lo ya, jadi gak usah terlalu percaya diri kalau gue peluk lo tulus." balasnya yang memang sok bersikap jual mahal.     

Kalau saja perilaku Priska seperti Nusa, mungkin sudah dapat di tebak kalau sifat seharusnya cewek satu itu adalah merasakan kebahagiaan karena bisa memeluk sang pacar atas keinginan Reza sendiri.     

Tampak Reza yang menganggukkan kepalanya. "Iya santai, soalnya gue lebih takut lagi kalau bawa lo terus gue pulangin lo dengan keadaan luka-luka." balasnya, mungkin terdengar nada bicaranya yang naik satu oktaf. Namun bukan seperti memaki.     

Entah ini hanya permainan Reza atau bukan, bahkan Priska tidak pernah berpikir kalau apa yang dikatakan cowok itu kepadanya hanya sekedar gombalan klasik saja. Tapi entahlah, Priska rasanya kali ini selalu mempunyai perasaan baru dengan perlakuan baru yang hanya di berikan Reza.     

"Iya biarin lo di marahin sama Nyokap Bokap gue," balasnya yang seolah-olah kedua orang tuanya akan peduli. Padahal mah boro-boro peduli.     

Saat dulu sewaktu Priska masih SMP sekiranya baru diajari naik motor oleh temannya, dan itu tanpa sepengetahuan keluarga. Dan di saat yang bersamaan dengan niat bisa mengendarai motor, di saat itu juga terjadi kecelakaan yang saat itu membuat lututnya terluka lebar serta sikunya juga yang berbenturan dengan aspal.     

Namun apa yang kedua orang tuanya lakukan? Tidak ada.     

Ya, ketidakadaan adalah hal yang wajar bagi Priska. Ia tidak tumbuh menjadi cewek cengeng dan manja, justru tumbuh menjadi si pembrontak yang tidak pernah takut dengan orang lain.     

Reza yang tau kalau ucapan Priska juga terselip nada bicara yang cukup terdengar seperti menyedihkan, namun ia lebih memilih untuk tidak menanggapi mengenai orang tua yang di maksud.     

"Ya udah, jangan ketiduran lo di bahu gue, soalnya kan lo berat banget."     

Mendengar perkataan Reza yang meledek tentu saja menjadikan Priska mendengus sebal setelah itu menepuk paha cowok tersebut dengan gerakan yang pelan.     

"Dasar nyebelin!"     

…     

"Gimana? Udah enak baikan sama Reza, atau masih ada yang kurang menurut lo?"     

Sambil sesekali melirik Alvira yang berada di jok belakang motornya, terlihat cewek tersebut yang tentu duduk berjarak dengannya dengan kedua tangan yang memegang kedua sisi baju seragamnya dengan kuat.     

Alvira menatap Mario dari pantulan kaca spion, lalu sedikit mendekatkan tubuhnya agar mereka bisa saling mengobrol tanpa ada salah satu yang tidak mendengar masing-masing perkataan. "Ya enak-enak aja sih Kak, tapi sekarang aku lebih mikirin posisi yang dimana aku harus sadar gak boleh berharap lebih, apapun itu kondisinya." balasnya. Ia sudah menerapkan hal ini di dalam hatinya dan berharap untuk tidak mengulang perasaan apapun yang sama untuk Reza.     

"Ya udah bagus, sekarang mah lo lepasin aja perasaan lo buat Reza daripada semakin mempersulit hidup." ucap Mario sambil terkekeh.     

Baginya, percintaan yang gagal itu memang mempersulit kehidupan, sungguh. Menjadikan yang gagal cinta kepikiran, bahkan terlalu terlarut dengan kesedihan seperti apa yang dilakukan oleh Alvira.     

"Iya aku pelan-pelan lepas, bantuin makanya Kak Mario, biar aku gak naruh harapan lagi sama Kak Reza yang bisanya bikin tangis." ucap Alvira lagi dengan dengusan kecil yang keluar dari hidungnya.     

Bagaimana tidak kesal dengan diri sendiri? Di saat sudah berjanji akan pergi dan melupakan, namun sebaliknya, perasaan itu seolah menghampiri dirinya dan mengatakan untuk stay seolah Reza akan kembali menjadi miliknya.     

Hal yang berat itu memang bukan meninggalkan atau melupakan, namun hal yang berat adalah mengikhlaskan.     

Segala perasaan yang Alvira rasakan itu semuanya berasal dari Reza, yang memang tidak seharusnya ia bersikap seolah-olah hanya Reza-lah satu-satunya cowok di dunia.     

Mario menganggukkan kepalanya, tentu saja ia siap sedia dengan apa yang dipinta oleh Alvira. "Tenang aja, selagi ada gue mah lo gak bakalan pernah tuh ngerasain yang namanya kesepian, oke?" ucapnya sambil tersenyum di balik helmnya dengan manis.     

Menurut Mario ya masih sama seperti sebelumnya, tugasnya itu adalah menemani Alvira di saat adik dari sahabatnya itu merasa kesepian atau perasaan sedih yang lainnya.     

Alvira tersenyum kecil, setelah itu kembali menatap langit yang tampak berawan, menyembunyikan sinar matahari yang seharusnya menyinari bumi.     

"Ra, kalau semisalnya emang lo belum bisa lupain Reza, ya bagi gue sih gak masalah. Ngelupain itu bagi gue susah, tapi lo harus inget dimana perbatasan perasaan lo itu." ucap Mario lagi yang menghidupkan percakapan di antara mereka.     

"Iya, Kak Rio." balas Alvira, kalau mengenai hal itu ya dirinya memang sudah paham kok. "Kak Reza udah tau atau belum mengenai aku yang tau tentang kejahatan Bian?" tanyanya, ia dari kemarin ingin mengatakan hal ini tapi tidak jadi terus.     

Mario menggelengkan kepala. "Belum, eh atau udah ya? Gue lupa, tau sendiri lo kalau gue tuh orangnya lupaan." balasnya sambil meringis kecil karena memang ia adalah tipe orang yang cepat lupa dengan apa yang pernah ia lakukan. Yang pernah di lakukan saja kadang terlupakan, apalagi yang pernah ia katakan? Sudah pasti memori tersebut hilang begitu saja dari otaknya.     

"Ya udah kalau Kak Reza gak tau kayaknya lebih baik deh, tapi kalau tau juga gak masalah sih ya sebenarnya." ucapnya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.     

Juga, Alvira tidak memakai helm. Ya dikarenakan ia kesekolah naik mobil bersama dengan El. Kalau biasanya naik motor besar sebelum kejadian kecelakaan yang menimpa sang Kakak dan pasti ia akan memakai helm miliknya, namun kan keadaan sekarang masih berbeda.     

"Emangnya kenapa kalau dia tau? Bukannya gak ada pengaruhnya juga, ya? Atau ada?"     

"Ya gak kenapa-napa juga sih. Takutnya Kak Reza mikir kembalinya aku itu karena Bian yang ketauan udah jahatin Kak Bara, padahal kenyataannya aku udah nyesel jauh sebelum tau kalau Bian udah jahat banget."     

"Enggak kok, dia gak ada pikiran kayak gitu. Lo tenang aja, gak usah mikirin hal yang negatif, apapapun itu pokoknya lo haris tetap positif."     

"Iya lah, aku juga gak mau buang-buang waktu lagi buat pikiran negatif kayak apa yang Kak Mario bilang ke aku nih barusan. Sekarang kan intinya fokus sama Kak Reza yang udah baikan, iya kan?"     

Padahal Alvira sendiri pun tidak yakin kalau ia bisa benar-benar 100% menghilangkan perasaannya kepada seseorang yang memiliki nama Reza di dalam kehidupannya. Mengapa seperti itu? Ya karena Reza masih berada di ruang lingkup kehidupannya! Memangnya, siapa yang bisa melupakan seseorang jika orang yang ingin dilupakan ternyata masih menjadi bagian hidupnya? Tidak akan pernah bisa.     

Alvira memundurkan tubuh, untuk kembali duduk tegak dengan nyaman di atas jok motor yang baginya cukup pegal jika di bandingkan dengan milik sang kakak.     

Mario melirik ke kaca spion lagi, mendapati Alvira yang sepertinya telah memikirkan suatu hal yang mungkin cewek itu membutuhkan ketenangan di dalam situasi yang seperti ini.     

Pada akhirnya, yang Mario lakukan hanyalah menatap jalanan dengan serius karena kini ia berkendara membawa orang di belakang joknya.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.