Elbara : Melts The Coldest Heart

Terpesona Dengan Reza



Terpesona Dengan Reza

Melihat Reza yang pergi begitu saja, tentu menjadikan Priska mengerjapkan kedua bola mata, pertanda dirinya bimbang.     

Dan ya, pada akhirnya ia berpikir untuk beranjak dari duduk dan mengikuti kemana Reza pergi. Ia sama sekali tidak habis pikir, padahal hanya masalah tidak izin saja tapi pacarnya seperti ini.     

Atau memang sejak dulu si Reza memang memiliki sifat yang over protective di saat memiliki status dengan seseorang?     

Dan ya, karena tidak ingin memperpanjang masalah pun pada ia memilih untuk mengekori setiap langkah besar Reza yang mulai menjauh. Hampir saja ia kehilangan kemana perginya cowok tersebut, yang ia tadi ketinggalan jejak Reza karena di tempat ini cukup ramai.     

"Za, tunggu gue!" serunya, namun nada bicaranya tidak terlalu besar karena tidak ingin mengundang perhatian orang lain.     

Sedangkan di sisi lain …     

"Lo ngapain dah masih aja ngajak Priska keluar? Bukannya kita udah damai, ya? Kan sekarang statusnya itu Reza pacar Priska, begitu juga dengan sebaliknya."     

Mario menatap ke arah Bian dengan sorot mata lekat, seolah meminja penjelasan lebih kepada cowok tersebut yang menjadi lawan bicaranya.     

Bian menghembuskan napas, ia juga merasa tidak enak kalau seperti ini. "Demi Tuhan, gue udah bilang sama Priska kalau dia izin ke Reza. Gue udah nyuruh dia. Kenapa bukan gue yang izin ke Reza? Kan Priska pacarnya, masa gue yang izin?" balasnya yang memberikan tanggapan.     

"Gue juga bingung banget dah, kenapa sih lo sama Priska jadi deket gitu? Maksud gue, ayolah hargai perasaan sesama cowok. Gimana rasanya kalau semisalnya gue ajak jalan Moli, tapi lo gak tau?" ucap Mario yang membalikkan kenyataan kepada Bian agar cowok tersebut setidaknya bisa berpikir jernih dan memperbaiki kesalahan sebelumnya.     

"Gue tadi emang udah main sama Moli, bahkan gue nemenin di rumahnya buat belajar. Tapi emang ada adu mulut aja, jadinya gue pulang. Ngerasa di rumah bosen, gue ngajak Priska jalan. Ya kan cuma nongkrong doang, gak lebih." Masih melakukan pembelaan, itu-lah namanya Bian.     

Sejujurnya, Mario sangat tau kalau Priska dan cowok di hadapannya ini tengah membicarakan tentang dirinya, Reza, dan juga El. Pasti, tidak mungkin tidak membicarakan. Entah itu hubungan Priska yang tiba-tiba dengan Reza, atau bahkan mereka berdua memang membicarakan kejahatan yang mereka lakukan di kejadian sebelumnya.     

"Iya gue tau kalau lo sama Priska sekedar ngobrol aja, tapi kan gue tau kalau lo pasti paham sama kata-kata gue yang nyuruh lo buat ngehargai perasaan sesama cowok, iya kan?" Mario melakukan pengulangan dalam perkataannya.     

Bian menganggukkan kepala, merasa membenarkan apa yang dikatakan oleh Mario. "Iya sorry ya gue salah, nanti gue minta maaf sama Reza." balasnya, ia mengakui kesalahan. Nada bicaranya tidak terpaksa, atau bahkan seperti enggan menanggapi, tidak sama sekali.     

"Nah lo bisa minta maaf, tapi nanti. Soalnya kayaknya mereka berdua udah pergi deh, gue pikir mereka pasti ada di parkiran kok. Jadi, tunggu aja soalnya Reza gak bakalan ninggalin gue."     

Menganggukkan kepala, Bian tersenyum kecil. "Makanan di meja lo sama minumannya masih ada atau gak? Kalau masih, cepetan bawa kesini makan bareng gue. Sebelum ada petugas kebersihan yang ambil semua makanan lo," balasnya yang mengubah topik pembicaraan agar tidak terdengar sensitif.     

Mario menganggukkan kepala, setelah itu beranjak dari duduknya. "Oke, sebentar ya. Gue ambil dulu kayaknya masih banyak sih kentang goreng sama coffee latte gue." balasnya, lalu melangkahkan kaki ke arah mejanya dengan Reza sebelumnya.     

Mengambil makanan dan minuman yang di maksud, lalu di genggam dengan masing-masing tangan. Setelah merasa cukup, ia kembali melangkahkan kaki ke arah meja Bian. Ia juga sudah membalikkan status meja menjadi kosong, yang dalam artian meja tersebut bisa di bersihkan untuk tempat pengunjung lain.     

Mario kembali mendaratkan bokong di kursi yang berhadapan dengan Bian, ia kembali menikmati ketenangan sebelum nantinya menyaksikan drama mengenai cowok di seberangnya ini meminta maaf kepada sang sahabat.     

"Sifat Reza emang begitu, ya? Gue liat-liat yang sama Alvira, dia gak parah kayak gitu. Dulu kan pas dia deket sama Alvira, Alvira masih nempel-nempel sama gue. Tapi marahnya Reza kali ini beda ada gitu," ucap Bian yang mengutarakan apa yang dirinya saat ini pikirkan.     

Mario yang mendengar itu pun terdiam. Memikirkan perkataan Bian sebaik mungkin, bahkan ia cerna dengan sangat dalam. Sungguh, ia juga berpikiran hal yang sama dengan cowok tersebut. Namun, tadinya ia pikir kalau Reza profesional dalam melakukan tugasnya yang secara harfiah berpura-pura menjadi pacar Priska.     

"Gak kok, dia emang begitu. Tapi mungkin lo yang baru kenal Reza, bro. Temen gue emang gak suka kalau gak di kasih kabar begitu. Bedanya, kan kepribadian Priska sama Alvira berbeda. Jadi, Reza perlakuin mereka sesuai dengan perlakuan mereka ke Reza." balas Mario yang menjelaskan. Tentu ia lebih memilih membangun pikiran positif dengan kenyataan yang sudah ia dapatkan karena bersahabat dengan Reza cukup lama.     

Bian hanya menaikkan kedua bahu, tidak ingin ambil pusing mengenai hal itu. "Ya udah ya, ini gue minta maaf dulu sama lo. Nanti kalau Reza dan Priska udah kelar, gue bakalan minta maaf sama Reza." ucapnya.     

Menaikkan sebelah alis menjadikan Mario menatap Bian dengan tatapan yang penuh selidik. "Maaf?" ucapnya, ia mengulang perkataan Bian. "Kalau mau di maafin, traktir gue lah."     

…     

Reza menghentikan kakinya tepat di dekat motor besar kesayangan yang sudah bertahun-tahun tetap menjadi andalan bahkan kebanggaannya.     

Enggan menolehkan kepala ke belakang karena pasti Priska mengikutinya.     

"Huft, lo jalannya cepat banget, sih? Gue capek ngejar lo yang langkah kakinya besar-besar."     

Tuhkan benar apa yang menjadi firasat Reza mengenai Priska yang mengikut di belakangnya. Ya, sudah pasti cewek itu mengikutinya dengan heboh. Ia juga tadi mendengar panggilan dari Priska saat ia berjalan untuk menghindari cewek tersebut yang malah menyampar.     

"Ya siapa yang suruh lu ngejar gue?" tanya Reza dengan sinis, kini ia mulai duduk di atas motor dan mengeluarkan korek serta satu batang rokok dari waist bag yang menyilang di tubuhnya.     

Priska menatap Reza dengan sorot mata yang bertanya-tanya setelah itu mendengus. "Huh, lo kan gue kejar-kejar, emangnya gak denger ya kalau gue manggil nama lo?" tanyanya dengan kesal, lalu menyandarkan tubuhnya juga di motor milik cowok yang saat ini sudah merokok.     

"Jangan di samping gue." ucap Reza tiba-tiba, dan juga tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Priska barusan. Baginya, ia bukan seseorang yang minat membahas masalah terlalu dalam.     

Priska menaikkan sebelah alis, merasa bingung dengan larangan cowok tersebut. "Kenapa? Lo terlalu sayang sama motor lo, jadi gue gak boleh buat sekedar sandaran doang? Atau gimana?" tanyanya dengan serius.     

Mendengar itu, Reza menggelengkan kepala karena tentu saja dugaan Priska itu adalah sebuah kesalahan yang tidak bisa di benarkan. "Enggak oneng, bukan begitu. Lo bodoh banget, sih? Lo gak liat gue lagi ngerokok? Seenggaknya, jauhan dari gue." ucapnya dengan nada bicara dingin.     

Namun di tangkapan indra pendengaran Priska, cowok itu tengah memberikan perhatian penuh terhadapnya. Ia bahkan mengerjapkan kedua bola mata sebanyak tiga kali. "Oh cuma gara-gara asep rokok?" Ia tersenyum miris, sejauh ini tidak ada orang yang mengingatkan dirinya betapa bahayanya asap rokok. Baru Reza yang bisa menanamkan perhatian seperti itu kepada dirinya. "Kalau cuma hirup udara yang udah tercemar asap rokok mah gue udah biasa, santai aja." balasnya.     

Jangankan terbiasa menghirup asap rokok, bahkan Priska pun merokok untuk banyak hal mengenai hidupnya yang berantakan.     

Reza memutar kedua bola mata, malas untuk menasehati lebih jauh. Jadi, ia mengangkat kedua bahu yang seolah tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Priska. Namun, ia kini membuang asap rokok dari mulutnya ke arah berlawanan dari dimana Priska yang berada di sisi kirinya, maka ia membuang asap ke sisi kanan.     

Priska memperhatian Reza dari samping, menatap ketampanan cowok tersebut yang entah kenapa ia baru sadari kalau pesona-nya memang lebih memancar jika di bandingkan dengan El. Mungkin ia bisa berpikir seperti ini karena sudah bosan dengan pesona El yang sudah hampir 3 tahun ini terus-menerus mencintai cowok satu itu sampai rasanya memang perasaannya sudah terlalu berlebihan.     

"Ngapain lo liatin gue terus? Jangan di liatin terus, soalnya gue gak bakalan liatin lo balik." balas Reza dengan dengusan. Tatapan matanya lebih memilih menatap langit malam jika dibandingkan dengan menatap cewek yang ada di sebelahnya.     

Priska mengerjapkan kedua bola mata, setelah itu menghembuskan napas dengan perlahan. "Ya emangnya gak boleh liatin lo?"     

"Oh, lo baru aja terpesona sama gue apa gimana?" tanya Reza. Tentu saja, ia belum mengalihkan pandangan untuk menatap ke arah Priska, masih belum memiliki niat yang seperti itu.     

Priska terkekeh kecil, dengan tidak malu pun menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang dikatakan oleh Reza. "Iya terpesona. Kenapa gue baru sadar ya kalau pesona lo lebih gede daripada El? Gue bener-bener baru nyadar banget," balasnya dengan kedua bola mata yang terpancar kilatan yang penuh pesona kalau dirinya terkagum-kagum dengan sosok cowok yang berada di sampingnya.     

Mendengar penjelasan Priska yang seperti itu menjadikan Reza berdecih kecil sambil menghembuskan napas dengan perlahan. "Cih, bilang aja kalau lo berkata begitu sama gue cuma buat ngerayu aja. Biar di maafin sama gue, iya kan?" Tentu saja ia curiga.     

Menghembuskan napas, Priska menggelengkan kepala dengan perlahan. "Siapa yang ngerayu lo? Gue cuma bilang apa yang ada di dalam pikiran gue, apa yang menurut gue itu termasuk pendapat gue. Bukan berarti, gue puji lo buat dapet maaf lo, oneng." balasnya sambil memutar kedua bola matanya.     

Reza hanya diam, setelah itu mengangguk-anggukkan kepala namun tidak memberikan tanggapan apapun. Ia menghembuskan asap rokok yang di hisap ke udara, setelah itu memilih untuk lanjut diam dengan pemikirannya sendiri. Membiarkan Priska kali ini mengagumi dirinya secara terang-terangan seperti ini.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.