Elbara : Melts The Coldest Heart

Menyatakan Perdamaian



Menyatakan Perdamaian

0Jam pulang sekolah akhirnya berbunyi, semua murid kelas 12 pun kini tengah mengadakan pengumuman yang mengharuskan berkumpul di aula untuk di beritahukan mengenai ujian-ujian yang akan datang dalam hitungan hari yang artinya mereka harus giat belajar untuk mendapatkan hasil yang memuaskan setelah lulus nanti.     
0

Mungkin bagi seluruh murid kelas 12 perkumpulan di aula itu wajib, tapi tidak bagi El yang saat ini berada di lapangan dan men-drible bola.     

Tidak, ia tidak sendirian namun juga tidak bersama Reza dan Mario karena ia menyuruh kedua cowok itu untuk menyimak dan nanti katakan info padanya. Sebagai cucu sang pemilik sekolah, ua sebenarnya sudah tau apa yang dibicarakan di aula saat ini. Makanya ia berani untuk tidak menghadiri.     

Tebak siapa yang saat ini bersama El?     

"Ini maksud lo, kita damai?"     

Pertanyaan yang di lontarkan ke El dengan suara bariton yang lebih berat darinya itu pun hadir di indra pendengarannya, menjadikan ia yang tadinya fokus menatap bola pun mulai mengangkat wajah agar bisa melihat cowok tersebut.     

"Sejarahnya sih antara El dan Bian itu gak pernah damai, tapi makin kesini ya gue mikir aja gak ada gunanya perang terus sama lo." jawab El dengan penjelasan yang menurutnya masuk akal dan ia rasakan untuk saat ini.     

Bian, ya dia adalah sosok yang saat ini bersama El. Bukan, bukan dalam artian mereka berdua memang sudah berjanjian untuk tidak menghadiri pengumuman penting di aula saat jam pulang sekolah seperti ini. Tadinya, ia memutuskan untuk sebentar pergi ke toilet karena benar-benar kebelet. Dan saat keluar dari toilet, El mengajaknya untuk sekedar berbincang-bincang saja.     

"Gue juga sih bosen banget musuh gue lo lagi lo lagi, tapi ya mau gimana? Gue mah cuma mainin peran doang, El. Gue sih gak seneng, gak sedih, gak terharu, atau apapun itu tau lo mau ajak baikan. Ya biasa aja sih," ucap Bian sambil menaikkan bahunya seolah tak tau menau.     

El menaikkan sebelah alisnya, menatap ke arah Bian yang saat ini sedang menggigit roti dalam bungkusan di tangan cowok tersebut. "Bodo, gue juga gak peduli perasaan lo." balasnya sambil terkekeh renyah.     

Melihat El yang men-drible bola menjadikan Bian berdehem kecil. "Lo ada pikiran gak buat tanding basket abis nih pengumuman selesai? Udah lama juga kan ya kita gak tanding?" ucapnya yang menawarkan diri, merasa tenggorokkannta serat pun langsung meraih minuman isotonik.     

Memang sudah niat El, Reza, dan Mario sejak tadi pagi untuk bermain basket karena sudah lama tidak mengasah kemampuan. Dan di tambah lagi saat ini Bian menawarkan pertandingan padanya, lalu apalagi yang harus ia sia-siakan?     

"Eh tapi gue denger Nusa kabarnya sakit terus pulang, kan? Apa lo abis ini mau langsung ke rumah dia?" sambung Bian lagi yang mengubah pemikiran karena teringat akan suatu hal.     

El bimbang, ia juga tengah memikirkan hal ini. "Ya gue bisa main basket dulu abis itu ke rumah dia jam tiga, gue terima-terima aja." ucapnya pada akhirnya menjawab, ia akan mengatakan kepada Nusa untuk memberikan kabar sang pacar bahwa ia bermain basket terlebih dulu.     

"Mau gue bilangin sama Moli buat nemenin Nusa dulu, gak?"     

"Jangan bilang otak Moli udah lo cuci,"     

"Gila lo, ya gak lah. Sebelum Moli sama gue kan dua temenan sama Nusa, ya kalau gak mau sih gak masalah lagian kan gue—"     

Bruk     

"Jadi cowok kok bawel?" ucap El yang memotong ucapan Bian yang belum selesai dikatakan, ia melempar bola basket ke arah cowok tersebut dan langsung di tangkap dengan cekatan.     

"Sialan lo, untung roti gue gak kotor."     

"Bagus kalau gak kotor, daripada gue buat jatuh?"     

Bian mendengus, lalu setelah itu meletakkan bola basket di kursi sampingnya. Tentu ia saat ini duduk di tepi lapangan, lapangan indoor yang menjadi pilihan El untuk saat ini karena bisa menghindari dari terik matahari yang terlalu menyengat kulit.     

Mereka terlihat seperti dulu, seperti dua cowok yang bersahabatan sebelum adanya masalah. El menatap Bian begitu juga sebaliknya, namun hanya bertahan sesaat saja. Mungkin mereka sama-sama merasakan kerinduan yang dulu menyatukan mereka bersama?     

"Gue kira lo mau musuhin gue seumur hidup lo, El. Ya masih gak nyangka aja sih kalau lo ngajak damai, sumpah." ucap Bian lagi dengan mulut yang lumayan penuh.     

El mendengus. "Sebenernya sih ogah ya, tapi kalau di pikir-pikir takutnya gue terlalu dendam sama lo. Lagian juga kan emang lo brengsek daridulu, salah sendiri udah percayain adik gue ke lo." ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Bian tidak menganggap perkataan El barusan itu mengejek dirinya, tidak sama sekali. "Iya lo mah lagian percaya aja sama gue, tapi akhirnya sampai sekarang buktinya adik lo yang ngejar gue."     

Mereka berdua sama-sama terkekeh, seperti sosok yang memang sebenarnya akrab, hanya saja terpisah karena suatu masalah yang membuat keduanya merasa tidak enakan satu sama lain.     

El beralih meraih ponsel yang berada di saku celana, lalu membuka kata kunci untuk menuju ke aplikasi bertukar pesan.     

Ia ingin memberikan kabar kepada Nusa, namun ia juga melihat pesan satu jam sebelumnya juga belum di balas cewek tersebut, mungkin tidur.     

| ruang pesan |     

El     

Hei, gue nanti basket dulu ya? Paling ke rumah lo jam 3-an, gak masalah kan?     

El     

Gue suruh Moli ke sana, ya? Biar lo ada temen, gue gak mau lo sendirian. Nanti pas gue, Reza, dan Mario udah di sana, gue suruh Moli pulang.     

El     

Selamat istirahat, bidadari cantik!     

| ruang pesan berakhir |     

Senyuman terukir di wajah El, ia hanya mengirim pesan ini yang penuh perhatian untuk Nusa, namun rasanya ia sudah menjadi sosok yang paling bahagia sedunia.     

Bian memperhatikan itu, ia bergumam di dalam hati kalau Nusa beruntung sekali bisa mendapatkan El begitu juga sebaliknya. Jadi, ia tiba-tiba menjadikan itu motivasi mengenai hubungannya dengan Moli, ia akan membuat Moli dan dirinya sendiri berbahagia satu sama lain.     

Menaruh kembali ponsel yang berada di tangan ke saku celana, setelah itu menatap Bian. "Lo yang kabarin Moli, Bian. Gue males," ucapnya.     

Bian menganggukkan kepala. "Iya santay aja, gue lagi makan roti, nanti nunggu kelar."     

Mendengar itu, El sih diam saja, lalu berjalan ke tepi lapangan yang lainnya. Ia menatap spanduk besar yang terpajang di dinding atas lapangan ini, itu bekas pertandingan ekstrakulikuler tahun lalu. Ia hanya geleng-geleng kepala sih mengingat kenapa itu belum di lepas.     

Mereka berdua berdiam diri. Bian yang berpikir kalau mereka sudah baik-baik saja, sedangkan El yang kini tengah tertawa di dalam hati karena misi keduanya berhasil.     

Memangnya siapa yang ingin kembali berteman dengan seseorang yang hampir saja membunuhnya?     

…     

Next chaper     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.