Elbara : Melts The Coldest Heart

Kehadiran Membahagiakan



Kehadiran Membahagiakan

0Sudah mengganti pakaian seragam sekolah dengan baju santai seperti kaos dan celana sependek lutut, kini Moli memeluk beberapa buku yang masuk ke dalam tangannya.     
0

"Ini tuga sekolah makin banyak aja deh, padahal setiap hari aku kerjain terus, gak pernah aku tumpuk-tumpuk juga."     

Helaan napas pun keluar dari dalam mulut Moli menjadikan cewek satu ini merasa kalau kemungkinan memang tidak ada hal yang perlu di keluhkan karena belajar adalah hal yang menjadi bahian dari hobinya. Belajar merupakan hobi? Ya mungkin hobi seperti itu hanya berlaku untuk beberapa manusia di bagian muka bumi ini saja.     

Daripada kerjaannya hanya mengeluh, akhirnya Moli memilih untuk segera keluar dari kamar dan buru-buru menuruni anak tangga karena tau kalau tentunya masih ada Bian yang kini berada di ruang tamu rumahnya.     

"Hei, maaf ya kelamaan." ucapnya begitu langkah sudah nendekati Bian yang terlihat sedang sibuk bermain sesuatu di ponsel, mungkin game online?     

Mendengar ada yang mengajaknya berbicara, Bian hanya melirik sekilas ke sumber suara lalu menganggukkan kepala karena tidak merasa keneratan akan hal itu. "Gak apa-apa, udahan lo beres-beresnya?" tanyanya, namun arah pandang tetap mengarah ke layar ponsel.     

"Udah nih mau belajar, kamu mau ikutan belajar sama aku apa gimana?" balas Moli, sambil mengajukan pertanyaan pun dirinya sudah mendaratkan bokong tepat di sebelah Bian. Juga, mulai menata buku-buku yang ia bawa dari kamar ke atas meja yang berada di hadapannya.     

Mendengar penawaran yang sama sekali tidak menyenangkan seperti itu membuat Bian menggelengkan kepala langsung dengan gerakan tegas. "Gak, makasih. Gue bukan tipe manusia pemakan buku kayak lo. Belajar tuh punya waktunya sendiri, jangan seluruh hidup di habisin buat belajar dan malah ninggalin apa yang udah sewajarnya kita lakuin." ucapnya yang tiba-tiba teringat ucapan Bibi ART tadi yang mengatakan kalau selama ini Moli tidak memiliki teman yang di bawa ke rumahnya, dalam artian sama saja seperti mengurung diri dan anti sosialisasi.     

Jawaban Bian seakan menampar Moli untuk saat ini, menjadikan ia mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. "Ya belajar tuh hobi, gimana pun kan hobi gak bisa di hilangin begitu aja." balasnya walaupun kini ia merasa apa yang dikatakan cowok tersebut benat adanya.     

Pada akhirnya, kini Moli bergerak turun dan memutuskan untuk duduk di lantai beralasan karpet berbulu. Ia memfokuskan diri untuk menatap beberapa buku yang terdapat tiga mata pelajaran sekaligus. Tidak lagi ingin memulai obrolan dengan Bian.     

Mulai mengambil pulpen, lalu membuka buku Sejarah yang dimana tugasnya saat ini adalah merangkum Bab, ia pandai melakukan ini dan mengambil beberapa poin inti untuk di salin ke dalam buku tulisnya.     

Merasa Moli yang enggan menghadirkan obrolan, menjadikan Bian penasaran dan sekalian ingin bertanya-tanya sambil cewek itu belajar. "Li." panggilnya sambil mengeluarkan game online dari ponselnya, ia mulai membenarkan letak duduk, lalu menatap cewek yang duduk di lantai dengan lekat.     

Sambil merangkum, Moli sambil mendengar panggilan Bian. "Hm, kenapa?" balasnya, ia sudah masuk ke dalam konsentrasi yang sesungguhnya.     

"Lo dari kapan ambis belajar kayak gini sampai lo lupa sama dunia lo? Ibaratnya nih ya, otak lo di paksa kayak kerja robot. Maaf kalau omongan gue ada yang nyakitin, tapi apa lo gak mumet belajar terus-terusan yang bikin lo tertutup dari lingkungan sekitar lo?" Akhirnya, Bian mengatakan apa yang ingin ia sampaikan untuk cewek tersebut.     

Moli berhenti menulis, ia menatap bukunya dengan tatapan kosong. Melihat ke arah deretan tulisan di buku paket mata pelajaran sejarah yang ada di hadapannya seolah mencari jawaban dari semua pertanyaan yang Bian lontarkan untuknya.     

"Ya gue salut kok sama lo, bisa raih ranking seluruh angkatan SMA Adalard. Bahkan, gue bisa liat jelas tuh piala sama piagam penghargaan lo yang suka ikut berbagai macam olimpiade, hasil kerja keras lo gak menghianati hasil." sambung Bian, ia melanjutkan perkataannya.     

Moli menghembuskan napas, lalu mulai memutar tubuh dan mendongakkan kepala untuk menatap wajah Bian, ia menghadirkan senyuman.     

"Kalau di bilang munet sih pasti lah ya, dari kecil soalnya aku udah di ajarin buat kejar nilai setinggi langit karena akses penopang keberhasilan ya caranya emang itu. Tapi buat menutup diri dari lingkungan, itu emang udah seharusnya sih ya soalnya aku gak mau kegiatan belajar aku terganggu." balas Moli.     

Bian menaikkan sebelah alisnya, ia menatap wajah polos namun terdapat kepintaran yang terpancar dari Moli. "Terganggu gimana? Bisa jelasin lebih detail lagi gak?"     

Moli menaikkan kedua bahunya. "Ya… kalau semisalnya aku punya teman atau pacar dan siapapun itu, pasti mereka bakalan ngajak aku pergi ke sana sini sini membuang-buang waktu. Karena waktu yang baik adalah di pergunakkan untuk menimba ilmu."     

"Lo sekarang gini deh, lo ngerasa gak kalau kehadiran gue dan Nusa yang sebagai temen lo ngeganggu waktu lo?" tanya Bian yang ingin tau apakah ada pemikiran baru yang muncul di benak cewek tersebut atau tidak.     

Moli sedikit berpikir, seperti mencari jawaban di dalam hatinya. "Enggak. Awalnya aku gak mau pas kamu suruh buat ke rumah Nusa karna ya jawabannya ini sekarang yang kamu liat, aku banyak tugas. Tapi, tadi kan aku ngeiyain, terus pas ngabisin waktu sama Nusa itu rasanya… entahlah kayak ada rasa seru tersendiri yang gak pernah aku rasain sebelumnya."     

"Ya mungkin aneh ya kamu liat cewek kayak aku yang kayak begini? Tapi selama hidup aku, temenan, orang lain, pacaran, itu bukan nomer satu selain keluarga dan belajar." sambung Moli.     

Bian memutuskan untuk beranjak dari duduk di sofa, lalu berpindah duduk di karpet berbulu yang bersebelahan dengan Moli. Ia menatap wajah cewek tersebut dengan jarak yang cukup dekat, kata cantik adalah pengekspresian perasaan yang mungkin paling tepat untuk saat ini.     

"Gue mau ubah hari-hari lo, tapi gue gak bakalan ubah hobi lo yang suka belajar."     

"Gimana caranya? Moli tuh udah melekat banget jiwa belajarnya, jadi takutnya nanti—"     

"Kalau lo mikirnya takut terus-terusan, ya gak akan bisa maju." Bian menjulurkan tangan, meraih jemari Moli untuk di genggam olehnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Biarin kita deket kayak gini dulu sampai lo ngerasa bener-bener nyaman dan ngerti apa yang gue maksud sekarang." sambungnya dengan nada tulus.     

Moli mengerjapkan kedua bola mata, lalu seperti terhipnotis, ia menganggukkan kepala dengan perlahan penuh percaya diri pada Bian. "Oke, aku bakalan izinin kamu untuk mengubah dan memberikan banyak hal yang belum penah aku rasakan sebelumnya."     

Kehadiran Bian di hidup Moli menjadi kebahagiaan tersendiri bagi cewek itu.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.