Elbara : Melts The Coldest Heart

Pembahasan Mengenai Keberhasilan



Pembahasan Mengenai Keberhasilan

0Suara tepuk tangan bergemuruh, di hasilkan dari tepukan para murid yang menyaksikan kedua genk selesai bermain basket dengan skor yang seimbang. Entah El dan kawan-kawan yang bermain cukup payah untuk menyetarakan kemampuan lawan, atau memang kali ini lawannya —Bian dan kawan-kawan— sudah memiliki kemampuan yang setara. Sepertinya sih opsi pertama yang lebih cocok.     
0

Mereka —pemain—, saling berjabat tangan atas hasil permainan yang cukup memuaskan.     

"Thanks bro, kapan-kapan lagi." ucap Reza sambil menepuk-nepuk pundak Bian sebanyak dua kali.     

Bian yang mendengar itu pun menganggukkan kepala. "Yoi sama-sama, gampang itu mah atur aja, gue selalu bisa kapan aja."     

"Ya udah, kita duluan." ucap El yang tidak ingin berbasa-basi dan menunda kepulangannya.     

Pada akhirnya, El and the genk pun meninggalkan lapangan bersama dengan beberapa murid yang tadinya juga menonton pertandingan basket mereka. Pihak sekolah tentu saja membolehkan, selain El adalah cucu dari pemiliki sekolah yang dalam artian memiliki wewenang, cowok ini pun juga masih berada di area sekolah untuk bermain basket yang termasuk kegiatan positif.     

"Lo serius kita skor-nya sama kayak Bian?" tanya Reza sambil menaikkan sebelah alis, merasa aneh dengan apa yang tadi di lapangan El briefing untuk bermain sok menurun kemampuan mereka.     

Mendengar pertanyaan Reza membuat El mendengus, ia melirik sahabatnya yang berjalan tepat di sisi kanan tubuhnya. "Ya serius, biar dia mikir aja kalau dia skill-nya meningkat, padahal mah gak sama sekali." balasnya dengan nada bicara yang terdengar penuh dengan ketidaksukaan.     

Mario menggelengkan kepala, tidak percaya dengan taktik rencana El yang selalu berjalan mulus. "Lo mah emang the best banget, El. Gue sih salut ya punya ketu kayak lo," ucapnya yang kini berjalan di sisi kiri El.     

"Halah ada maunya kan lo, Mario?" balas El dengan penuh kecurigaan.     

"Ih, ternistakan. Gak tuh ya, gue gak ada maunya sama lo." ucap Mario sambil mengibaskan rambut seperti memiliki rambut panjang layaknya cewek.     

Reza yang melihat itu pun bergidik ngeri. "Kalau pagi sampai sore jadi Mario, kalau malem jadi Maria." ucapnya sambil tertawa, ia tentu saja cukup terhibur jika saling mengejek dengan sahabatnya yang satu itu.     

Mario rasanya ingin mendorobg tubuh Reza sampai cowok tersebut terjungkal, namau dirinya tahan. "Masa gue doang yang punya nama malem tapi lo gak?" protesnya.     

Untung saja saat ini El berada di tengah-tengah antara Reza dan Mario, yang saat ini mereka seperti tengah siap untuk herperang adu mulut satu sama lain.     

"Udah ah, lo berdua ngapain juga jadi berantem?"     

Pada akhirnya, mereka sudah menginjakkan langkah tepat di area parkiran,     

El menurunkan tas yang hanya di sampirkan di bahu kanan, setelah itu merogoh bagian depan untuk mengambil kunci mobil yang tadi di letakkan di sana saat pertandingan basket berlangsung.     

"Tangan lo baik-baik aja kan, El?" tanya Reza sambil memperhatikan tangan sahabatnya.     

Mendengar pertanyaaan itu menjadikan El menganggukkan kepala, namun gelengan pun juga hadir. "Antara iya sama gak sih ya," balasnya seperti seseorang yang labil dalam merasakan sesuatu. "Kalau sakit sih sudah tidak, tapi kadang-kadang ya kerasa masih kebas sewaktu-waktu doang." sambungnya.     

Mengarahkan kunci pada mobil karena terdapat akses keamanan, dan ia menyerahkan kunci di tangan ke genggaman Reza. "Lo yang nyetir, gue mau tiduran di belakang." sambil berkata di saat kedudukan kuncinya sudah berada di tangan sang sahabat. Lalu tanpa mendengarkan apa jawabannya, ia langsung masuk ke bagian belakang mobil, menjadikan tas sebagai sandaran kepala setelah itu membaringkan tubuh.     

"Yes di setirin supir yang sesungguhnya." komentar Mario, meledek Reza untuk jumlah perhitungan yang kesekian kalinya.     

Reza hanya memutar kedua bola mata, setelah itu menjulurkan tangan untuk mengetuk kepala Mario dengan pelan. "Sialan, gue bales ejekan lo nanti." ucapnya seolah-olah memiliki dendam, lalu setelah itu terkekeh dan berjalan ke sisi lain mobil untuk mulai masuk ke dalamnya.     

Mario juga ikut masuk ke mobil, sampai pada akhirnya mereka sudah berada di tempat masing-masing dengan mengenakkan seatbelt bagi Reza dan Mario untuk keamanan dan keselamatan diri.     

"Ini rencana kita kira-kira berhasil gak ya?" tanya Mario sambil meletakkan pajangan anjing dengan kepala yang dapat mengangguk-angguk ke atas dashboard mobil, tadi benda kecil tersebut terjatuh. "Maksud gue, Reza udah berhasil sama Priska yang dalam artian tinggal ngeluluhin tuh cewek dan kita dapet semua info. Terus tadi, El berhasil adain perdamaian sama Bian yang gak kita sangka-sangka dia sama sekali gak curiga dan malah enjoy-enjoy aja." sambungnya.     

El menatap langit-langit mobil, ia sebenarnya sih kalau berbicara keberhasilan, tentu tidak memiliki deretan kata-kata untuk menjamin semuanya akan berjalan dengan lancar.     

Reza yang kini sambil menyetir pun lebih dulu membawa mobil milik El untuk keluar dari area sekolah dan saat ini sudah memasuki jalan raya. "Gue takutnya, gue sayang sama Priska karena terbiasa. Gue gak peduli lo berdua mau ketawain nasib gue, tapi sekarang yang gue bicarain itu kemungkinan yang bakalan terjadi." ucapnya sambil melirik Mario yang bersampingan dengannya, ia tidak bisa melihat bagaimana raut wajah El saat ini.     

"Kalau masalah Bian sih, gue yakin dia oke-oke aja karena gak mau keliatan kita curiga sama dia, iya gak sih? Gak tau sih gue kenapa mikir kayak gini, justru keliatan Bian yang main aman." tambah Mario yang merasakan hal ini bahkan pikirannya pun seperti tengah meramal.     

El menganggukkan kepala. "Tapi gue pikir-pikir nih ya, yang bagian Bian sih bakalan berhasil karena sejauh penilaian gue tentang dia sejak masih sahabatan, dia agak oon buat masalah beginian. Nah balik lagi ke Reza dan Priska, gue juga mikir kayak apa yang Reza pikirin." ucapnya, mengambil pemikiran realistis.     

Reza memang tidak pernah ingin membayangkan kebersamaannya dengan seorang Priska, tapi oh ayolah, malah sekarang takdir seolah menyuruhnya untuk memikirkan hal itu mulai dari detik ini. "Gue jadi tumbal sih," ucapnya sambil menghembuskan napas frustasi.     

"Ya lagian kalau bukan lo, emangnya mau siapa, Za? Gue? Lo tau sendiri gimana ujungnya kalau gue yang ngeluluhin Priska, kan? Kalau El yang turun tangan, masa iya mau nyakitin hati Nusa? Kan gak mungkin." jawab Mario, saat ini dan dalam pembicaraan ini ia selau berusaha untuk dewasa dengan pemikiran yang matang.     

"Satu kekurangan kita, gak kompak dan gak konsisten." El mengatakan itu. "Gue mau mulai besok Reza bersikap seolah sayang sama Priska, dan begitu juga dengan gue sama Mario yang bersikap baik seolah nerima dia, setuju gak?"     

"Formalitas?" tanya Reza.     

"Iya kayak gitu."     

"Oke, setuju."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.