Elbara : Melts The Coldest Heart

Angkringan Date!



Angkringan Date!

0"Tempatnya bagus gak menurut lo?"     
0

Moli jelas saja menganggukkan kepalanya dengan semangat, ia mengedarkan pandangan dan kini berada di angkringan berbagai macam sate dengan hiasan lampu tumblr yang mengisi kekosongan pepohonan, sangat memanjakan mata.     

Mendengar pertanyaan Bian yang seolah takut kalau Moli tidak suka, jelas saja ia menghadirkan senyuman termanis. "Suka kok, malahan aku suka pakai banget." jawabnya.     

Melihat wajah Moli yang senang, membuat Bian percaya kalau cewek itu memang senang di ajak jalan dan nongkrong di tempat yang sederhana seperti ini. Di dalam lubuk hatinya, ia berusaha untuk berjanji agar belajar menaruh rasa karena tidak tega kalau sampai menyakiti hati cewek yang saat ini berada di hadapannya.     

"Ya udah di makan dong satenya, kan udah mateng. Masa lo mau diemin aja gara-gara lo sibuk liatin lampu tumblr di pohon." ucapnya sambil tertawa. Melihat Moli yang bisa dikatakan norak itu membuatnya terhibur, sungguh.     

Moli terkekeh kecil begitu mendapati ucapan Bian yang memperingati dirinya untuk makan sate yang memang sudah 10 menit yang lalu tersani di hadapannya. "Moli boleh foto gak? Buat bikin status di media sosial." ucapnya dengan malu-malu, meminta izin.     

Bian terkekeh, lalu menganggukkan kepala. "Emangnya siapa yang ngelarang? Boleh lah." balasnya, lalu ia mengambil pose untuk bergaya dengan pura-pura memegang tambutnya. "Foto sekalian sama guenya." sambungnya sambil menampilkan senyuman menawan.     

Mengerjapkan kedua bola mata secara berkali-kali, Moli menghembuskan napasnya. "Gak deh, takut aku di serbu fans kamu. Besok takutnya jadi trending topik di sekolah, aku cuma takut di banding-bandingin sama Alvira." ucapnya yang menyalurkan perasaan yang berada di hatinya kini.     

"Emang Alvira siapa gue yang bisa di jadiin perbandingan buat lo?"     

"Mantan terindah, begitu sih desas-desusnya. Aku liat-liat juga Alvira kayak masih sayang kok sama kamu, apa jangan-jangan kamu juga masih punya perasaan sama dia?"     

Berdiam diri sebentar. Bian mengulang kembali pertanyaan yang dilontarkan Moli padanya, mengulang setiap kata yang kemungkinan jawabannya saja masih ia pertimbangkan.     

Setelah merasa kalau sudah tiada guna mengingat Alvira, Bian menggelengkan kepala lalu kembali ke dunia nyata sambil mengulas senyuman manis di permukaan wajahnya. "Enggak, kata siapa kalau gue masih punya perasaan sama Alvira?"     

Mendekatkan tangannya dengan tangan Moli, Bian menggenggamnya. "Lo tenang aja. Selagi itu cuma kabar burung, ya lo gak usah percaya." sambungnya.     

"Tapi selama ini Bian tutup mulut, gak menentang kabar burung itu, jadi orang-orang termasuk aku mikir kalau kabar itu benar adanya."     

"Emang tuh ya kan gue sebenernya juga males ada berita begituan dari dulu, tapi gue juga mau tutup mulut aja sampai sekarang. Ya gak berguna juga bela diri sendiri di saat lawan lo ternyata lebih unggul sepuluh langkah daripada lo."     

Moli mengerti, El begitu tinggi karena cucu dari sang pemilik sekolah. Juga, kekuasaannya yang goib —dalam artian tidak mengaku tinggi, namun pada murid yang mengangkat namanya sebagai salah satu orang si penguasa sekolah—, tidak mungkin bisa di lawan.     

Terlebih, mengenai masa lalu Alvira dan Bian pun sudah tersebar luas karena si pihak cewek yang mengangkat bicara. Namun, Bian saat itu diam saja dan tidak membela diri dalam bentuk apapun.     

"Lo takut gue balik lagi ke Alvira?" tanya Bian, mengunci tatapan pada kedua bola mata Moli yang tampak tengah menghawatirkan sesuatu yang dirinya belum mengerti.     

Moli menganggukkan kepala dengan perlahan, lalu menghembuskan napasnya. "Enggak kok, aku gak takut." Bohong, kini seperti terjadi perang batin di pikirannya. Ada sebuah pikiran yang menyuruhnya untuk pergi, ada yang menyuruhnya menunggu dan menetap, dan bahkan ada yang menyuruhnya untuk jangan termakan ucapan Bian.     

Kalau sudah begini, bagaimana bisa Moli menatuh perasaan yang lebih kepada Bian? Tapi rasa nyaman itu sudah ada dan hadir, ia dapat merasakannya.     

Bian menyipitkan kedua bola matanya, menatap Moli dengan sangat lekat. "Boong mulu lo mah, udah deh situ di makan dulu makanannya nanti malah jadi gak nafsu makan." ucapnya yang memilih untuk mengalah.     

Moli menekuk senyuman, merasa malas dengan makanan yang kini ada di hadapannya. "Gak deh, masa tiba-tiba aku gak laper. Bian aja yang abisin, Moli mau main hp aja." ucapnya sambil melepaskan genggaman tangan Bian yang menggenggam jemarinya dengan sangat erat.     

Mendengar ucapan Moli, Bian tertawa. "Lah, lo ngambil sate lumayan banyak, begitu juga sama gue. Kalau semuanya gue abisin, gue gak bisa nganter lo balik gara-gara kekenyangan."     

"Lagian Bian ngeselin, aku males."     

"Lah jadi gue yang salah. Emang ya cowok selalu salah, dan cewek selalu bener."     

Melihat Moli yang tidak merespon pun membuat Bian menghembuskan napas. Ia mencoba memberikan pengertian, bahkan saat ini menatap cewek di hadapannya dengan tatapan yang tulus.     

"Moli, jangan cuma gara-gara masa lalu gue yang lo bawa-bawa sampai sekarang? Gue juga punya masa lalu yang buruk, gue yakin lo juga punya dan setiap manusia punya itu, Moli. Tapi gue mohon, biarin gue buktiin ke lo. Masa lo mau terus-terusan cap gue jelek? Emangnya lo gak mau buktiin selagi gue kasih lo kesempatan buat ngenal lebih jauh lagi biar lo tau mana yang benar dan mana yang salah, hm?" Akhirnya Bian menceramahi Moli, ia tidak marah kok hanya saja memberikan ketegasan.     

Moli yang mendengar perkataan Bian pun langsung saja mengerjapkan mata sebanyak tiga kali, ia kembali menimang-nimang apa yang dikatakan oleh cowok tersebut. Rasa bersalah menyerang hatinya. Ya, bagaimana ia tidak merasa bersalah di saat dirinya malah mencap Bian dengan buruk seolah-olah cowok itu benar-benar bersalah?     

Menundukkan kepala, Moli menghembuskan napas secara perlahan. "Maafin Moli." cicitnya dengan pelan, menggemaskan.     

Bian mah orangnya santai dan tidak terlalu mengambil pusing. Jadi, ia merasa aneh kalau Moli meminta maaf kepadanya.     

"Maaf buat apaan lagi si? Kan gue bilang cewek gak pernah salah, gue yang salah. Jadi, yang seharusnya minta maaf itu mah gue. Maafin gue ya kalau menurut lo gue banyak omong."     

Setelah mengatakan itu, Bian lebih memilih untuk menikmati berbagai macam sate yang menggugah selera. Ia memakannya dengan nikmat, tidak lupa ada sambal, saus, mayonaise, semuanya lengkap.     

Moli menghembuskan napas, bagaimana bisa ia bertemu dengan sosok baik yang tersembunyi karena kabar keburukannya sudah menjalar ke seluruh telinga di sekolah?     

Dengan ragu, akhirnya Moli juga mulai memakan makanannya. Ia tidak mau membuang-buang makanan karena ini juga di traktir Bian yang dalam artian kalau dirinya tak makan pasti akan mengecewakan cowok tersebut karena sama saja membuang uangnya.     

Bian mengambil tisu, lalu mendekatkannya ke sudut mulut Moli. "Sudut bibir lo kotor, gue bersihin."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.