Elbara : Melts The Coldest Heart

Lebih Memilih Moli



Lebih Memilih Moli

0Alvira di rumah sendirian, ia sudah memilih serial drama apa yang akan di tonton. Namun, sepertinya suasana hati memburuk. Apalagi saat mendengar apa yang dikatakan oleh Mario kala tadi, percakapan mereka bertiga yang membuatnya sangat kepikiran.     
0

"Huh, itu mereka mau ngapain ya? Mau kemana? Terus Bian kenapa juga nyakitin Kak Bara?"     

Alvira. Cewek yang tadinya tergila-gila dengan Bian, karena mendengar hal ini pun menjadikan dirinya berpikir berkali-kali untuk kembali menarik cowok tersebut ke dalam hidupnya.     

Rasa ingin menghubungi Bian pun sangat besar, namun ia berpikir-pikir lagi dan akhirnya perasaan bimbang membingkai di pikirannya.     

Ia memilih untuk menyandarkan punggung ke kepala kursi, lalu melihat ke layar ponsel untuk membuka sosial media. Melihat seluruh aktivitas status Instagram yang di buat oleh teman-temannya. Ada yang berjalan-jalan, ada yang sekedar posting tidak jelas karena di landa gabut, ada juga yang hanya memposting lirik lagu.     

Melihat postingan Nusa, cewek itu saat ini sedang bersama dengan Rehan. "Enak banget ih sunmori tapi jam segini udah nyampe di puncak." gumamnya.     

Sebenarnya, kalau boleh jujur sih Alvira iri dengan kedekatan Nusa dan Rehan yang bernotabene sebagai adik dan kakak goals. Ia dan El juga goals, namun hanya dalam perilaku. El jarang sekali menghabiskam waktu untuknya, seperti apa yang dilakukan oleh Rehan kepada Nusa.     

Namun, sepertinya untuk saat ini Alvira sudah cukup bersyukur. Karena, El sudah tidak dingin dan cuek kepadanya sudah seperti sebuah anugerah yang indah.     

Beralih dari postingan Nusa yang mempublish kebersamaan bersama Rehan, Alvira pada akhirnya menghembuskan napas lalu melihat postingan Mario yang memang terkenal memposting segala kegiatan secara acak.     

"Ini dimana ya posisinya? Kalau Vira samperin, aku kan gak tau lokasinya. Juga, kesana sama siapa?"     

Akhirnya, Alvira hanya bisa mengambil napas lalu menghembuskannya dengan perlahan-lahan.     

Lalu, pikirannya kembali melayang. Ia ingin menanyakannya langsung pada Bian, namun takut merusak rencana yang dibuat oleh El, Reza, dan juga Mario yang kemungkinan saat ini tengah di bicarakan.     

Memikirkan kembali apa yang El katakan, Alvira menghembuskan napas dengan perlahan. "Ya udah deh, mendingan nurut aja sama ucapan Kak Bara. Duduk diem di rumah, Drakoran deh."     

Alvira memposisikan tubuhnya, membenarkan letak selimut yang agak berantakan karena dirinya tendang-tendang. Setelah itu, mengambil remote televisi yang sudah terhubung dengan aplikasi menonton berbayar perbulan.     

Mencoba untuk berdamai dengan pikirannya sendiri, Alvira memilih untuk menyibukkan diri dengan kesibukan menonton Drama Korea dan ditemani dengan camilan.     

Sedangkan di sisi lain …     

Bian sudah siap dengan pakaian yang sangat cocok untuk di pakai jalan dengan Moli. Ia menatap pantulan tubuhnya di cermin yang memantulkan seluruh tubuh dari atas kepala sampai telapak kakinya.     

"Sempurna."     

Baru saja ingin menyambar kunci motor, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Nama Alvira terlihat jelas di layar benda pipih tersebut, menjadikan sebelah alisnya terangkat heran. "Ada apaan lagi sih?"     

Berusaha untuk tidak mempedulikan, sampai dering tersebut berhenti sendiri. Namun setelah berhenti, panggilan dari Alvira kembali masuk ke ponselnya.     

"Oke, semoga aja ada hal yang penting."     

Bian merasa kalau setiap kali ia ingin jalan dengan cewek, pasti secara tiba-tina seakan tau rencananya, Alvira langsung menghubungi dirinya di saat detik-detik ia ingin menjemput cewek tersebut seperti saat ini.     

Akhirnya, Bian memutuskan untuk menjawab. Ia meriah ponsel, menggeser tombol hijau, setelah itu menempelkan ponsel ke telinganya.     

"Halo, Bian. Lagi apa?" sapa Alvira yang berada di seberang sana dengan nada bicara yang lembut.     

Terakhir kali Bian berhubungan dengan Alvira ya disaat kala mengantar cewek itu pulang ke rumah setelah mengobrol dengannya di cafe. Setelah itu, ia tidak merespon pesan yang di luncurkan oleh cewek tersebut kepadanya.     

Bian menghembuskan napas, melirik ke arah jam dinding yang ternyata ia masih memiliki sekitar 15 menit lagi untuk berangkat ke rumah Moli. "Halo, Vira. Kenapa emangnya?" Ia menjawab sapaan, namun tidak menjawab pertanyaan Alvira yang menurutnya sangat klasik digunakkan sebagai ucapan basa basi.     

Mendengar deheman kecil seperti ragu, tentu saja sempat membuat Bian berpikir kalau kemungkinan ada yang ingin di sampaikan oleh cewek tersebut.     

"Ah enggak kok, aku niatnya mau ajak jalan." balas Alvira dari seberang sana. "Aku liat Nusa sama Rehan lagi jalan. Kak Bara, Kak Reza, sama Kak Mario juga lagi pergi. Jadi, aku sendirian di rumah. Mau jalan sama aku gak?" sambungnya. Terdengar jelas ada nada pengharapan di balik ucapannya.     

Namun, Bian tidak bisa menerima ajakan tersebut. Tidak mungkin juga membatalkan ajakan jalannya bersama dengan Moli, pasti akan mematahkan hati cewek itu yang bisa saja sudah rapih bersiap-siap untuk jalan bersamanya.     

Menggelengkan kepala seolah-olah sang lawan bicara, Bian sudah tidak mengerti kalau hati Alvira seperti batu.     

"Gak bisa, gue mau jalan sama Moli. Lo jalan-jalan sendiri aja,"     

"Kalau sendirian itu namanya bukan jalan-jalan, tapi gabut."     

"Nah ya udah lo gabut aja. Gue banyak rencana sama Moli, jangan cuma gara-gara lo semuanya jadi ancur."     

Ya beginilah Bian. Terkadang bisa bersikap manis kepada Alvira, namun busa juga perkataannya menjadi sangatlah pedas dan tidak di saring terlebih dulu sebelum keluar dari mulutnya.     

Diam beberapa saat, namun tarikan napas di susul dengan hembusan napas secara perlahan membuat Bian tau kalau panggilan telepon belum dimatikan.     

"Ini Bian benci ya sama Alvira?" tanya Alvira di seberang sana dengan nada rendah, seolah menanyakan dengan perasaan yang sedih.     

Bian menganggukkan kepala, namun hatinya tau kalau mengatakan dirinya benci pasti akan menbuat Alvira sakit hati. Berusaha untuk tidak mengatakan hal yang kasar, akhirnya ia bisa menahan diri. "Enggak, gue gak benci sama siapa-siapa, Ra. Tapi kan lo tau kalau gue udah punya Moli, yang dalam artian lo gak seharusnya masih bersikap kayak gini ke gue. Plis Ra, jadiin ini peringatan terakhir dari gue buat lo." ucapnya denhan sedikit nada bicara yang memohon.     

"Aku cuma mau ajak kamu jalan, bukan berarti mau ngerebut kamu dari Moli, Bian."     

"Itu sama aja, Ra. Lo gak mikirin perasaan Moli kalau tau ternyata lo masih suka hubungi gue? Bukan lo yang bakalan di jauhin plus di cap buruk, tapi gue yang bakalan di cap jelek, Ra."     

"Kamu aja gak mikirin perasaan aku, kenapa aku suruh mikirin perasaan Moli?"     

"Plis ya Ra, lo bukan siapa-siapa gue. Jadi, gue gak jaga perasaan buat lo. Sampai di sini, lo ngerti apa gak sih?"     

Bian tau ucapannya kelewatan, namun hanya ini yang bisa ia lakukan. Ia risih dengan sifat Alvira, dan siapapun yang risih pasti juga akan melakukan hal yanh serupa dengan dirinya.     

"Maaf ya Ra, gue lebih milih Moli. Gue akan selalu nolak lo, gue matiin ya telponnya."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.