Elbara : Melts The Coldest Heart

Menolak Pendekatan Bian



Menolak Pendekatan Bian

0| ruang pesan |     
0

Bian     

Lo mau jalan pagi gak? Biar kayak orang-orang gitu jalan sama pacarnya.     

| ruang pesan berakhir |     

Moli sudah bangun tidur sejak tadi, namun ia baru sempat membuka ponsel tepat pada jam 11 siang. Yang dalam artian, kemungkinan besar tawaran Bian yang mengajaknya pergi pagi hari sudah tidak berlaku lagi.     

Habisnya mau bagaimana lagi? Ia baru saja selelaai mengerjakan semua pekerjaan rumah. Pikirannya, daripada pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru menumpuk, lebih baik mengerjakannya dalam satu waktu dan langsung selesai semua.     

Ia merenggangkan otot-otot tangan yang terasa kebas. Memikirkan juga apakah Bian benar-benar ingin dekat dengannya, atau seperti kabar burung hanya mendekati dirinya karena gagal mendapatkan Nusa yang lebih dulu di tembak El?     

Inilah yang membuat Moli tidak ingin kenal dengan cinta, pasti kalau dipikirkan tiada habisnya. Alias, ada saja yang harus di bahas ini dan itu. Bahkan, menjadi banyak pikiran pun tak jarang terjadi.     

Baru saja ingin merapikan buku-buku yang kini bertumpuk dengan tidak teratur di meja belajarnya pun terpaksa tertunda karena tiba-tiba ponsel di tangannya berdering.     

Moli menaikkan sebelah alis kala melihat di layar ponsel ternyata terdapat nama Bian disana, cowok itu yang menghubungi dirinya. "Ih ada apaan nih di telpon sama Bian?" tanyanya dengan heran.     

Namun, daripada memilih untuk memikirkan alasan Bian mengapa menelepon dirinya. Moli pun menjawab panggilan tersebut.     

"Halo." ucap Moli saat ponselnya sudah di letakkan mendekati daun telinga.     

Terdengar deheman suara bariton dari seberang sana, jelas itu adalah suara Bian. "Kok chat gue di read doang sama lo? Gak ada niatin di bales atau apa kek gitu? Basi ya cara gue ngedeketin apa gimana sih, Li?" tiba-tiba, pertanyaan berbondong-bondong keluar dari mulutnya seperti mendesak Moli yang saat ini mengerjapkan kedua bola matanya karena heran.     

Moli meneguk salivanya. Jujur, ia sebagai salah satu saksi mata mengenai Bian yang playboy jelas langsung menaruh predikat buruk pada cowok tersebut tanpa terkecuali.     

Nama Bian sudah tercemar, untuk cewek baik-baik seperti Moli, dari awal memang sudah memasang spanduk tak kasat mata di tubuhnya agar tidak terbawa perasaan jikalau cowok tersebut mendekati dirinya.     

"Ya iya, aku ngerasa chat kamu kan udah basi karena itu chat tadi pagi sedangkan ini sudah siang." jawab Moli dengan santai.     

Terdengar hembusan napas dari seberang sana menjadikan Bian tertebak kalau kemungkinan besar ingin menyerah karena malas menanggapi cewek modelan Moli, dan cewek ini juga herharap kalau Bian lebih baik menjauhi dirinya saja.     

"Lo kok gitu sih? Enggak, gue gak marah kok. Tapi lo kayak gak percaya sama gue yang mau deketin lo, karena desas desus tentang gue apa gimana?"     

"Iya, Bian. Aku tau kalau nantinya ujung-ujungnya kamu cuma bisa nyakitin aku doang,"     

Tidak salah kan ketika Moli jujur dengan apa yang dirasakan dengan apa yang saat ini dirinya pikirkan, benar? Lagipula, kalau dari awal tidak jujur dengan ketidaknyamanan yang di rasa, masa masih ingin bertahan bersama dengan kebohongan?     

"Kalau gue mau berubah buat lo, tetep gak bisa?" tanya Bian sambil menghembuskan napas dengan perlahan-lahan.     

Moli yang mendengar suara Bian dari seberang sana pun menggelengkan kepala, ia menatap tumpukan buku di hadapannya. Mungkin jika di bandingkan dengan Bian, menurutnya tumpukan buku tersebut jauh lebih baik daripada apapun.     

Moli menggelengkan kepala dengan perlahan, tidak lupa menghembuskan napasnya. "Gak bisa, yang namanya playboy itu ibaratnya penyakit. Mau gimana pun, pasti bakalan keulang lagi. Maaf banget ya Bian, aku gak niat nolak kamu apa gimana. Tapi kayaknya kita cukup temenan aja deh, gak masalah kan?"     

Sebenarnya Moli takut kalau Bian marah dengan perkataannya saat ini. Namun mau bagaimana lagi? Ia memilih untuk jujur, daripada nanti kalau berpacaran dengan Bian, takut nanti batin akan menyerang mental dan fisiknya. Namanya juga cewek ambis dengan pelajaran, sangat anti dengan hal yang berbau dapat membuat nilai mata pelajaran dapat menurun.     

Tidak terdengar apapun dari seberang sana, bahkan sempat membuat Moli berpikir kalau kemungkinan besar panggilan telepon sudah mati. Namun, saat di periksa ternyata masih tersambung antara dirinya dengan Bian.     

"Oh lo maunya temenan doang?"     

"Iya, maaf banget ya."     

"Gak usah minta maaf. Kan emang udah jadi konsekuensi aja deketin lo, hei. Gue juga tau orang kayak lo gak bakalan bisa pacaran."     

"Kamu gak marah sama aku? Kan aku ini udah nolak kamu yang lagi deketin aku."     

Cemas? Tentu. Ia takutnya nanti malah Bian melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya karena sebagai bentuk tidak terima saat Moli menolak.     

"Lo udah makan belum, Moli? Pasti baru kelar belajar, iya kan? Makanya pesan gue baru lo baca, berapa jam tuh lo gak buka hp? Kuat ya cewek kayak lo natap buku berjam-jam, banyak cewek yang lebih suka natap ponsel tiada henti." Tak di sangka, ternyata Bian masih menaruh perhatian kepada Moli. Biasanya, kalau seorang cowok di tolak pasti langsung sadar diri dan pergi melangkah menjauh, sejauh mungkin.     

Moli mengerjapkan kedua bola mata, semakim merasa bersalah saat mengetahui kalau Bian ternyata tidak seburuk dengan apa yang ia bayangkan selama ini dan sampai saat ini.     

"Udah kok, aku udah makan tadi sarapan. Iya, enakan ngabisin banyak waktu buat natap buku. Kalau kelamaan natap layar ponsel, takutnya nanti matanya jadi minus loh." balasnya.     

Terdengar kekehan kecil yang terdengar berat di seberang sana. "Iya juga sih ya. Ya udah, jadinya lo mau jalan gak nih sama gue? Makan siang bareng gue, mungkin? Gue yang traktir,"     

"Emangnya ajakan jalan kamu masih berlaku? Makanya tadi chatan kamu gak aku balas, ya karena menurut aku kan udah lewat dari waktu saat kamu mengajak aku."     

"Emangnya gue itu lo? Gue mah gak masalah kali. Lo gak bisa pagi, gue bisa siang. Kalau lo gak bisa siang, ya gue bisa sore. Begitu seterusnya, kalau lo mau jalan-jalan pas waktu subuh bareng gue, gue juga bisa banget kok."     

Mendengar perkataan Bian membuat Moli sedikit menarik senyuman, ternyata memang benar kata pepatah yang mengatakan jangan menilai buku hanya dari sampulnya.     

Moli menganggukkan kepala dengan perlahan, malu-malu ia menjawab. "Boleh, jemput aku. Setengah jam aku selesai kok, kalau kamu udah sampai boleh langsung masuk aja tunggu aku di ruang tamu." balasnya sekaligus menyampaikan pesan.     

"Oke, gue siap-siap dulu. Gue matiin ya? Bye!"     

"Bye!"     

Pip     

Telepon terputus. Moli menurunkan ponsel yang menempel di daun telinganya itu, lalu menaruhnya di meja belajar.     

Ada sedikit rasa senang muncul di hati. Ah tidak, bukan sedikit, tapi lebih dari itu.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.