Elbara : Melts The Coldest Heart

Déjà Vu



Déjà Vu

0Berkat bujukan maut yang dilakukan Alvira kepadanya, terpaksa saat ini di jok belakang motor besar milik Bian di tempati oleh cewek itu. Tengah memeluk tubuhnya dengan erat dari belakang, katanya sih supaya aman dan tidak terbang karena memang cara berkendaranya yang agak suka ngebut dan menyalip kendaraan lainnya.     
0

"Kalau naik motor pelan-pelan sih, Bian. Nanti kalau kecelakaan, gimana?" ucap Alvira yang menaruh dagunya di pundak Bian supaya ucapannya terdengar oleh cowok tersebut dengan jelas supaya tidak ada pengulangan karena tidak kedengaran.     

Bian melirik wajah Alvira dari spion motor. "Lo doain apa gimana dah?" balasnya.     

Sumpah, kalau saja Alvira tadi saat di cafe tidak mengundang perhatian karena Bian menolak ajakan cewek itu untuk mengantarnya pulang. Pasti, saat ini Bian sudah pulang sendirian tanpa cewek itu yang menyebalkan.     

Bayangkan saja, bisa-bisanya berpura-pura nangis dengan sesegukkan sampai menarik perhatian banyak orang. Ketika ia mengiyakan, barulah cewek itu menghentikan tangisnya dan langsunh tersenyum lebar. Terlihat sekali kalau Alvira sedang ber-drama.     

Namun apa boleh buat? Daripada tadi alvira semakim menjadi-jadi, ia lebih baik memilih untuk mengiyakan saja.     

Sapuan angin membuat helaian rambut Alvira beterbangan, yap cewek ini tidak memakai helm untuk melindungi kepala. Bukan karena sengaja, namun Bian maupun dirinya tidak membawa helm yang bisa ia pakai.     

"Ya enggak nyumpahin sih, lebih tepatnya peringatan aja buar kamu gak bahaya banget ngendarainnya."     

"Ya kalau takut gak usah lagi-lagi minta tumpangan sama gue, ini yang terakhir kalinya."     

"Oke, gak janji ya! Soalnya Alvira masih mau sama Bian, makanya masih berharap kalau ini bukan tumpangan yang terakhir."     

"Sarap lo ah, gue masih banyak kerjaan buat dekatin Moli. Dunia gue bukan buat lo lagi asal lo tau, mantan gak pernah ada dua kali di kehidupan seseorang, Ra."     

Bian menyadari kalau perkataannya menyakitkan, tapi sungguh kalau dirinya ini sengaja karena supaya Alvira bisa memiliki pikiran kalau ia adalah mantan yang toxic.     

Di sisi Alvira, ia merasakan sakit ketika mendengar ucapan Bian barusan. Rasanya seperti di tikam ribuan silet yang mengenai permukaan hatinya, perih dan sangat sakit. Ia sadar kalau memang ia bukan lagi bagian dari kehidupan Rehan, namun bagaimana dirinya bisa lepas dari semua ini? Tidak bisa, ia tidak bisa melepaskan Bian walaupun ia masih sanggup merelakan.     

"Walaupun aku bukan dunia kamu lagi, tapi aku tetap berpikir kalau kamu masih jadi bagian dari dunia aku kok." Seakan kebal, ia berkata sambil menyunggingkan senyuman.     

Bian pun sudah kehabisan cara untuk membuat Alvira membencinya, namun sepertinya semua cara sudah menipis dan tidak ada yang berhasil. Sebelum ia kehilangan kontrol atas kalimat yang dikatakannya, Bian akhirnya memilih untuk bungkam dan mengiyakan saja apa yang dikatakan pada cewek yang berada tepat di belakangnya.     

Alvira memeluk Bian kuat-kuat, sama seperti dulu ketika mereka masih berpacaran. Dari di cafe tadi sampai pada detik ini, ia malah memiliki perasaan kalau Bian tengah memberikan kesempatan untuknya. Kalaupun nantinya ia salah tangkap dengan perlakuan Bian yang sudah pasti konsekuensinya hati kembali tersakiti, ia tidak apa-apa, sungguh.     

Kehangatan masih menjalar ke hatinya, bahkan ia mengusal di punggung Bian saking nyamannya walaupun hanya memeluk dari belakang.     

Ini adalah ketakutan terbesar Bian. Tentu saja ia tidak seperti Reza yang plin-plan dengan pilihan. Namun, yang ia takutkan hatinya bisa saja melemah dan menjadikan perbandingan cewek yang sedang dekat dengan Alvira seperti hubungannya yang kemarin-kemarin yang tidak pernah jelas dan bertahan lama.     

Dalam diam, beberapa kali Bian melirik ke kaca spion hanya ingin melihat wajah Alvira yang bahagia. Ia tau kalau kekalutan cewek tersebut akhir-akhir ini membuatnya tidak memiliki peneman, dominan sendirian. Bahkan, El-pun terlihat menjauhkan adiknya sendiri. Ia menjadi memiliki keinginan untuk kembali, menjalankan tugas yang belum sempat terselesaikan.     

Sepanjang Bian mengenal Alvira, ia tidak pernah melihat cewek itu berada di posisi sendirian. Jikau sendirian, pasti memiliki Bian dan El.     

"Bian pernah kangen gak sih sama Vira? Maksudnya aku, kita kan mantanan yang jalin banyak kenangan bahagia. Kira-kira, pernah gak kamu bayangin kalau kita kembali bersama?"     

Bian membeku, ia seperti kehilangan kata-kata. Menghembuskan napas, ia barusan memikirkan kalau dirinya kembali bersama dengan Alvira. Namanya juga harus membuat mantan menjauh, tentu yang ia lakukan saat ini yaitu menggelengkan kepala. "Enggak, ngapain juga ngulang hal yang sama buat kedua kalinya? Yang udah retak itu gak bisa di satuin lagi, Ra. Kalaupun bisa, gak sama."     

"Tapi—"     

"Gue lebih milih orang baru daripada jalin hubungan yang sama lagi dengan mantan, ibaratnya tuh menunda perpisahan yang udah tau ujung-ujungnya pasti bakalan pisah lagi."     

Alvira cukup mencerna apa yang dikatakan oleh Bian, ia menganggukkan kepala seolah mengerti. Ya berharap kalau hatinya mengerti, namun ternyata terlalu kebal sehingga tidak merasakan apapun lagi pada saat ini. Hanya sakit, namun berusaha untuk selalu di netralisir.     

"Oke, aku anggep itu sebagai penyemangat. Jangan putus asa, jangan menyerah." ucap Alvira.     

Bian tidak habis pikir, lalu menghembuskan napas. "Gue gak mau lo terlalu sakit gara-gara gue doang yang gak sebanding, lo mending cari cowok lain deh jangan gue mulu yang lo kejar-kejar."     

"Gak ada cowok lain kalau di dunia ini masih ada kamu, Bian." balas Alvira.     

"Ih mantan gue gila dah." gumam Bian, sudah buntu juga pikirannya. Jadi, terserah Alvira saja deh sekarang daripada ia pusing karena menentang perkataan cewek tersebut.     

Ternyata, gumam-an Bian di dengar oleh Alvira menjadikan ia menganggukkan kepala untuk membenarkan. "Iya aku gila, tergila-gila sama seorang Bian. Ya masih sama kayak Alvira yang dulu, kan emang gak pernah berubah."     

"Lagian juga lo kan udah gue sakitin, nyerah aja." ucap Bian yang seperti ingin mendobrak pertahanan Alvira agar cewek itu benar-benar menjauhinya.     

Alvira justru terkekeh, lalu menempatkan kepala di pundak Bian. Menutup mata untuk merasakan sapuan angin. Langit jingga menjadi saksi kalau Alvira masih mengharapkan cowok yang saat ini sedang ia peluk.     

"Menurut Vira, rasanya masih sama kayak dulu. Bedanya, kamu mulai kayak Kak Bara yang dingin banget terus gak tersentuh."     

Setelah mengatakan itu, Alvira seolah tengah menurup telinga agar apa yang dikatakan oleh Bian tidak terdengar lagi olehnya.     

Bian menyerah, ia membiarkan Alvira yang mungkin memilih untuk terlelap karena kondisi jalanan yang macet juga perjalanan masih menunjukkan beberapa menit untuk sampai di rumah cewek tersebut.     

Sampai pada akhirnya, Bian menghentikan motor karena lampu merah. Ia menurunkan kedua kakinya sebagai sanggahan, lalu menatap kaca spion yang menampilkan wajah Alvira yang terlelap dengan raut wajah damai.     

"Nyusahin mulu lo jadi orang." Namun tak ayal, ia meraih tangan Alvira yang melemah di pelukannya dan menahan dengan satu tangan agar tidak terjatuh.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.