Elbara : Melts The Coldest Heart

Memiliki Sandaran



Memiliki Sandaran

0"Tadi kan Alvira kesini, kalian tau?"     
0

Nusa dan ketiga cowok yang datang karena pintanya itu kini pindang ke ruang televisi, tengah menonton Netflix bersama-sama sambil menikmati potongan pizza yang dupesan atas kemauan Mario.     

Dan ketiga cowok itu pun langsung menolehkan kepala ke arah Nusa dengan raut wajah yang penasaran, terutama El yang tampak meminta penjelasan lebih lanjut. Ya, memang dirinya lah yang menyuruh Alvira untuk datang dan meminta maaf, namun tak menyangka kalau adiknya itu langsung melaksanakannya.     

Nusa menanggukkan kepala. "Iya, tadi dia kesini terus bawa bingkisan buat aku. Dia minta maaf mengenai sifatnya sama aku," ucapnya yang menjelaskan secara garis merah kesimpulan.     

Mario terkekeh kecil. "Dia tuh emang kayak gitu, dari dulu. Sebenernya dia nyadar kalau kata-katanya gak baik, tapi gimana ya… kayaknya dia kalau marah pasti ngundang kalimat sarkas." ucapnya. Ia sangat tau Alvira, mungkin hampir mendengati El. Ia bisa menjadi teman cerita jika situasi di haruskan untuk serius.     

Mendengar itu, Reza menganggukkan kepala setuju dengan ucapan Mario. "Nan bener tuh, gue bukannya ngebela atau apa ya. Kita emang gak bisa selalu ngertiin sifat Alvira sedangkan dia gak pernah ngertiin sifat kita, tapi gimana pun dia juga naruh rasa bersalah tapi belum bisa damai sama keadaan dan akhirnya ego nutup buat minta maaf."     

Sebagai cowok yang pernah mendekari Alvira dan mereka hampir jadian, tentu saja Reza sudah fasih mengetahui sifat cewek itu. Ya mungkin keadaan saja yang sama sekali belum mendukung kebersamaan mereka.     

El menghembuskan napas, ia merasa lega ketiga mendengar hal ini. Ternyata, Alvira masih menjadi adiknya yang terbaik. Masih bisa menuruti perkataannya walaupun dalam jangka waktu lama karena ditunda-tunda. "Lo maafin?" tanyanya pada cewek yang tentu selalu berada di sampingnya.     

Mendengar pernyatan dan pertanyaan yang di keluarkan dari mulut ketiga cowok itu menjadikan Nusa sulit merespon satu persatu, jadi ia akan menjawab pertanyaan El saja. "Aku maafin. Tuhan aja selalu maafin hamba-Nya, sebesar apapun kesalahan mereka. Masa aku yang cuma manusia biasa gak bisa maafin?" jawabnya dengan mengulas senyuman manis.     

Hati Nusa sangat murni, mungkin murni seperti mutiara yang baru ditemukan. Menjadikan ia memiliki sifat baik hati dan juga tulus untuk menghadapi beragam masalah.     

El menjulurkan tangan, mengelus puncak kepala Nusa dengsan sangat lembut karena cewek itu adalah sumber panutan yang memang selalu membuatnya merasa bangga. Ia membawa kepala Nusa mendekatinya, lalu mengecup kening.     

Cup     

Bibir sexy seorang El mendarat di kening Nusa dengan pelan, namun terasa hangat. "Cewek gue kebanggaan gue."     

Reza dan Mario saling senggol, lalu bersorak heboh ketika mendengar apa yang dikatakan oleh El.     

"Auto lulus sekolah nikah dah." goda Reza sambil tertawa, ia memang seperti selalu sekokongkol dengan Mario, apapun, kapanpun, dan dimanapun situasinya.     

Mario tertawa. "Wah gila kalau nikah sih anaknya pasti kayak malaikat." ucapnya sambil berdecak kecil, menggeleng-gelengkan kepala karena tak bisa membayangkan hasil perpaduan El dan Nusa, pasti tiada tandingannya.     

Nusa terkekeh kecil, ia berpikir kalau Reza dan Mario ada-ada saja. "Kalian apaan sih, ngomongin nikah-nikahan. Kalian cari calonnya dulu, nanti kalau aku sama El ngadain resepsi, kan bisa bawa pasangan."     

Gantian, sekarang El yang tergelak tawa melihat wajah kecut Reza dan Mario. "Mampus lo di balikin omongannya sama cewek gue."     

Reza dan Mario kecut, setelah itu saling berpelukan ala cowok dan pura-pura dilanda sedih dengan derita kehidupan.     

"Gila, nasib jomblo gak ada bagus-bagusnya ya, Rio."     

"Iya, lo doang yang gak bagus, Za."     

"Gue tampar ya lo ngomong sembarangan, Rio."     

Akhirnya, Reza mendorong tubuh Mario yang berada di pelukannya. Sepertinya ia baru sadar kalau barusan nempel-nempel di tubuh sahabatnya yang terkadang memiliki otak miring.     

Nusa terkekeh, lagi dan lagi. Kalau ia tadi berpikiran dan menahan keinginan untuk tidak memanggil El ke rumah supaya menjadi peneman, mungkin saat ini hari-harinya sangat kosong.     

El menolehkan kepala ke arah Nusa, setelah itu menangkap ceweknya yang terkekeh namun pandangannya kosong. Ia mendekatkan wajah ke telinga Nusa, berniat untuk berbisik. "Lo mau ngomong pribadi? Yuk, ke halaman belakang." ucapnya yang memberikan tatapan penuh pengertian.     

Dari dingin seperti es, dan saat mencair bisa sehangat mentari. Perilaku yang tadinya tak peduli, menjadi sangat peduli dan pengertian.     

Nusa mendengar itu, ia merasakan perubahan El yang sangat menguntungkan baginya. Ia menganggukkan kepala dengan perlahan, setelah itu menghembuskan napas. "Boleh." Hatinya masih merasa berat jika apa yang dirasakan belum tersalurkan.     

Ketika memiliki masalah, yang ia butuhkan hanya pengertian, ketenangan, dan kasih sayang. Bukan ketidakpedulian, bukan di baliki marah, atau bukan ditinggal tanpa kasih. Semua cewek membutuhkan itu, bukan sebaliknya.     

Nusa merasa lengkap dan tenang kala mendapatkan penenang layaknya El. Cowok sempurna, melebihi apapun.     

El menganggukkan kepala, lalu menatap ke arah Reza dan Mario yang tengah berdebat seperti tiada hentinya. "Lo berdua, gue mau ke belakang dulu ya sama Nusa. Butuh sedikit privasi, lo sini aja." ucapnya sambil beranjak dari duduk dan mengambil tangan Nusa untuk membantu cewek itu berdiri dan kini sudja berdampingan dengannya.     

Mario memberikan ibu jari ke arah El. "Oke deh bos ku, hati-hati hilaf."     

Reza terkekeh. "Bukan hati-hati hilaf, tapi hilaf-nya hati-hati."     

Reza dan Mario tertawa. Sedangkan El hanya mendengus setelah itu membawa Nusa pergi dari sini dan mereka berjalan ke arah pintu belakang.     

Sesampainya di halaman belakang, Nusa memilih untuk duduk di kursi panjang yang ada di sana, di susul dengan El yang juga bersampingan dengannya.     

Udara memang agak terik, namun tertutupi dengan atap rumah.     

El menoleh ke Nusa, lalu menyerongkan tubuh agar bisa dengan leluasa mengobrol dengan cewek di sebelahnya. "Lo mau ngomong apa? Jangan di simpen sendirian, bilang sama gue. Kalau butuh samdaran, lo punya gue. Tapi kalau sumber kesedihan lo itu gue, gue bisa jadi obat. Bilang, lo ada masalah? Atau gue yang ada salah sama lo?" Ia takut kalau dirinya membuat kesalahan dan menjadikan Nusa sedih seperti ini tanpa ia sadari.     

Nusa menggelengkan kepala. Hei ini bukan tentang El, ini juga bukan tentang kisah percintaannya dengan cowok yang berada di sampingnya. Ini tentang keluarga, keluarga yang tak kunjung pulang dan menanyakan bagaimana kabarnya.     

"Bukan, El."     

"Terus apa? Cerita aja, gue bahkan belum tau alesan lo nyuruh gue kesini selain alesan kesepian. Pasti ada hal lain, ia kan?"     

Nusa menatap El, lama. Menguncu tatapan mereka satu sama lain, lalu menampilkan senyuman kecil.     

"Aku butuh pelukan,"     

Di saat itu juga, Nusa langsung memeluk tubuh dengan erat. Menyalurkan kesedihan dan rasa sesak yang bersarang di hati.     

Sekarang tidak perlu cemas lagi, ia memiliki sandaran dikala sedih.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.