Elbara : Melts The Coldest Heart

Belum Move On



Belum Move On

0Kini Alvira berada di kedai kopi. Ia menatap banyak sekali pengunjung yang datang. Banyak yang membawa teman, pasangan, bahkan mungkin suami istri. Sedangkan ia? Datang sendirian, tanpa adanya peneman.     
0

"Keliatan banget jomblonya aku kalau kayak gini. Alvira bergumam, tentu saja diiringi dengan hembusan napas dengan perlahan-lahan. Ia menatap kursi kosong, setidaknya masih banyak. Mungkin, cafe ini sudah mempertimbangkan kapasitas pengunjung, jadi menyediakan banyak kursi dan meja supaya tak kekurangan.     

Dominan, pengunjung cafe akan lebih lama menongkrong karena tempatnya jujur sangat asik untuk sekedar mengobrol dan membagi cerita satu sama lain.     

Alvira tidak pernah pergi kecuali dengan dirinya sendiri. Semenyedihkannya itu? Tentu saja. Ia tersenyum pahit, menyadari kenyataan yang sama sekali tidak mendukungnya.     

Ia ke tempat pemesanan, memesan americano dingin sambil memesan makanan. Ia sadar kalau di rumah makanannya terasa tidak enak, jadi lebih memilih untuk mengganjalnya. Memesan satu kopi, dan satu porsi club sandwich adalah pilihannya.     

Setelah memesan, Alvira bergerak ke samping untuk menunggu pesanan kopi-nya jadi.     

"Baik Kak, ini nomor meja Kakak. Silahkan di tunggu ya Kak, nanti di antar."     

Alvira meraih kopi pesanannya yang sudah di buatkan, lalu menganggukkan kepala karena club sandwich membutuhkan waktu untuk di buat. Ia menundurkan langkah, tangan kirinya memegang kopi dan tangan kanannya memegang nomor meja.     

"Enaknya duduk dimana, ya?"     

"Alvira!"     

Mendengar namanya di panggil, Alvira tentu menaikkan sebelah alisnya. Ia mencari sumber suara yang terdengar, lalu terkejut di saat melihat sesosok cowok yang berada di sudut ruangan. "Bian?" gumamnya.     

Tak ayal, langkah kaki Alvira mendekat ke arah Bian yang duduk manis di kursi. Bangku di hadapannya kosong, entah dia sendirian atau sedang menunggu seseorang.     

"Kok kamu disini?" tanya Alvira.     

Bian terkekeh kecil. "Duduk." ucapnya yang mempersilakan.     

Tidak ingin banyak bertanya karena kesannya masih sangat penasaran dengan Bian, menjadikan dirinya menganggukkan kepala lalu mendaratkan bokong di kursi yang berada di hadapan cowok itu. "Oke." Setelah duduk, mulai menatap barang-barangnya ke atas meja.     

"Harusnya gue yang tanya, kenapa lo kesini?" Bian menjawab, tapi ini sama sekali bukan jawaban.     

Alvira menghembuskan napas. Ia sebelumnya tidak menyangka kalau akan ada Bian di sini. Namun, disatu sisi memang cafe ini adalah tempat yang sejak dulu serinh mereka kunjungi. Entahlah, dulu saat masih bersama mereka sering kesini. Saat sudah pisah juga sempat beberapa kali bertemu dan tidak pernah menegur.     

"Ya emang gak boleh? Lagian ini tempat umum." balas Alvira dengan nada canggung, bahkan saat ini ia mengusap lengannya pertanda gugup.     

Bian mengangkat sedikit bahu, merasa tidak peduli juga sih dengan alasan Alvira kesini. "Sendirian aja lo? Tumben banget," ingat sekali lagi kalau ini hanyalah sekedar berbasa-basi.     

Alvira menatap Bian dengan sorot mata menerawang. "Bukannya aku emang selalu sendiri semenjak kepergian kamu?" gumamnya, ada kilatan penuh harap di kedua bola matanya.     

Bian merasakan kesedihan Alvira, namun berusaha untuk menepis. Lalu menggelengkan kepala. "Bukan, bukan itu maksud gue. Lo tumben sendirian gak ada El sama yang lain, pada kemana?"     

Runtuh sudah pertahanan untuk menyadarkan Bian kalau ia masih membutuhkannya. Alvira pun menaikkan kedua bahu. "Gak tau, di rumah Nusa, kali?" jawabnya, agak sungkan.     

Mengenai Nusa, ya Bian masih memiliki rasa pada cewek itu. Ia memanggil Alvira kesini untuk duduk bersamanya bukan karena ingin kembali dengan cewek itu, ya hanya untuk menemani dirinya saja yang disini sudah hampir setengah jam.     

Alvira menatap Bian, sangat dalam. Ia masih bisa mengingat seperti apa bahagianya mereka saat pertama kali kesini. Ia hanya bisa tersenyum simpul, merutuki nasib yang tidak pernah berpihak padanya. "Kamu sendiri? Tumben sendirian, kan udah punya Moli, kenapa gak di ajak jalan?"     

Mendengar itu, tentu saja Bian terkejut. Ia sama sekali tidak tau kalau Alvira mengetahui kedekatannya dengan Moli. Apa se-terlihat itu kedekatannya yang hanya baru sehari?     

"Oh dia, lagi belajar. Gak sempet jalan sama gue," jawabnya seolah-olah menatakan secara tersirat kalau benar adanya kalau ia sedang mendekati Moli. Padahal, hatinya sendiri saja masih ragu akan hal tersebut.     

Alvira menelan saliva dengan susah payah, dadanya terasa sesak kala mendengar jawaban Bian. "Gimana perasannya pas tau punya pacar yang pinter, hm? Pasti bisa belajar bareng nih buat kelulusan, seru banget."     

Bian hanya tersenyum kecil, biarlah Alvira berkata apa tapi sekarang ia tidak ingin membahas hal itu lebih lanjut. Ia meraih secangkir latte yang mungkin sudah dingin, lalu meminumnya. "Biasa aja." Sambil menaruh kembali cangkirnya di atas meja.     

Alvira pun menyeruput kopi dari sedotan, minum sambil menatap orang yang di suka adalah hal yang sangat mengasyikkan. Ia tersenyum kecil, merasa bahagia masih bisa menikmati kopi beraama dengan Bian setelah sekian lama cowok itu menghindar darinya. "Bian sayang sama Moli? Jangan di jadiin mainan ya, dia cewek yang baik." Ia berucap dengan dada yang seperti di hantam dengan beton.     

Bian yang ditanyakan seperti itu pun menelan ludahnya pahit-pahit, ini bukan karena kopi kok. Pertanyaan Alvira seolah tengah memastikan kalau saat ini dirinya tidak yakin ingin mendekatkan Moli.     

Melihat Bian yang diam saja membuat Alvira curiga lalu menaikkan sebelah alisnya, ia agak menatap cowok itu dengan kedua mata yang menyipit. "Lo gak apa-apa? Kok diem aja? Gue kan nanya."     

"Ya emang mau gue jawab gimana?" tanya Bian.     

"Ya apa kek, kebahagiaan lo sama Moli gitu." ucap Alvira, sebenarnya penasaran juga kalau Bian kerap kali memainkan hati cewek. Setiap cewek yang di dekati pasti tidak akan berhatan lama, bahkan sering sekali menjalankan hubungan tanpa status.     

Bian menghembuskan napas, merasa kalau Alvira mungkin tengah memancingnya. "Bawel lo ah, gue ngajak lo duduk bareng gue bukan buat di tanya-tanya kayak gini."     

"Tapi kan aku perlu tau perkembangan percintaan kamu, kali aja masih ada bagian hati yang stuck sama aku."     

"Ngarep mulu kerjaan lo, nanti jatoh nangis."     

"Gak apa-apa, selagi aku nangis buat kamu mah aku masih rela banget, Bian."     

"Dih sarap lo, cepet-cepet deh cari cowok pengganti gue. Soalnya, lo serem banget."     

Alvira terkekek kecil, lalu menjadikan tangannya sebagai tumpuan kepala. Menatap Bian tanpa kedip, setelah itu tersenyum. "Kamu masih ganteng loh, tapi bukan gantengnya aku lagi."     

"Kalau belum move on, mending jauh-jauh aja deh dari gue, Ra." respon Bian sambil memutar bola matanya. Namun, ia sama sekali tidak menyesal mengenai dirinya yang memanggil Alvira untuk dekat dan duduk bersamanya.     

Alvira menyembunyikan senyuman. Ia tetap menatap Bian walaupun cowok itu kini tengah melengos supaya tidak menatap ke arahnya.     

"Kalau aku cuma satu-satunya jalan pulang kamu, pulangnya jangan kelamaan, aku kangen."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.