Elbara : Melts The Coldest Heart

Meminta Maaf



Meminta Maaf

0Alvira ragu, ia rasa tidak perlu meminta maaf, mungkin? Namun bodohnya, saat ini dia sudah berdiri di gerbang rumah milik Nusa yang menjulang tinggi. Menjadikan ia merutuki nasib kenapa datang langsung ke sini.     
0

Tidak, ini bukan keinginannya. El mengancam tidak akan berbaikan dengannya karena minta maaf melalui media chat, cowok itu ingin dirinya langsung bertemu dengan Nusa.     

Dan voala, kini ia berada di rumah cewek itu.     

"Ya udah deh, demi hidup aku yang kembali damai." ucapnya sambil menghembuskan napas dengan perlahan, masih merasa terlalu kebingungan karena ia pernah menunjukkan sifat tidak baik kepada Nusa, alias ia tidak tau ingin mengatakan apa sebagai basa basi.     

"Tenang, Vira. Ini bukan ujian masuk ke kampus, ini cuma perihal meminta maaf dan di maafkan."     

Akhirnya, setelah sedikit mereka tenang, ia langsung masuk ke pekarangan rumah Nusa yang memang gerbangnya tidak di gembok.     

Kakinya berjalan, menginjak rerumputan halaman rumah Nusa yang sedikit luas. Kakinya yang mengenakkan sneakers sebagai alas kaki pun tempak ragu melangkah, namun tak punya pilihan lainnya.     

Entah ada CCTV yang sedang mengintainya atau tidak, tapi terlepas dari semua itu menjadikan peluh terlihat di pelipisnya, bulir-bulir kecil.     

"Gila, kayak seratus kali lari lapangan sekolah alias deg-degan banget."     

El memang selalu mengajarkan Alvira untuk meminta maaf jika memiliki kesalahan. Namun baginya, apa yang ia lakukan kepada Nusa itu bukanlah kesalahan. Sepertinya ia harus mengurang-ngurangi pemikiran yang seperti itu karena bisa menghancurkan.     

Sampai pada akhirnya, langkah Alvira terhenti tepat di teras rumah Nusa. Ia menatap pintu yang berukuran biasa, tidak menjulang tinggi seperti miliknya. Oke, ini bukanlah ajang pembedaan.     

"Harusnya kesininta nanti aja nih pas ada Kak Bara, kalau begini kan Vira malu banget."     

Menolehkan kepala ke belakang, lalu tidak menemukan kendaraan apapun yang terparkir, halaman rumah Nusa bersih. Berarti, pertanda El, Reza, dan Mario pasti belum kesini.     

Membayangkan bagaimana atmosfer saat dirinya hajya berdua dengan Nusa, pasti sangat canggung. Hal ini tidak berlaku ketika dulu mengobrol di halte sekolah, karena itu sudah lama sekali. Apalagi, kini ia yang memulai perang. Jangan di tanyakan lagi, sudah seharusnya diantara mereka muncul suasana yang awkward.     

Akhirnya, memunculkan keberanian. Setelah itu, mengepalkan tangan dan melayangkan ke udara. Kekumpul sudah keberanian, ia mengetuk pintu yang berada di hadapannya.     

Tok     

Tok     

Tok     

Suara ketukan pintu sangat ciri khas, menjadikan siapapun tau pasti ada seseorang yang berkunjung. Mungkin sekitar dua menit, pintu mulai terbuka dan menampilkan keadaan Nusa yang memakai kaos tanpa lengan, celana pendek ketat, juga peluh dimana-mana seperti mandi keringat.     

"Eh Alvira?" gumamnya yang terkesiap, lalu langsung membuka pintu lebar-lebar seperti mempersilakan cewek itu masuk.     

Alvira menatap Nusa dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu menatap wajah natural yang tampak sedang mengerjakan sesuatu. "Kakak lagi ngapain?" tanyanya, penasaran.     

Mendengar itu, Nusa menunjuk ke dalam rumah. "Itu aku lagi ngepel, perasaan rumah gak gede-gede banget, tapi nge-pel capek banget." balasnya sambil mengusap peluh dengan tangannya.     

Alvira menganggukkan kepala dengan paham, walaupun tidak tau seberapa capek yang dirasakan oleh Nusa. Ya, ia sama sekali tidak pernah merasakannya. Sebagai anak dari seorang Adalard, ia tumbuh tanpa pernah menyentuh pekerjaan rumah sedikitpun. Segalanya sudah siap karena memilihi ART di rumah.     

"Oalah, minum dulu Kak, kayaknya haus banget."     

"Iya ini niatnya mau buat minum sih, udah kelar juga ngepel-nya."     

Nusa mempersilakan Alvira masuk, ia tersenyum hangat setelah menutup kembali pintunya. Sebelum masuk lebih dalam, tentu saja Alvira sudah melepaskan alas kakinya supaya tak kotor dan kini ia bertelanjang kaki.     

"Duduk dulu, aku buatin minum." ucap Nusa.     

Mendengar itu, Alvira menganggukkan kepala dengan kaku. Lalu, mendaratkan bokong di atas sofa yang empuk. Ia melihat Nusa yang mulai berjalan menjauhi dirinya, merasa lega.     

"Ih ini udara pada kemana sih? Kok aku susah napas, minta maaf aja grogi banget padahal udah sering." gumamnya.     

Tidak, ini bukan mengenai hawa rumah Nusa yang panas atau apapun itu. Tapi ini mengenai ia yang mungkin sudah menyadari kesalahannya sehingga merasa malu jika ingin meminta maaf, saking besarnya kesalahan yang ia buat.     

Menatap ke sekeliling rumah, ia melihat nuansa rumah yang benar-benar memanjakan mata, perpaduan modern namun minimalis. Terlihat berderet foto keluarga, yang ia kenal hanya Nusa dan Rehan saja. Selebihnya, ia tidak kenal karena tidak pernah melihat.     

"Mungkin Dad dan Mom-nya Nusa, nanti aku akan bertanya kalau sempat."     

Jangankan bertanya siapa saja orang-orang yang ada di foto ruang keluarga rumah Nusa saat ini, bertanya apakah Nusa akan memaafkan dirinya saja belum tentu lancar, iya kan?     

Beralih dari foto yang terpajang, ia melihat ke arah lantai dua rumah. Mungkin di sana letak kamar Nusa dan juga Rehan. Rumah ini memang tidak besar, sungguh. Namun penempatan barang-barang yang pandai, menjadikan ruangan terlihat seperti besar.     

"Keren juga, ya oke lah ya bisa tepuk tangan buat arsiteknya."     

Entah ini adalah pengalihan perasaan gugup di hati atau bagaimana, tapi Alvira sudah di pastikan kalau ia sedang membuat hatinya jauh terasa lebih tenang.     

"Maaf ya agak lama, terus di rumah Nusa juga cuma ada jus jeruk kemasan."     

Suara ciri khas Nusa pun terdengar, membuat Alvira menolehkan kepala ke sumber suara. Ia melihat Nusa yang membawa gelas di kedua tangannya, lalu mendaratkan bokong di sofa yang berbeda dengannya, mereka saling berhadapan satu sama lain.     

Alvira menganggukkan kepala, toh di rumahnya juga sama saja, pasti yang praktis adalah jus kemasan. "Gak masalah, Kak."     

Mereka berdua saling tatap, namun Alvira memutuskan pandangan mereka dan meraih gelas yang dibuatkan untuknya. Meneguk dengan perlahan, sedangkan Nusa juga meminumnya dan langsung habis setengah gelas.     

"Ah, seger banget." ucap Nusa sambil menaruh kembali gelas di meja, lalu menatap Alvira. "Kamu tumben kesini, tau juga rumah aku. Kesini sama siapa? Kalau sendirian, naik apa? Soalnya aku gak liat ada kendaraan." sambungnya sambil bertanya dengan berbondong-bondong.     

Mendengar itu, Alvira meringis lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, gerakan refleks. "Aku gak bisa jawab pertanyaan Kakak satu-satu, tapi aku kesini mau ngomong sama Kak Nusa." ucapnya, mungkin ia sudah meneguhkan hati supaya berbicara dengan lancar.     

Nusa menganggukkan kepala, penasaran dengan tujuan Alvira. "Oke, tentang apa nih?" Hatinya berkata tentang El, ia menjadi takut dan cemas.     

Alvira mengangkat paper bag yang tadi ia taruh di lantai, lalu di letakkan di atas meja. "Aku ada hadiah buat Kak Nusa, aku minta maaf sama perlakuan dan segala ucapan aku yang nyakitin Kakak. Vira janji gak akan bersikap kasar lagi, aku mau kita baikan dan berteman seakan Kak Nusa itu adalah Kakak ipar aku."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.