Elbara : Melts The Coldest Heart

Indahnya Masa PDKT



Indahnya Masa PDKT

0"Ini jadi hak lo mau percaya atau gak, tapi satu yang harus lo tau. Lo cewek pertama yang gue bawa ke sini,"     
0

Saat mendengar apa yang dikatakan oleh Bian, Moli benar-benar tidak tau apa yang dirinya katakan sebagai respon. Ia mengerjapkan kedua bola mata, setelah itu menghembuskannya dengan perlahan.     

"Permisi Kak, ini pesanannya."     

Sebelum Nusa membalas ucapan Bian, sangat beruntung karena seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawa nampan yang berisikan makanan yang mereka pesan.     

"Silahkan di nikmati." sambung sang pelayan yang sudah menata rapi menu makan pesanan sang pelanggan agar nyaman menikmati hidangan.     

Menganggukkan kepala, Moli dan Bian lagi-lagi mengucapkan terimakasih secara bersamaan.     

Moli terbebas dari segala ucapan Bian yang tentu saja mampu seperti menghipnotis hatinya dan menyadari adanya ribuan kupu-kupu yang beterbangan di rongga dada.     

Bian pun terkekeh saja kala melihat kedua pipi Moli yang bersemu merah. "Selamat makan." ucapnya sambil menarik piring berisikan corndog dan kentang goreng yang diletakkan dalam satu alat makan.     

Moli pun juga sama, ia memilih untuk makan corndog lebih dulu. Menggigit makanan tersebut, dan menariknya sehingga terlihat mozarella yang terjulur meleleh sepanjang dirinya menarik. "Help."     

Mendengar itu, Bian terkekeh. Di masing-masing meja, telah di sediakan gunting plastik. Satu meja —berisikan dua orang— akan di berikan satu pisau plastik baru yang masih berada dalam kemasan, jadi tidak perlu khawatir itu belas orang lain.     

Ia mengambil gunting dan membuka dari plastiknya dengan cepat, lalu membantu Moli untuk memotong mozarella yang kelewat panjang karena terlihat masih panas.     

"Duh kasian, udah tau masih panas. Lo baik-baik aja?" tanya Bian yang setelah mozarella itu terpotong dan ujungnya terjatuh ke piring, ia menatap cewek di hadapannya sambil terkekeh kecil namun tatapannya tetap peduli.     

Moli menggelengkan kepala, ya walaupun agak berbohong karena rongga mulutnya melepuh sih. "Gak kok, makasih ya." ucapnya, gengsi mengatakan panas.     

Karena tau corndog-nya masih agak panas, Bian lebih memilih untuk mengambil satu buah kentang goreng dan di berikan saus sambal juga ada mayonaise-nya.     

Moli seakan menatap wajah Bian tanpa kedip, namun mulutnya masih setia mengunyah dengan perlahan-lahan.     

"Ngapa lo?" tegur Bian, tadinya ingin memfokuskan pandangan pada layar ponsel malah menjadi melihat Moli yang tanpa mengalihkan pandangan tetap mengunci tatapan ke arahnya.     

Moli menggelengkan kepala dengan perlahan. "Selamat makan juga, Bian."     

Mungkin, hari-hari kaku Moli setelah bertemu dengan Bian akan musnah.     

…     

Hari sudah ingin berganti menjadi gelap, hembusan angin pun terasa berbeda, jauh lebih dingin daripada sebelumnya.     

Sudah satu jam berada di cafe, makanan mereka pun masing-masing habis tanpa tersisa.     

"Lo mau pulang apa jalan-jalan dulu, Li?"     

Bian menatap Moli dengan kedua mata yang lekat, setelah memakai hand sanitizer di tangannya, ia bersiap untuk keluar cafe dan kembali membelah jalan raya.     

Moli yang selesai menyampirkan tas di bahu pun mendongak, tatapannya bertabrakan dengan manik mata milik Bian. "Pulang aja, udah mau malem." balasnya. "Aku harus belajar buat besok,"     

Mendengar itu, Bian menaikkan sebelah alisnya. "Emang besok ada apaan? Ulangan harian apa gimana? Atau cuma PR doang?" tanyanya.     

Sejujurnya, ia tidak pernah berpacaran dengan orang yang ambis dengan pelajaran. Tidak pernah berkencan dengan cewek yang ingin cepat-cepat pulang ke rumah karena ingin belajar. Biasanya, para cewek yang sedang dekatnya akan lebih suka berlama-lama di luar rumah karena ingin menghabiskam waktu bersama.     

Moli menggaruk lengannya yang tidak gatal, sebenarnya ia juga merasa aneh kenapa Bian menanyakan hal itu padanya? Padahal kan belajar adalah kebutuhan para murid, kapan pun dan dimana pun.     

"Besok gak ada ulangan harian, gak ada apa-apa juga. Ya… cuma pelajaran biasa. Biar kalau guru jelasin pelajaran, aku udah ngerti walaupun belum seratus persen."     

"Gila, otak apa mesin kereta? Gak ada berentinya gitu? Emangnya gak cape?"     

Moli tertawa kala mendengar pertanyaan Bian, lalu ia menggelengkan kepala dengan perlahan. "Gak ada, belajar tuh udah jadi bagian dalam hidup aku. Kamu hobinya apa?"     

"Main basket lah, gak perlu di tanya juga kayaknya lo tuh tau banget asli."     

"Nah, kamu bergantung gak sama main basket?"     

"Gak tuh, biasa aja." balas Bian sambil terkekeh, karena ia tau kalau Moli akan mengatakan hal yang mendukung kegiatannya yang sangat suka sekali belajar.     

Moli menekuk senyuman. "Ish, au ah, terserah kamu." ucapnya seolah kehilangan suasana hati, lalu melengos ke lain arah agar tidak melihat wajah Bian yang terlihat menahan tawa.     

Bian pun berdehem. "Oke-oke, serius. Kadang gue bergantung sama basket, emangnya kenapa?" ucapnya yang seperti meralat perkataan.     

"Nah sama kayak hobi Bian yang main basket, terus setelah itu bergantung. Hobi aku ya belajar, dimana aku juga bergantung sama pelajaran."     

"Aneh lo, kutu buku akut."     

"Tapi kamu jujur deh, belum pernah kan deketin cewek yang kayak aku?"     

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, menjadikan Bian menganggukkan kepala, tentu dirinya ini harus jujur. "Belum. Karena ya sebelumnya gue tuh gak minat, asal lo tau. Gue lebih suka sama cewek yang gimana ya bilangnya? Yang bukan kayak lo deh pokoknya."     

"Nah jadi gak boleh kaget pas kamu deketin kutu buku kayak aku, ya karena emang aku begini adanya."     

"Oh jadi ini ceritanya kayak terima apa adanya, begitu kan?"     

Bian dan Moli tertawa bersama, menertawakan diri mereka masing-masing seperti dengan konyolnya.     

Tentu, mereka tak ayal menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang juga berada di cafe ini. Tapi, hal itu tidak masalah karena mereka tidak tau perasaan senang yang kini dirasakan oleh kedua insan yang satu ini.     

"Udah ah, kamu malah ngajak ngobrol lagi. Kapan pulangnya ini?" tegur Moli yang meredakan tawa, mengambil napas lalu menghembuskan dengan perlahan-lahan.     

Bian menganggukkan kepala, menyetujui apa yang dikatakan oleh Moli mengenai dirinya yang malah memperpanjang pembicaraan mereka.     

Akhirnya, mereka berdua beranjak dari duduk tanpa ada barang satu pun yang tertinggal karena Moli begitu teliti memeriksa meja makan bahkan kolong meja dan kursi pun diperiksa untuk memastikan tidak ada yang terlewat.     

"Abis lo pulang, gue gak chat lo ya." ucap Bian, sebelum melangkahkan kaki untuk keluar dari cafe.     

Moli menaikkan sebelah alisnya. "Emang kenapa?"     

"Mau tidur." jawab Bian.     

Sebenarnya sih Moli tidak percaya kau Bian tidur di jam-jam yang masih terbilang sore, namun ia lebih memilih untuk mengubur pertanyaan yang ada di benaknya. Karena, ia belum menjadi siapa-siapa di dalam kehidupan Bian. Jadi, tak berhal bertanya terlalu jauh.     

"Ayo." Dan bian mengajak Moli berjalan keluar cafe dengan tangan yang dilingkarkan ke pinggang ramping cewek tersebut.     

Sedangkan disisi lain Reza melihat semua itu dengan jelas, lalu menghembuskan napas dengan perlahan.     

"Sini gue aja yang peluk pinggang lo kayak Bian." tawar Mario, tatapannya selayaknya om-om.     

Mendengar itu, Reza menepis tangan Mario yang ingin meraih tubuhnya. "Lo nyentuh gue, gue siram kopi ya lo."     

Indahnya masa PDKT pada remaja.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.