Elbara : Melts The Coldest Heart

Memutuskan Untuk Beristirahat



Memutuskan Untuk Beristirahat

0Reza keluar dari kamar Alvira, tanpa banyak berbicara lagi dengan cewek itu. Dalam hati, ia sebenarnya sih ingin bertanya mengenai perbedaan setiap merk benda yang dibelinya di minimarket. Namun, ternyata ego menguasai dirinya dan akhirnya memilih untuk pergi.     
0

"Tuh kan dugaan gue, lo beli sesuatu buat Alvira. Apaan tuh? Coklat, ya? Pantesan aja gak bilang-bilang gue, pasti takut gue minta."     

Reza cukup terkejut dengan kehadiran Mario yang tiba-tiba, ternyata sahabatnya yang satu itu tengah menyilangkan kedua tangan di depan dada, menunggu kedatangannya di depan pintu kamar El. "Ngapain lo disitu? Persis banget kayak hansip lagi jaga, alias lo kurang kerjaan nungguin gue." responnya.     

Setelah sampai di dekat Mario, Reza langsung saja sedikit mendorong tubuh cowok tersebut agar tidak terus menerus menempeli tubuhnya. Ia memilih untuk masuk ke dalam kamar El tanpa menjawab apa yang dikatakan oleh sahabatnya.     

"Za, dih gue tanyain masa gak di jawab sih? Medit banget lo ngasih tau hubungan lo sama Alvira, udah baikan apa gimana?"     

Ternyata, Mario mengekori langkah Reza, mendekati cowok yang sudah duduk di lantai dan berhadapan dengan stik PS, setelah ia menutup kembali pintu kamar karena memakai AC yang memang tidak diperkenankan membuka pintu kamar lebar-lebar.     

Reza melepaskan jaket yang berada di tubuh, lalu melemparnya ke atas kasur. Biar saja berantakan, memang kan ini adalah kebiasaannya dan Mario yang membuat kamar El menjadi terlihat kapal pecah alias benar-benar berantakan.     

"Gak tau, gue ngerasa udah gak ada hubungan."     

"Itu kan cuma perasaan. Coba mikir jangan pakai perasaan, tapi pakai kenyataan. Kenyataannya, lo masih peduli sama Alvira. Sok-sok-an mau move on, sekali di senggol aja langsung di respon."     

Seperti tertampar dengan perkataan Mario saat ini, Reza pun sampai terbungkam di buatnya. Ia lebih memilih untuk diam, seperti tidak mampu berkata-kata karena apa yang diucapkan sahabatnya mengandung 100% kebenaran.     

"Diem kan lo? Orang mah sadar, Za. Lo udah buat keputusan, dan gue yakin kok keputusan lo bener. Alvira bukan cewek yang tepat buat lo, masih banyak kali cewek di luaran sana." ucap Mario lagi, kali ini ia sudah mendaratkan bokong tepat di samping Reza yang hanya menunduk sambil menatapi stik PS seperti tanpa minat.     

"Tuhan baik, berarti nunjukin lo kalau Alvira bukan cewek yang pantes lo perjuangin. Bagus dong kalau Tuhan ngasih tau lo di awal, daripada ngasih tau di akhir yang buat rasa sakitnya berkali-kali lipat, iya gak sih?"     

Merasa seperti di kacangin, Mario menghembuskan napas lalu tertawa saat mengingat apa yang barusan ia katakan. "Gila, gue keren banget kali ya kalau jadi pakar cinta? Gak sia-sia sih gue punya bakat peka, jadi tau banget setiap perasaan orang-orang."     

Reza menyimak. Mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Mario seolah-olah cowok tersebut adalah kaset rusak yang di putar terus menerus sehingga berbicara banyak hal tanpa kenal dengan rasa lelah.     

"Bacot banget ya orang." komentar Reza sambil meraih botol minum yang memang sudah di sediakan oleh Mario. Botol tersebut sudah berkeringat, dan berarti suhu-nya sudah tidak terlalu dingin lagi. Ia meneguk minuman tersebut, sampai dinding tenggorokkannya terasa di basahi dengan segar.     

Mario terkekeh. "Najis lo ah, gue nasehatin malah kayak gitu. Orang nih ya kalau di nasehatin itu dengerin baik-baik, gue sebagai pihak yang ngerasa keluarin effort biar kata-kata gue ngena, ngerasa gak di hargain."     

"Lo mau di hargain berapa?"     

"Sial, gue malah keliatan kayak jualan."     

Reza hanya mendengus, tiba-tiba ia beranjak dari duduknya. "Ih gue gak mood main game, lo aja sendirian. Gue mau tiduran," ucapnya yang berjalan mendekat kasur lalu membanting tubuhnya di atas benda yang empuk itu.     

Mario mendengus, seperti ingin melempari Reza dengan banyak sofa. Namun, karena melihat kondisi cowok tersebut, ia menjadi mengurungkan niatnya tersebut dan menahan diri agar tidak kepepasan menimpuk sahabatnya.     

"Lan anjir, daritadi gue udah maen sendirian. Gue tadi di ruang tamu nungguin lo balik, males di kamar sendirian. Lah, lo balik ternyata sama aja gue malah di suruh main sendiri najis."     

"Gue lagi males, Rio. Gak ada selera,"     

"Kayak cewek aja lo. Oh iya ups, kan habis dilema sama adiknya El."     

Mendengar ucapan Mario yang seperti meledek, menjadikan Reza semakin membawa tubuhnya ke tengah kasur lalu menarik selimut. "Gua tidur aja ah, emang udah nasib lo sendiri, Rio." ucapnya sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya sampai leher.     

Mario mengumpat kasar dalam hati. Bukan berarti dirinya jomblo, apa-apa itu dirinya sendiri, iya kan?     

"Sialan lo pada. El tidur, lo tidur, terus gua ngapain ini? Kayak orang gak punya temen,"     

"Ya ngapain kek, ngelakuin hal bermanfaat. Misalnya main game sendiri sana kan bermanfaat melatih otot-otot jari lo biar bisa kalahin gue."     

"Lo ngasih saran, tapi lo juga sombong ya minta di tampar."     

Reza hanya terkekeh, setelah itu memilih untuk tidak menanggapi Mario. Izinnya sih memang ingin tidur, namun kini tangannya sudah memegang ponsel dan matanya melihat ke arah layar benda pipih tersebut.     

Mungkin mulutnya berkata ingin tertidur, tapi pada akhirnya mata masih ingin terbuka dengan perasaan aneh yang saat ini menyarang di hati.     

Untungnya, ponsel dalam mode silent. Jadi, Mario tidak tau kalau sebenarnya ia belum tertidur, kini juga ia sudah menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhnya.     

Satu yang ia lakukan. Melihat-lihat fotonya bersama dengan Alvira yang di ambil oleh cewek tersebut. Di sana, di foto yang tengah ia pandangi, terlihat dua insan yang tengah tersenyum ke arah kamera dan juga ada yang menampilkan berbagai macam gaya.     

Entah mengapa, hatinya menghangat. Menjadikan Reza merasakan dadanya yang sesak, lalu menghembuskan napas dengan perlahan-lahan.     

Tidak ada rasa penyesalan karena menjauhi Alvira, tidak ada juga rasa ingin kembali bersama dengan cewek tersebut. Namun hatinya yang munafik, kalau ia masih memiliki perasaan yang sama.     

"Mendingan gue tidur deh, gak guna juga." Akhirnya, ia bergumam sangat pelan sehingga mungkin tidak ada yang bisa mendengar selain dirinya saat ini.     

Ia mematikan ponsel, lalu menaruh tepat di sampingnya. Tak lupa, ia menurunkan selimut yang menutupi wajah agar bisa menapas. Langit-langit kamar El terlihat, lalu ia menghembuskan napas lagi untuk yang kesekian kali.     

"Kasian banget punya temen. Udah PDKT-an, gak jadi pacaran gara-gara ceweknya masih punya perasaan sama mantan. Kalau gue bisa donasi hati mah gue kasih deh, biar bisa tukeran gitu. Asik, sok banget gue."     

Yang Reza dengar hanya ucapan random Mario. Lalu, dengan perlahan ia menutup mata untuk istirahat dari segala rasa penat.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.