Elbara : Melts The Coldest Heart

Perhatian, Takut Kehilangan



Perhatian, Takut Kehilangan

0Setelah selesai makan, seperti janjinya kepada El, Nusa langsung pulang ke rumah tanpa adanya embel-embel mampir ke tempat lain.     
0

Kini, ia sudah berdiri di depan pintu gerbang halaman rumahnya. Menatap cowok yang masih memakai helm, namun sudah menurunkan kaca-nya agar dapat berkomunikasi secara bebas.     

"Makasih ya, Bian. Udah anter aku sampai rumah," ucap Nusa sambil memberikan senyuman tipis kepada cowok tersebut.     

Bian menganggukkan kepalanya. "Anggep aja gue janji ke El buat pulangin lo dengan selamat, btw gue yang makasih banget buat saran-saran dan nasehat dari lo."     

Nusa juga tau mengenai Bian yang sudah di hubungi oleh Moli secara mendadak. Jadi, ia juga merasa senang karena pada akhirnya Bian bisa dekat dengan cewek tanpa harus membuat El waspada kalau cowok itu suka kepadanya.     

"Maaf ya aku gak bisa nawarin kamu minum, gak enak soalnya gak ada siapa-siapa di rumah. Kalau berduaan doang, gak enak di liat tetangga." ucapnya sambil menggaruk lengan, merasa tidak enak.     

Tentu saja sebagai seorang cowok, Bian mengerti. Ia menggelengkan kepala dengan perlahan. "Gak usah minta maaf, Sa. Gue mah santai aja, lagian juga gue mau balik nih mau langsung tidur." ucapnya, lalu di detik selanjutnya ia menguap kantuk.     

"Oke, kalau begitu hati-hati di jalan ya." ucap Nusa yang memberikan senyuman lagi, tidak pernah pudar sedikitpun.     

Bian menganggukkan kepala, lalu memberikan senyuman juga walaupun tidak terlihat karena tertutup helm. "Oke, gue balik dulu ya. See you dua hari lagi," ucapnya sambil menutup kaca helm lalu menyalakan mesin motor.     

Ya, dua hari besok adalah libur sekolah, Sabtu dan Minggu. Menjadikan Nusa memiliki banyak waktu luang nantinya saat bersama dengan El, mungkin? Kalau cowok itu mengajaknya berjalan-jalan, ya oke-oke saja, namun kalau tidak pun ia sama sekali tidak punya pengharapan yang lebih.     

Nusa melambaikan tangan pada Bian yang sudah melajukan motor meninggalkan pekarangan rumahnya. Ia menurunkan tangan yang melambai begitu sudah terlihat Bian yang menghilang di sebuah belokan.     

Ia menghembuskan napas. Mengambil kunci untuk membuka gemboknya, lalu membuka pintu gerbang dan masuk kesana, tidak lupa untuk menguncinya kembali.     

"Ini kan masih terbilang pagi, masih jam sepuluh sih yang bener aja?" gumamnya setelah melihat jam tangan.     

Entah mengapa, ia adalah tipe murid yang lebih suka berlama-lama di sekolah dengan bertumpuk-tumpuk tugas. Daripada di pulangkan cepat oleh pihak sekolah, apalagi tidak ada penugasan dari guru pada materi hari ini.     

Langkahnya sudah sampai di teras rumah, ia membuka kunci rumah. Ia saat ini memegang seperti kunci yang di satukan pada satu gantungan, memudahkan agar tidak terlupa kalau di letakkan secara terpisah.     

Mengucapkan salam dalam hati sambil masuk ke rumah, melakukan hal yang seharusnya seperti melepaskan sepatu dari alas kaki.     

Rumahnya sepi. Seperti biasa, tidak ada sambutan dari keluarga. Tidak ada orang yang menunggu kepulangannya, atau bertanya secara langsung kenapa dirinya pulang cepat. Tidak ada aroma masakan seorang Ibu, tidak ada juga sapaan seorang Ayah. Segalanya hanya tentang kesepian untuk saat ini.     

Nusa berjalan ke arah dapur karena perutnya tiba-tiba lapar, mungkin ingin di ganjal dengan roti isi selai? Ya, itu adalah makanan yang paling cocok.     

Menaruh tas di meja pantry, lalu ia bergerak ke lemari pendingin. Namun, langkahnya terhentikan begitu panggilan masuk terasa di saku bajunya.     

Ia segera menganbil ponsel, dan ternyata itu dari Rehan. Entah apa yang ingin dibicarakan sang Kakak, namun tumben sekali menelepon.     

Akhirnya, Nusa meraih ponsel yang berada di saku. Ia tidak jadi melangkahkan kaki ke lemari es, memilih untuk duduk di kursi pantry.     

Ia mengangkat panggilan telepon.     

"Halo, Sa. Udah pulang ya?" tanya Rehan to the point dari seberang sana.     

Nusa menopang dagu dengan tangannya, menatap ke arah dapur yang kosong bersih. Entah darimana sang Kakak tau kepulangannya —karena ia belum memberikan kabar sama sekali—, namun Rehan sudah tau kalau hari ini dirinya pulang cepat.     

Ia menganggukkan kepala. "Aku udah pulang Kak, maaf gak ngabarin." jawabnya.     

"Pulang bareng El atau Bian?" tanya Rehan. Terdengar suara orang berbincang, walaupun samar-samar. Mungkin Kakak-nya ini tengah di gudang penyimpanan bahan pangan? Soalnya masih jam kerja, dan tidak mungkin dapat menelepon bebas kecuali sedang di gudang.     

Nusa tentu saja menjawab dengan jujur. "Aku pulang sama Bian—"     

"Kok sama dia? Bukannya El udah jadi cowok kamu, ya? Tuhkan Kakak bilang juga apa, dia sama sekali gak bisa di andelin, masa harus Bian juga sih yang nganterin kamu ke rumah?" potong Rehan langsung, ia menyelak ucapan sang adik.     

Nusa pun mengangkat sebelah alis, ia mendengar kalau sang kakak tengah salah paham. "Bukan begitu, Kak. Dia tadi mau periksa kondisi tangannya, Kakak gak boleh ambil kesimpulan terus nuduh-nuduh deh Kak, dosa."     

"Terus gitu doang, udah? Kan bisa nganterin lo, lagian juga palingan gak jadi. Mana ada dokter yang ambil jam janjian itu pagi-pagi buta,"     

"Ih Kak Rehan kenapa sih? Gak bisa ya damai sama pikiran Kakak sendiri? Nusa baik-baik aja nih, jangan bikin Nusa badmood deh."     

Terdengar helaan napas dari seberang sana. Entah apa yang dirasakan oleh Rehan, hanya cowok itu sendiri saja yang tau. "Kakak takut kamu kenapa-kenapa, makanya tuh ya Kakak begini ya kan biar kejadian lalu gak keulang lagi." balasnya dengan nada bicara yang penuh dengan perhatian.     

Nusa paham dengan maksud Rehan. "Iya Kak, aku tau banget. Tapi Kakak jangan kayak gitu, jangan cuma gara-gara satu kesalahan, kebaikan orang itu jadi kelupaan di pikiran Kakak. Kan El juga udah janji mau jagain aku, bukan berarti dia harus selalu jagain aku karena kan kondisi dia lagi kurang sehat." ucapnya yang membuat pembelaan.     

"Oke-oke, maafin Kakak ya." ucap Rehan pada akhirnya, sangat ketahuan kalau cowok satu ini enggan memperpanjang masalah. Jadi, minta maaf adalah satu-satunya cara baginya untuk membungkam mulut. "Kamu kalau laper buat roti aja, kemarin Kakak juga baru beli selai blueberry tuh buat kamu." sambungnya.     

Nusa menganggukkan kepala secara refleks seolah-olah sang lawan bicara bisa melihatnya. "Iya Kak, ini aku mau makan. Kakak pulang kayak biasa?"     

"Iya, tapi nanti Kakak balik jam lima sore, Sa."     

"Ya udah gak apa, aku juga mau nonton Drama Korea. Rumah udah bersih ih,"     

"Siap, siap. Kunci aja nanti pintunya, kan Kakak punya kunci cadangan. Iya, rumah udah bersih, kan kamu yang beres-beres rumah tadi subuh."     

Nusa terkekeh, ia memang nomor satu kalau soal membersihkan rumah. "Ya udah gih Kak Rehan kerja dulu, nanti kalau jam istirahat, boleh telepon aku lagi."     

"Iya, dah ya Kakak mau kerja lagi nih."     

Pip     

Panggilan terputus, dan Nusa pun meletakkan ponselnya di meja pantry lalu ia kembali melanjutkan keinginannya untuk makan roti isi.     

Mungkin, sifat Rehan tadi adalah bentuk perhatian yang takut kehilangan.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.