Elbara : Melts The Coldest Heart

Membahas Masa Lalu



Membahas Masa Lalu

0"Ada, jadi gue harap lo gak kegenitan sama gue karena lo punya Reza, ini peringatan ya buat lo."     
0

Bian menatap Alvira dari atas sampai bawah, lalu kembali lagi menatap wajah cewek satu itu dengan tatapan yang sangat sinis. Ia tidak paham apa yang tengah dilakukan oleh Alvira. Masih saja menginginkan mereka saling menyapa? Oh tidak, semua yang diinginkan cewek satu itu seolah-olah hanya hal yang menjadi angan-angan saja.     

Mendengar itu, terbesit perasaan kecewa yang dirasakan oleh Alvira. Sorot matanya menurun, menatap Bian dengan pandangan yang sendu. "O-oke kalau gitu." balasnya. Hanya itu saja yang bisa keluar dari dalam mulutnya karena tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan dari mulut. Semua perkataan yang seharusnya bisa keluar begitu saja dari mulutnya pun seakan tercekat di ujung tenggorokkan.     

Bian merasa kalau Alvira sudah paham dengan apa yang dirinya katakan, menjadikannya langsung kembali berbalim badan, jangan lupakan dirinya yang menyentakkan tangan karena tadi kepergiannya di tahan oleh Alvira dengan tangannya yang tercekal.     

"Oh ya, satu lagi." Bian kembali berkata, kepalanya menoleh ke arah Alvira lagi. "Tolong ya, sesama mantan itu seharusnya gak keliatan sok akrab kayak gini, Ra. Gue gak tau apaan maksud lo, tapi gue gak mau biarin lo masuk ke dalam hidup gue lagi yang nyatanya cuma bisa nyebar kesalahan gue." sambungnya.     

Alvira yang mendengar itu pun langsung menggelengkan kepala dengan perlahan. "Maksudnya kamu apa sih? Aku sama sekali gak tau loh apa yang kamu bilang ke aku. Aku ya gak nyebar kesalahan kamu, dulu kan kita putus gara-gara kamu yang salah paham." jawabnya.     

Beruntung, karena saat ini kondisi di sekeliling mereka sangat sepi karena memang baru jam masuk kelas. Menjadikan para murid yang kembali mengikuti pelajaran.     

"Gak usah drama deh, lo perlakuin gue kayak sampah pas kita pacaran, lo lupa?" tanya Bian yang seperti kembali mengungkit masa lalu.     

Alvira menggelengkan kepala, merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Bian. "Sampah? Gak ada tuh, aku gak pernah perlakuin kamu kayak sampah kok." balasnya sambil menghembuskan napas dengan perlahan.     

"Oh ya?" tanya Bian, ia memutar tubuhnya kembali agar menatap ke arah Alvira, bahkan kini terlihat jelas kalau sebelah alisnya terangkat.     

Throwback     

Siang ini bukanlah hari yang cerah untuk keluar rumah, di karenakan cuaca yang mendung dan kini mungkin sebentar lagi akan turun hujan.     

| ruang pesan |     

Alvira Sayang     

Babe, kamu dimana? Katanya mau jemput aku? Ini aku udah siap-siap gini, udah tampil cantik buat kamu, tapi kamunya malah lama.     

Bian membaca teks yang kirim oleh Alvira sekitar dua menit yang lalu, menjadikan dirinya menghembuskan napas. Mobil tengah masuk bengkel, dan kini mau tidak mau harus menggunakkan motor.     

Bian     

Oke sayang, aku on the way. Kamu tunggu di rumah, gak usah bt ya.     

Bian     

Tapi ini udah mau ujan, gimana ya?     

Avira Sayang     

Gak mau tau! Pokoknya kita harus dan jadi ketemuan, lagian kan kamu udah janji sama aku.     

Read     

| ruang pesan berakhir |     

Membaca pesan yang terakhir di kirimkan oleh Alvira membuat Bian segera memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, ia mulai menaiki motor besar miliknya. Di usia yang belum 17 tahun, ia sudah berani membawa motor besar karena juga dirinya memiliki tubuh sempurna. Ah jangan salah, dirinya menjadi idaman-idaman para cewek di sekolahan.     

Tidak lagi menjawab pesan dari Alvira, ia tidak takut kehujanan namun lebih takut kalau pacarnya marah dengan merajuk dalam jangka waktu yang cukup lama.     

Akhirnya, Bian memutuskan untuk melajukan motor, membelah jalan raya sampai pada saatnya satu dua bahkan tiga bulir tetesan hujan mulai membasahi permukaan kulitnya.     

Pertanda hujan, namun Bian sama sekali tidak peduli dan tetap saja melanjutkan perjalanannya. Merasa hujan pun semakin deras, petir menyambar seperti bersahutan satu sama lain. Menjadikan Bian mengaduh juga mengumpat kasar di dalam hati.     

Sedaritadi di perjalanan juga ponselnya tiada henti bergetar, tanda panggilan telepon masuk yang sudah dapat di tebak siapa orang yang menghubunginya berkali-kali.     

Menepi di warung kopi pinggir jalan adalah hal yang paling tepat, beruntung ia memakai jaker anti air yang tidak sampai menyerap di tubuhnya karena basahnya hujan.     

Buru-buru parkir motor, lalu masuk ke dalam warung kopi. Hal yang pertama dirinya lakukan, bukanlah memesan minuman hangat, melainkan malah mengambil ponsel yang berada di sakunya.     

Ia khawatir karena Alvira sudah bawel, setiap kali mengadakan pertemuan, pasti ceweknya tidak ingin menunggu lama yang padahal kan di perjalanan juka memakan waktu.     

Menempelkan ponsel di daun telinga, dering panggilan telepon pun diluncurkan untuk Alvira.     

Dering pertama tidak ada yang mengangkat, namun di dering selanjutnya pun panggilan masuk mulai terjawab dan langsung disuguhi dengan decakan pelan dari Alvira.     

Bian meringis. "Sayang, maafin aku. Sumpah tadi aku udah ngebut, namanya juga hujan jadi bahaya kalau terlalu kencang." ucapnya yang to the point meminta maaf.     

Terdengar hembusan napas. "Sekarang kamu dimana?" tanyanya.     

Bian menolehkan kepala ke luar warung kopi, ia tentu saja tau dimana dirinya berada. "Di Jalan Cempaka, sayang."     

(Untuk nama lokasi, disamarkan.)     

Lagi, terdengar hembusan napas yang kedua kalinya. "Ya udah deh kamu pulang aja, kita gak jadi jalan. Kamu kelamaan, aku bad mood."     

"Tapi kan sayang, aku udah basah-basahan keujanan kayak gini. Kamu tega malah nyuruh aku pulang dan gak jadi jalan?"     

"Iya, tega. Dah ah, aku males, kamu pulang aja."     

Pip     

Tiba-tiba panggilan telepon terputus secara sepihak, menjadikan Bian termenung, meratapi nasibnya yang sama sekali tidak ada baiknya.     

"Gue udah berusaha, Ra."     

Throwback off     

Bian menatap Alvira yang berada di hadapannya ini dengan sorot mata yang tajam. "Lo inget? Lo perlakuin gue kayak sampah, padahal gue udah perlakuin lo kayak ratu. Sebisa gue, semampu gue."     

Kini, kedua manik mata Alvira menjadi berair. Tidak menyangka kalau Bian mengungkit masalah dulu, dan membawanya ke masa sekarang. "Tapi kan itu dulu, kamu tau sendiri kan kalau Vira sifatnya emang kayak gitu. Kalau gak mood, ya gak mood." balasnya, mencari pembelaan.     

Bian tertawa miris saat mendengat jawaban Alvira yang menurutnya sangat tidak mengenakkan hati. "Terserah lo deh, lo selalu bertingkah seolah-olah semua orang harus paham sama sifat lo. Sampai lo lupa kalau lo juga harus lakuin hal yang serupa sama orang lain."     

"Tapi, Bian—"     

"Gak usah drama, gue udah muak banget. Gue diem bukan berarti gue terima sama sikap lo ke gue, keterlaluan."     

"Terus Bian mau apa setelah ini? Kita gak saling sapa lagi? Ngobrol gitu?"     

"Ngarep lo, gue udah nemu cewek yang gak terlalu ribet kayak lo. Dah ya, gue rasa pembicaraan kita sampai di sini aja."     

Setelah itu, Bian memutar tubuh dan berjalan meninggalkan Alvira yang kini wajahnya sudah berubah menjadi sendu. Ia tidak akan membahas masa lalu kalau tidak di pancing.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.