Elbara : Melts The Coldest Heart

Jam Pelajaran Olahraga



Jam Pelajaran Olahraga

0Bertepatan dengan jam pertama, kelas Alvira dengan kelas Bian memang memiliki bentrok jam pelajaran olahraga.     
0

Kelas Alvira sudah berhasil memakan satu jam pelajaran, dan sisa satu jam lagi untuk bergiliran bermain basket.     

Sedangkan kelas Bian? Mereka baru saja masuk lapangan dan melakukan pemanasan sesuai dengan apa yang sedang di arahkan oleh guru tentu saja mengajar di bidang olahraga.     

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, ganti." Aba-aba guru yang melakukan pemanasan, hal ini dilakukan agar tubuh tidak kaget saat melakukan aktivitas fisik yang berat dan mengurangi risiko mengalami cedera ringan atau kram saat berolahraga.     

Bian fokus, bahkan saat teman-temannya menggoda kalau ada Alvira yang tengah menunggu giliran bermain basket, ia sama sekali tidak mengindahkannya. Entah hatinya sudah malas, atau memang tidak ingin lagi menumbuhkan apa yang sudah lama seharusnya musnah.     

"Berisik lo ah, lagi pemanasan nih gue."     

"Kan sekalian panasin hati lo."     

"Sialan."     

Memang, teman-teman Bian saat ini terkadanh tergolong toxic dan rasa solidaritasnya kurang. Namun, mereka bisa selalu ada dan bisa juga menghibur diri Bian saat cowok satu ini tengah membutuhkannya.     

Memang juga, tidak ada yang biaa menggantikan posisi El dari sudut manapun. Namun, ada kalanya perpisahan itu memaksa seseorang untuk melangkah lebih jauh agar tidak mengingat bagaimana dulu persahabatan El dengan Bian.     

Ingin tau sedikit kisah mereka? Baiklah.     

Throwback     

Bian mendang bola sekuat tenaga, dan GOL! Ia bersorak senang sambil meninju udara, lalu melihat sekeliling yang kosong tanpa penonton.     

"Seneng amat."     

Hanya sosok El saja yang ditangkap oleh indra penglihatan Bian. Cowok yang di masing-masing kepalan tangannya membawa minuman isotonik, mereka memang tadi melakukan pertandingan sepak bola, by one saja.     

"Gue gol gila, ya kali gak seneng." ucap Bian begitu El sudah berada di hadapan dan menjulurkan botol minuman yang langsung di terima sangat baik olehnya.     

El mendengus, lalu menganggukkan kepalanya. "Iya lah, gak ada kiper-nya." ucapnya.     

Bian terkekeh kecil, lalu merangkul El dan membawa mereka menepi dari kawasan lapangan yang kecil dan sepi. Mereka sengaja ingin olaharaga berdua, bahkan yang seharusnya bermain bola dengan tim yang berisikan beberapa orang pun tapi kali ini berbeda.     

Mereka berdua duduk di atas rerumputan hijau yang tertata rapih. Menjadikan mereka saling meneguk minuman masing-masing untuk melepas dahaga. Segar, hanya itu saja yang mampu mendeskripsikan air yang menyapa dinding tenggorokkan Bian dan El.     

"Lo udah makan?" tanya Bian, ia menutup botol.     

Mendengar itu, El menggelengkan kepala. "Nanti aja, nyokap masak, gue ngehargai." balasnya dengan tatapan yang dingin, namun bukan berarti dirinya kesal dengan sahabat satu ini.     

"Kalau gitu, ayo ke rumah lo. Sekalian icip-icip, kebetulan gue belum makan dan laper." ucap Bian sambil menepuk-nepuk perut karena terasa ada bunyi pertanda dirinya lapar.     

"Gak." balas El.     

"Lah ngapa si? Medit banget anjir, gue kan sekalian numpang makan, janji abis itu balik."     

"Janji lo palsu."     

"Udah kayak judul lagu aja, alamat palsu."     

"Beda cerita, Bian."     

Mendengar itu, Bian tertawa. Semilir angin pertanda senja akan berganti dengan malam, menjadikan angin-angin mulai membuat jambul mereka sedikit berayun. Kedua cowok ganteng yang menjadi incaran satu sekolah. Mereka berdua mendapatkan posisi yang sebanding, seperti 50% cewek di sekolah menyukai El dan selebihnya menyukai Bian.     

"Ya udah." ucap El pada akhirnya. Ia memang belum menutup botol, lalu meneguknya kembali karena cukup terengah-engah dan mengelurkan energi walaupun hanya main berdua saja.     

Bian tersenyum lebar, lalu menepuk bahu El sebanyak dua kali. "Nah gitu dong, kan gue jadi enak nih kalau lo bolehin." ucapnya, wajah tanpa dosa.     

(Sudah pernah di jelaskan kalau sosok Bian itu setara dengan Reza dan Mario, namun mungkin memang tingkat humoris-nya yang kurang.)     

"Cabut yok, nanti makin gelap, makin lama makannya." ucap Bian sambil beranjak dari duduk, menoleh ke El, lalu menjulurkan tangan ke hadapan sahabatnya sebagai bentuk bantuan.     

El menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Bian. Ia menyambut uluran tangan sang sahabat dengan senang hati, lalu berdiri.     

Berhubung mereka bawa motor masing-masing, motor besar yang menjadi idaman para cewek di sekolah karena selain harganya yang menyentuh mahal, juga mereka adalah dua cowok terkeren.     

Bian menaiki motor besarnya yang di dapatkan dari ulang tahun ke-11, namun tidak dengan El yang memang sudah dibelikan sejak jauh-jauh hari dan dirinya sudah bisa berkendara saat tahun lalu, saat menginjak kelas 6 SD. Ya mereka berdua memang saat ini menginjak kelas 2 SMP dengan kemampuan yang sebanding, tapi tidak dengan adu tenaga karena El yang pasti akan memenangkannya.     

"Lo bakalan hajar gue gak kalau gue bikin lo luka?" tanya Bian, sudah duduk di motornya.     

El yang baru saja ingin memakai helm di kepalanya pun mengurungkan niat, ia menolehkan kepala ke sumber suara yang bertanya mengenai hal ini. "Tergantung," balasnya yang singkat.     

Bian menaikkam sebelah alisnya. "Tergantung gimana?" tanyanya yang memang tidak paham.     

"Tergantung lo bikin luka buat gue, sengaja atau gak, juga karena alesan apa. Karena setahu gue, sahabat gue bukan pengecut."     

Throwback off     

'Karena setahu gue, sahabat gue bukan pengecut.'     

Bian yang sekarang merasa tertampar begitu mengingat apa yang pernah El katakan kala itu.     

"Eh ngapain lo diem? Katanya ikut pemanasan, tuh sampe Pak Guri udah kelar pemanasannya." tegur salah satu teman sekelas Bian, dia cewek.     

Bian mengerjapkan kedua bola mata, lalu melihat teman-temannya yang sudah bubar, ia ikut bergerak untuk berjalan ke tepi lapangan. Langkah selanjutnya adalah mendengarkan intruksi dari Pak Guri untuk permainan apa yang akan mereka mainkan. Entah itu voly, bola sepak, atau lainnya.     

"Bapak minta kalian lari dulu sepuluh kali putaran." ucap Pak Geri.     

Mendengar itu, murid kelasan Bian pun bersorak tidak setuju dengan apa yang diucapkan sang guru.     

Pak Geri seperti mengeluarkan raut wajah yang seperti tidak ingin ada yang menolak perkataannya. "Tidak ada yang protes, ya! Lagian kan lapangan di bagi jadi dua sama adik kelas kalian, jadi kan ringan dan tidak terlalu lelah." ucapnya.     

Tugas murid adalah mematuhi apa yang dikatakan guru selagi dalam konteks positif. Jadi, para murid mulai menganggukkan kepala dan menerima saja apa yang dikatakan oleh Pak Guri.     

Mereka berbaris agar lari mareka teratur, dan Bian mengambil urutan paling akhir. Di saat gilirannya, tiba-tina saja terdengar …     

Bruk!     

"Pak, Alvira pingsan!"     

Mendengat itu, Bian mengurungkan lari ke barisan kelasnya, ia malah berlari ke arah dimana kelas Alvira berada.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.