Elbara : Melts The Coldest Heart

Memberi Tumpangan Pulang



Memberi Tumpangan Pulang

0Priska mengeratkan cardigan yang melekat di tubuhnya, sudah terbiasa bagi cewek-cewek cantik sepertinya ini memutuskan untuk pulang terlambat.     
0

Memang seharusnya jadwal pulang cepat ini di isi oleh girls time bersama dengan Disty dan Nika, namun semuanya batal begitu saja di saat kedua temannya itu ternyata memiliki acara keluarga yang tidak terduga.     

Oke, sekarang dirinya sendirian, tentu saja masih berada di lingkungan sekolah.     

Tidak punya tujuan, itu yang dirasakan Priska saat ini. Berjalan dengan alas sepatu kaki mahal, yang kalah ada orang ber-iri hati pasti sudah mengambil sepatunya kalau ia sewaktu-waktu melepas sepatu.     

Mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan-lahan. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa tanpa Disty dan Nika, hidupnya menjadi terasa kosong, hampa, sepi, dan perumpamaan lainnya dengan kata-kata yang memiliki arti serupa.     

Padahal, Priska termasuk ke dalam ruang lingkup para orang kaya, terkenal, dan juga sudah pasti gambaran seperti itu akan memunculkan banyak teman. Namun salah, mungkin jika dirinya bersikap baik dan manis, banyak orang yang mendekat. Sayangnya, Priska tetaplah Priska. Ia hanya cewek yang senang jika di mem-bully seseorang, ya kesenangannya berada di sana.     

Tidak punya pacar, teman pun minim —hanya Disty dan Nika saja, mungkin?—, bahkan banyak orang yang menjauh dan bukannya mendekat untuk menjalin pertemanan dengannya.     

Oke, mungkin setiap tindakan memang ada konsekuensinya? Anggap saja ini adalah konsekuensi yang dirinya terima.     

Menghembuskan napas dengan perlahan, lagi. Ia merasa saat ini kekosongan adalah bagian dari hidupnya.     

"Ih gila gue mau kemana, ya?"     

"Ke rumah ogah banget, sepi gitu kayak gak ada kehidupan."     

Ya, kedua orang tua Priska lebih memilih untuk bekerja. Bisa di bilang mereka berambisi untuk mendapatkan banyak uang agar kehidupan anak semata wayang mereka —Priska— terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan sangatlah baik. Sehingga melupakan kalau Priska bukan hanya membutuhkan hidup yang lebih dari cukup, namun juga membutuhkan kasih sayang yang sangat jarang di dapatkan.     

Bukan broken home, hanya saja… entahlah. Mungkin tidak ada yang mengerti dengan kondisinya saat ini, iya kan?     

Berjalan dengan lesu, sampai pada akhirnya berada di area parkir. Ia sudah memegang kunci mobil, menatap kendaraan bermerk BMW berwarna hitam elegan miliknya.     

Harta bukan apa-apa baginya.     

"Jahat banget! Ini orang-orang pada gak sayang lagi kali ya sama Vira?! Nyebelin! Semuanya pergi, kayak Vira belum pulang aja gak ada yang nyariin!"     

Langkah Priska melambat. Ia mencari sumber suara yang terdengar marah karena mengeluh, juga suara itu sangat ia kenal. Jelas kenal, toh seseorang itu juga langsung menyebutkan namanya sendiri kok.     

Pelan-pelan, Priska mendekati diri ke arah dinding yang ternyata ada Alvira di sana sedang duduk di kursi sambil menangis.     

Priska tentu saja tidak pernah bersimpati dengan orang yang menangis, menurutnya lemah. Bahkan, saat dirinya sendiri nangis pun ia merasa sangat tidak nyaman.     

"Mendingan gak usah pulang sekalian, bodo amat. Lagian juga Dad sama Mom gak di rumah, biarin aja kayak gini jadi gembel."     

"Nanti aku aduin Kak Bara yang tega giniin aku, biar di marahin!!!!"     

Priska yang mendengar itu pun langsung memutar kedua bola matanya, ia tau kalau Alvira memang masih kekanakkan. Saat cewek itu mengajaknya berteman, kenapa dirinya menolak? Ya karena baginya, cewek yang masih kekanakkan sangat tidak cocok di jadikan teman, ribet.     

Akhirnya, Priska memutuskan untuk berdehem kecil agar Alvira bisa melihat kehadirannya saat ini.     

Tentu saja, Alvira menyadarinya langsung. Dan menolehkan kepala ke arah Priska dengan kedua matanya yang terlihat sembab, hidungnya pun terlihat memerah.     

"Kak Priska?" panggilnya dengan nada bicara yang terdengar sangat serak.     

Priska menghembuskan napas, entah ini salah atau benar, tapi malah langkahnya menuju ke arah Alvira dengan perlahan namun pasti. "Lo ngapain belum balik? Sekolah udah sepi, kalau lo di apa-apain sama orang jahat, gimana?" tanyanya ketika sudah sampai di hadapan cewek itu.     

Alvira pun mendongak karena posisinya dia duduk di hadapan Priska. "Kakak sendiri ngapain belum balik?" Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya dengan sebelah alis yang terangkat.     

Merasa dirinya yang ditanya, Priska pun memilih untung mengangkat kedua bahunya. "Menurut lo?" Ini adalah perkataan seseorang yang malas menjawab apa yang ditanyakan oleh lawan bicara.     

"Aku… aku di sini ya cari angin." balas Alvira pada akhirnya dengan suara yang agak ragu dengan jawabannya sendiri. Ia pun mengelus pelan lengannya yang tidak terbalut cardigan seperti Priska, menjadikan udara hari yang masih pagi ini menerpa permukaan kulitnya.     

"Lo nangis aja pakai di sembunyiin segala dari gue,"     

"Gengsi Kak."     

"Ayo balik, lo naik apa?"     

Cukup berbasa-basi, namun Priska malah melakukan percakapan omong kosong. Yang padahal, ia sudah tau kalau Alvira hanya pulang dengan El, Reza, Mario, Bian, atau mobil jemputan. Dan dirinya sadar kalau semua orang yang biasa antar jemput itu tidak kelihatan batang hidungnya, termasuk sang driver pribadi.     

Alvira menggelengkan kepala dengan perlahan. "Nanti mau naik taxi online aja, tapi nanti. Vira masih mau disini," jawabnya dengan pelan. Ia sudah tidak menangis lagi namun terlihat wajahnya yang sendu.     

Priska menghembuskan napas kasar, lebih tepatnya sih mendengus. "Di culik, mati lo." ucapnya yang sudah kelewat kesal. Ia terlalu malas berbicara dengan orang yang keras kepala, padahal ia sadar kalau dirinya juga sama keras kepalanya.     

Mengerucutkan bibir, Priska bukannya membantu Alvira untuk menghilangkan kesedihan, malah menakut-nakuti dirinya seperti itu. "Ih Kak Priska mah gak bisa di ajak kompromi, huh!" ucapnya sambil mendengus.     

"Dih, kompromi apaan anjir?" tanya Priska kebingungan. "Udah ah, lo kalau mau di sini ya udah. Gue juga gak ada urusan sama lo, gue balik duluan ya." sambungnya.     

Pada akhirnya, Priska membalikkan tubuh tanpa menunggu respon dari Alvira. Ia berjalan perlahan ke arah mobil miliknya, mobil hadiah sweet seventeen yang langsung membuatnya memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).     

Sampai tepat di samping mobilnya, ia menoleh lagi ke arah dimana Alvira duduk. Namun, cewek itu sudah tidak ada. Ia pun sempat kebingungan, dalam bari bertanya-tanya kemana Alvira berada karena saat ini tidak terlihat.     

"Aku boleh ikut Kakak?"     

"Astaga!" Priska memekin, ia menolehkan kepala ke sebelah kirinya. Ternyata, Alvira ada di sana dengan tatapan yang terlihat seperti memohon kepadanya.     

Sudah dapat Priska tebak kalau Alvira pada akhirnya akan meminta tumpangan padanya untuk pulang.     

Menganggukkan kepala, Priska menampilkan senyuman miring. "Driver ke rumah lo, gue dapet tip lima ratus ribu, ya? BMW nih." ucapnya sambil menepuk bagian atas mobil dengan pelan.     

Alvira mendengus, lalu menggengkan kepala. "Ya udah kalau begitu mah gak jadi aja—"     

"Bawel lo, masuk." potong Priska sebelum Alvira malah kembali duduk seperti anak ilang di kursi yang beberapa menit lalu ditempati.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.