Elbara : Melts The Coldest Heart

Munafik-nya Perasaan Sendiri



Munafik-nya Perasaan Sendiri

0Suasana rumah yang seharusnya ramai pun terlihat sepi, bahkan mungkin saat ini suara samar-samar yang terdengar masuk ke dalam indra pendengaran adalah suasa jangkrik yang mengisi kesunyian.     
0

Melangkahkan kaki dengan gontai masuk ke dalam rumah dengan pintu utama yang sudah tertutup rapat, dan benar-benar sepi pun langsung menyelimuti seorang cewek yang baru sampai.     

Ia di antar pulang oleh Reza dan Mario, namun kedua cowok itu tentu saja memutuskan untuk langsung pulang karena nantinya tidak enak berada satu atap dengan dirinya karena tidak ada orang tuanya. Ya sebenarnya sih ada para pelayan, namun tak menutup kemungkinan kalau mereka saat malam hari lebih memilih untuk berdiam di kamar mereka masing-masing atau kembali ke rumah karena pekerjaan yang sudah selesai.     

Satu helaan napas terdengar keluar mulus dari dalam mulut Alvira, rasanya memang benar-benar sepi. Walaupun sebelumnya ia sudah terbiasa dengan hal ini karena kedua orang tuanya sibuk bekerja dalam artian jarang berada di rumah, namun di kala itu pun ada El sebagai peneman.     

"Gila, aku bener-bener sendirian."     

Tadinya senyuman cerah pun ingin hadir di wajahnya kala Reza menawarkan diri untuk menemani. Namun Mario mengatakan kalau sebaiknya mereka tidak berdua karena tidak ada yang tau dengan jalannya takdir. Takut khilaf.     

Sepatu masih melekat sebagai alat kakinya, menelusuri lantai rumah dengan langkahnya yang kecil berpijak tanpa selera.     

"Kenapa juga Kak Bara nyuruh aku pulang ke rumah? Yang padahal aku bisa nginep di sana."     

Dengan alasan El menyuruhnya pulang, katanya Alvira tidak diperbolehkan untuk menginap di sana karena pasti akan tidur di sofa atau bahkan di atas brankar yang jujur pasti akan menjadikan otot di tubuhnya tegang karena tidak adanya perenggangan.     

Ia melempar sling bag yang menampung segala peralatan para cewek dan tentu ponselnya juga berada di sana, ke atas sofa dan mendarat dengan sangat sempurna. Di susul dengan melempar tubuhnya ke sana, seolah-olah mengatakan pada kesunyian kalau dirinya butuh peneman.     

Biasanya, El akan memijat kakinya atau bahkan menyiapkan air hangat di bathtub untuk dirinya berandam jikalau lelah, namun kini tidak ada perhatian itu karena sang Kakak tengah di rawat dan berdiam diri di rumah sakit terkulai lemah walaupun raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.     

Mengingat dengan segala perlakuan manis El, menjadikan perasaan Alvira terasa buta. 'Gimana kalau nantinya Kak Bara udah gak bakalan ngasih aku perhatian yang semanis dulu lagi, ya?' batinnya, seolah-olah tengah berperang pikiran pada saat ini.     

Throwback     

"Kak Bara, tanggep badan aku ya. Kalau Kakak gak kuat, berarti Kak Bara cemen."     

Alvira berdiri di atas kasur dengan El yang berpijak di lantai namun berada tepat sejajar dengannya, hanya berbeda media pijakan saja. Ia menampilkan senyuman yang paling manis dan terlihat sangat ceria, senyuman mengembang lebih tepatnya.     

El yang mendengar itu pun sama sekali tidak terasa tertantang dengan apa yang dikatakan oleh Alvira yang terdengar seperti sebuah tantangan baginya. "Gue gak takut, buruan." balasnya yang malah menyuruh sang adik untuk buru-buru melompat dari atas sana.     

Kalau jawaban El seperti itu, sudah di yakini kalau cowok tersebut memang benar-benar sanggup, membuat Alvira menganggukkan kepala dengan penuh rasa yakin. "Oke kalau gitu, siap-siap ya!" serunya yang mengambil ancang-ancang.     

El hanya menganggukkan kepala dengan raut wajah yang sedatar papan penggilas baju yang terbuat dari kayu. "Ya." balasnya.     

Satu, dua, tiga …     

BRUK     

HAP!     

Tertangkap. El memeluk tubuh Alvira dengan sangat erat, tidak membiarkan tubuh mungil yang melompat dari atas kasur itu membentur lantai dengan naas. Ia benar-benar menjaga adiknya.     

Saat ini, mereka memang tengah bermain di kamar karena pinta Alvira yang merengek karena tidak bisa tertidur dan harus lelah dulu agar matanya dapat terpejam. Gadis kelas 2 SMP itu tampak masih bersemangat bermain, bahkan kini tergelak tawanya di dalam pelukan sang Kakak.     

"Ahahaha coba aja Kakak gak nangkep aku, pasti aku bakalan bonyok." ucapnya dengan nada bicara yang benar-benar gembira.     

El senang melihat Alvira yang tertawa walaupun hanya dengan hal yang sederhana. Oke ingin perbaiki pendeskripsian posisi mereka sekarang, Alvira berada di dalam gendongannya dengan pose bridal style. Ia mencodongkan wajah, mengecup kening cewek tersebut dengan lembut.     

"Dah tidur. Cukup mainnya,"     

Alvira menatap El, lalu merasakan cowok itu berjalan —membawanya mendekati kasur—. Lalu merasa El yang menurunkan tangan dengan perlahan-lahan, meletakkan dirinya di atas kasur dengan gerakan yang sungguh sangatlah lembut.     

Setelah tubuh Alvira sempurna terbaring di atas kasur king size yang berada di kamarnya, si cewek ini langsung menganggukkan kepala dengan sempurna. "Oke, Vira mau tidur tapi Kak Bara harus nyanyiin aku pake gitar."     

"Udah malem, ganggu orang."     

"Gak kedengeran Kak, emangnya Kakak mau nyanyi teriak-teriak? Ya pelan aja gitu suara nyanyiannya,"     

Mengehembuskan napas, El menganggukkan kepala karena hanya dirinya saja yang mampu membuat Alvira tertidur di saat adik kecilnya ini kesulitan untuk masuk ke dalam mimpi dan nanti takut akan menciptakan insomnia, ia tidak ingin Alvira mendapati penyakit tidak bisa tidur seperti ini yang bisa menurunkan daya tubuh.     

El melangkahkan kaki untuk mengambil gitar yang sengaja memang dirinya letakkan di sini, lalu kembali ke arah Alvira dan duduk di tepi kasur yang tengah menjadi alas tertidur cewek satu itu. "Dah nih gue nyanyiin," ucapnya yang memutuskan untuk menuruti apa saja keinginan sang adik tersayang asalkan ingin tertidur karena ia juga ingin beristirahat.     

Satu yang menjadi favorit Alvira adalah di saat El menyanyikan lagi untuk dirinya dengan senang hati, karena cowok tersebut akan menghayati lagunya, tentu saja.     

"Request?"     

"Perfect, Ed Sheeran."     

"Pilihan bagus." komentar El.     

Alvira menganggukkan kepala, ia mulai menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya supaya nyaman berada di dalam gulungan kain tebal berwarna putih gading yang bersih.     

Malam ini, ia tidur ditemani dengan nyanyian El yang terdengar sangat lembut dan sopan memasuki indra pendengarannya.     

Throwback off     

Kini, Avira sudah berada di kamarnya. Duduk tepat di tepi kasur dengan sorot yang menerawang, namun ingatan tersebut musnah di kala menyadari kalau ia tidak bisa lagi memiliki momen seperti itu, mungkin?     

Keduanya sudah beranjak dewasa, dan semakin tau batasan mengenai El yang tidak lagi menginjakkan kaki di kamar Alvira jikalau itu bukan sesuatu hal yang darurat.     

Alvira memperlakukan El dengan manis dan sebaik mungkin, bahkan tidak segan-segan menunjukkan kasih sayang tersebut di muka umum kepada El. Ciuman, pelukan, semua itu masih batas wajaran dirinya sebagai seorang adik.     

"Apa iya perhatian aku makin berkurang ke Kak Bara, atau gimana, ya? Kalau kurang, mungkin aku harus menambah dosisnya lagi."     

Seperti berlagak memiliki pikiran untuk menyaingi keberadaan Nusa, namun dirinya meyakinkan kalau tingkahnya satu ini bukan sebagai persaingan. Ya, dirinya tengah munafik pada diri sendiri.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.