Elbara : Melts The Coldest Heart

Taktik Selanjutnya



Taktik Selanjutnya

0"Gue bm main congklak,"     
0

Mario meyenggol tubuh Reza yang sibuk menatap layar ponsel dengan sesekali mesem, entah apa yang tengah di lakukan cowok tersebut. Namun dirinya berani yakin kalau sang sahabat tengah bertukar pesan dengan Alvira, mungkin? Tapi, ah entahlah ia tidak terlalu ingin ikut campur dengan asmara para sahabatnya. Yang dimana ia sendiri pun masih menyandang status jomblo.     

Menolehkan kepala ke arah Mario, Reza menaikkan sebelah alis sambil meninggalkan ponsel untuk mengalihkan perhatiannya kepada cowok yang berada di sampingnya ini. "Ada aja lo mah, mendingan ludo yok kayak biasanya." balasnya yang memberikan saran lain.     

"Gak mau, gue kayak udah males gitu kalau main ludo. Pasti gue terus yang menang, udah kebaca banget deh serius."     

Mungkin ingin sombong dengan prestasinya yang memang terkadang menang walaupun tidak sesering Reza, Mario ternyata menginginkan sesuatu yang baru.     

Tapi… masa iya congklak?     

Ini bukan perihal mereka cowok yang terkadang di jadikan banyak pertanyaan seperti 'emangnya cowok boleh main congklak?', bukan juga perihal mereka tidak ingin memainkan mainan tradisional. Namun dimana mereka bisa mendapatkan papan congklak di saat mendadak seperti ini?     

"Siapa yang punya? Gelo ya lo?" sambar Reza dengan memutar kedua bola matanya. Sudah tidak asing lagi kalau Mario mengelurkan ide-ide yang terdengar beraneka ragam namun dominan aneh.     

Mario meringis, benar juga dengan apa yang dikatakan oleh Reza. Dirinya ini menghembuskan napas, padahal benar-benar ingin memainkan benda itu. Jangan di bongkar pada siapapun, karena sewaktu kecil dirinya lumayan sering memainkan permainan tersebut bersama para teman-teman ceweknya.     

Menjentikkan jemari, Reza mengutak-atik ponselnya. Mencari sesuatu, dan ketika menemukannya pun langsung saja menyodorkan ponsel ke hadapan Mario dengan senyuman yang merekah. "Ini ada sarap permainan congklak online, main ini aja kita." ucapnya yang memberikan sebuah usulan.     

Daripada tidak bermain sama sekali, iya kan?     

Mario menggelengkan kepala. "Vibes-nya kayak bakalan kurang gak sih kalau semisalnya mainan online? Kan kalau offline seru banget tuh mindahij bijinya satu-satu, bisa curang juga." ucapnya terkikik geli. 'Curang' yang di maksud itu kan hanya untuk ajang seru-seruan saja karena nanti dapat beradu mulut di tengah-tengah permainan.     

Membenarkan apa yang dikatakan oleh Mario, Reza meletakkan ponselnya di meja yang berhadapan dengan sofa juga dengan mereka.     

Kali ini, tebak mereka berdua berada di mana? Jawabannya, di rumah Mario. Tumben sekali cowok satu ini membuka rumah untuk bermain, yang sebenarnya sih Mario tidak keberatan kok namun rumahnya sepi karena ia hanya anak satu-satunya. Orang tuanya juga lebih parah jika dibandingkn dengan orang tua El yang masih sempat menyisihkan waktu untuk anaknya, sehingga kalau Mario bawa temannya kesini, ya suasana rumahnya sangat kurang. Jadi, alasan mereka selalu bermain di rumah El itu karena bagaimana kondisinya pun akan terasa ramai dan hidup.     

Mario juga tidak suka dengan rumahnya, karena ia tidak menyetok banyak makanan ataupun camilan. Jadi setelah mereka mengantar Alvira pulang, ia dan Reza mampi dulu ke mini market untuk memborong beberapa camilan, minuman, dan apapun yang mereka ingin makan nanti.     

"Eh gue jadi inget sesuatu nih." Sepertinya, Mario sudah kehilangan selera untuk bermain permaianan yang menjadi keinginan beberapa menit lalu, ia membenarkan letak duduk, lalu menaikkan kedua kaki yang tak beralas sambil mengubah posiis tubuh untuk benar-benar mengarah ke Reza.     

"Apaan? Inget apaan lo? Video dewasa?" tebak Reza sambil mengulum senyuman geli. Ia hampir tau betul kalau cowok yang sudah berhadapan dengan dirinya ini setiap seminggu sekali pasti mampir ke satu 'link' baru, tidak usah munafik karena pasti semua cowok begini adanya.     

Entah itu termasuk tuduhan atau memang kebenaran, namun Mario mengetuk kepala Reza. "Sialan lo, gak usah buka kartu." ucapnya. "Ini beneran serius, kalau gak mau denger ya udah."     

Reza ingin sekali tertawa terbahak-bahak melihat wajah Mario yang kesal. Ia tau betul kalau cowok satu itu tidak suka di ungkit hal negatif yang menjerumus tentang hal dewasa. Seminggu sekali itu wajar, kan? Masih ada yang lebih parah jika di bandingkan dengan Mario. "Iya apaan? Gue juga punya info yang gue pikir kita berdua harus tambah protokol keamanan." balasnya.     

"Oke satu-satu, gue dulu." ucap Mario, ia mengambil napas panjang lalu mengembuskan dengan perlahan. "Gue pikir, kita harus bantuan Nusa sama El jadian deh. Gue pikir-pikir mereka udah sama-sama salinh suka, tapi—"     

"Tapi ada Alvira." potong Reza.     

Bukan, sebenarnya bukan itu yang ingin dikatakan oleh Mario. Membuat dirinya menaikkan sebelah alis dengan bingung. "Gue gak mau ngomong itu," ucapnya. "Tapi dua-duanya saling gengsi." sambungnya yang menyambung perkataan yang sempat di potong begitu saja oleh cowok yang berada di hadapannya saat ini.     

Reza menganggukkan kepala, paham dengan apa yang dikatakan oleh Mario. "Iya gue tau apa yang lo maksud, Rio. Tapi lo bayangin aja, kalau kita mau coba nyatuin mereka, gimana sama Alvira?"     

"Gimana apanya? Coba jelasin yang bener si kampret, lo aja belum cerita apa-apa tentang introgasi lo ke Alvira."     

"Alvira cemburu sama kehadiran Nusa di hidup El, dan ini gue gak ngada-ngada, malah dia sendiri yang langsung cerita sama gue."     

Seperti kabar buruk, Mario menggelengkan kepala. "Serius lo? Ini kedengerannya gak baik, anjir. Gue pikir kalau itu gak bakal keulang lagi kayak kita dulu. Tapi gue udah cerita juga semuanya ke Nusa, udah reminder suru dia hati-hati aja."     

Bagaimana pun, orang baik yang marah itu malah terlihat jauh berkali-kali lipat terasa menyeramkan.     

"Tapi lo serius gak sih?" tanya Mario yang memastikan. Maksudnya, kan Alvira dan mereka semua sudah sama-sama dewasa, masa ada kecemburuan kayak gitu?     

Reza menghembuskan napas, lalu mengangkat bahunya. "Gue juga gak tau, lo tau sendiri gimana deketnya Alvira sama El." ucapnya, lalu mengingat semua pengakuan Alvira pun membuat lubuk hatinya menjadi terasa resah. "Gimana kalau gara-gara itu, Vira jadi terlalu fokus sama El? Terus lupain gue deh, dan nanti gagal lagi gue dapet pacar." sambungnya, terdengar menyedihkan.     

Mario ikut antusias, ia menjulurkan tangan untuk menepuk-nepuk bahu Reza dengan raut wajah yang di buat sedih. "Kalau buat urusan itu, syukur dong!" serunya yang mendadak ceria sambil menampilkan senyuman sumringah yang menampakkan deretan gigi putih bersihnya. "Itu namanya lo solid sama gue, ikutan gak punya pacar, nemenin gue yang jomblo." sambungnya.     

Mendengar itu, Reza menepis tangan Mario yang berada di bahunya. "Sialan lo, sarap." ucapnya dengan jengkel, mengumpat sahabatnya dengan kalimat kasar.     

Mario tertawa, namun tawanya hanya bertahan beberapa detik saja. "Tapi serius, berarti ini gimana taktik kita selanjutnya? Lo nyadar gak sih kalau kita berdua ini kayak mata-mata yang punya misi rahasia?"     

"Enggak, lo doang kali yang ngerasa. Yang pasti mah kita harus jagain Nusa aja tanpa sepengetahuan El, bisa jadi nanti ada perang El sama Alvira kalau tuh cowok tau apa yang bakalan adiknya lakuin biar Nusa gak betah."     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.