Elbara : Melts The Coldest Heart

Introgasi Seorang Rehan



Introgasi Seorang Rehan

0- Sebelumnya -     
0

"KAK BARA, NUSA UDAH PULANGGGG!"     

Rehan membelalakkan kedua bola matanya, melihat sosok yang beberapa jam lalu dirinya cari dengan perasaan panik, bahkan rasa paniknya itu masih ada sampai sekarang.     

Ia tidak percaya dengan penglihatannya saat ini, namun ternyata kenyataan menyadarkan dirinya kalau Nusa memang ada di sini, bersamanya sejak pagi tadi dirinya mencari dan tidak ketemu.     

Bruk     

Tubuh mereka saling bertubrukan satu sama lain, saling memeluk dengan erat karena bagi Nusa, mereka sudah terpisah lama walaupun tidak ada satu hari lamanya.     

"Kakak nyariin kamu, dari tadi pagi. Kakak pikir kamu sama El, maaf Kakak gak tau. Kakak gak tanya kabar, Kakak yang salah." ucap Rehan dengan suara yang serak, kalimatnya bahkan tercekat di tenggorokkannya. Ia tidak mampu berkata-kata, bahkan tidak tau bagaimana cara mengekspresikan segalanya dengan baik.     

Mendengar itu, tentu saja Nusa tau kalau Rehan tengah menangis dengan cool. Ia menghelengkan kepala dalam pelukan cowok tersebut. "Enggak, Nusa justru mau kalau Kaka fokus istirahat terus berkerja. Nusa baik-baik aja, liat nih Nusa baik." balasnya yang ikut sedih.     

Bohong adalah alternatif untuk menenangkan rasa cemas Rehan terlebih dulu. Ia pernah berkali-kali melihat rehan yang cemas kepadanya, sampai-sampai hadirlah perasan over protektif terhadapnya.     

Rehan menghembuskan napas, saat ini Nusa sudah berada di dekatnya, di dekapnya, di sisinya, pokonya sudah berada kembali di jangkauan matanya. "Kakak gak mau percayain kamu sama El lagi, biarin kalian mulai sekarang jalanin kehidupan masing-masing. Pulang langsung pulang kayak biasa, Kakak yang jemput." ucapnya sambil menyudahi pelukan mereka.     

Mendengar peraturan berunyang dilontarkan oleh Rehan membuat Nusa membelalakkan kedua bola matanya, agak tidak terima dengan keputusan sang kakak yang terdengar sudah bulat yang artinya tidak dapat di ganggu gugat kembali.     

Nusa mendongakkan kepala karena tinggi badannya memang kalah dengan Rehan, ia terlihat menurunkan kedua alisnya. "Emangnya kenapa, Kak? Yang aku punya kan cuma mereka, nanti aku sama siapa?"     

"Kan ada gue." Bian menyahut.     

Mendengar itu, bukan Nusa doang yang menolahkan kepala, melainkan juga Rehan juga menolehkan kepalanya ke arah cowok yang sudah melepaskan helm dari kepalanya.     

Bian, cowok yang menyelamatkan Nusa tanpa adanya rasa pamrih walaupun dari sudut pandang Alvira —dan selama di novel ini—, dirinya terlihat seperti tokoh antagonis.     

Ingat, di sudut pandang orang lain, pasti kita semua juga pernah di cap buruk.     

"Lo siapa?" tanya Rehan, ia kali ini perlu was-was dengan cowok yang berada di dekat Nusa. Ia tidak ingin kejadian seperti El lagi, yang ternyata hanya menyebar janji.     

Bian melangkahkan kaki ke arah Rehan dan Nusa, lalu menghentikan langkah beberapa jarak di antara mereka berdua. "Sorry nih Bang, atau lo lebih nyaman di panggil Kak?" ucapnya sebagai perawalan. "Gue gak di suruh masuk dulu? Haus." sambungnya sambil nyengir.     

Nusa yang tengah bersedih hati pun terkekeh dengan apa yang dikatakan oleh Bian, ia pun menganggukkan kepalanya. "Oh ayo boleh masuk, yuk nanti aku buatin minum." ucapnya, refleks menggandeng Bian namun dirinya tidak sadar.     

Bian mengarahkan pandangan tangannya yang sudah masuk ke dalam tangan mungil Nusa. Rasanya entah mengapa terasa sama dengan genggaman yang saat itu Alvira masih ada untuknya, jika di bandingkan dengan genggaman cewek-cewek lain yang gonta-ganti menjadi pasangan PDKT-annya.     

Rehan menyipitkan matanya ke arah Bian, lalu menghembuskan napas saat melihat raut wajah Nusa yang meyakinkan dengan ekspresi memohon. "Ya udah sana masuk, Kakak ambil tas kerja dulu."     

Nusa menganggukkan kepala dengan ceria, menuntun Bian masuk ke dalam rumah. Tak lupa ia melepas sandal di dekat rak sandal dan separu, begitu juga dengan Bian yang mengekor sampai kini sudah herada di dalam rumah.     

"Maaf ya rumahnya berantakan, dari kemarin siang aku terakhir di rumah dan gak sempet beres-beres. Kaka Rehan juga gak bisa di andelin, emang cowok-cowok ngeselin. Bungkusan kripik dimana-mana, pasti cucuian piring juga belum di kerjain."     

Mendengar Nusa yang marah-marah malah membuat Bian bukannya fokus dengan permasalahan yang cewek itu tengah bicarakan, ia malah fokus memperhatikan berbagai macam ekspresi Nusa yang muncul.     

"Ya udah kamu duduk dulu ya di sofa, nanti ngobrol-ngobrol aja sama Kak Rehan sambil nunggu aku selesai mandi." ucap Nusa, mendorong sedikit tubuh Bian agar duduk di sofa ruang tamu-nya. Bian sudah duduk manis di sana, sambil mendongak menatapnya. "Jangan pulang dulu ya, tunggu aku selesai mandi." sambungnya.     

Benar, Nusa dan Alvira bagi Bian sangat mirip sekali. Segala hal mampu di bicarakan atau dalam artian cewek berdua ini sangatlah bawel, mereka sama. Namun bedanya, Alvira gampang emosi jika ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Namun Nusa, cewek itu lebih memilih untuk mengerti juka suatu hal tidak sesuai dengan apa yang di bayangkan.     

"Dih kayaknya aku daritadi ngomong, tapi malah di diemin gitu aja sih sama kamu."     

Mendengar teguran Nusa pun membuat Bian mengerjapkan kedua bola mata, ia kembali pada titik fokusnya. "Eh kenapa?" tanyanya, dengan polosnya malah merespin seperti itu.     

Nusa mendengus, lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Males ih aku sama kamu, gak jelas. Udah ngomong panjang lebar kayakau berbusa mulut ku, malah di diemin." ucapnya sok kesal.     

Nusa tuh memang tipe cewek yang sangat mudah untuk bergaul, tidak berpikir pula kalau mereka baru dekat pagi ini karena insiden malam tadi.     

"Ekhem, kayaknya ada suatu hal yang bisa di jelasin di antara kalian? Kenapa bisa datang berduaan apalagi Kakak gak kenal? Terus kenapa Nusa gak bisa di hubungi, dan kabur begitu aja dari rumah sakit? Terus… kenapa kaliam bertingkah seolah-olah udah deket banget? Yang dimana Kakak tau Nusa cuma deket sama El, Reza, dan Mario doang."     

Ya, suara bariton Rehan datang menghampiri indra pendengaran Nusa dan juga Bian. Membuat dua sosok yang tengah berbincang menolehkan kepala ke sumber suara.     

Nusa menganggukkan kepala. "Ada, tapi Bian aja ya yang jelasin? Nusa sibuk banget, mau mandi." ucapnya, lalu melesat begitu saja menaiki anak tangga satu persatu untuk ke lantai dua. Ia menghindari percakapan yang akan membuatnya mengingat kejadian trauma kedua yang berada di kehidupannya. Ia hanya tidak ingin mengingat bahkan sampai menangis lagi, itu saja.     

Dan kini, tersisa Bian dan Rehan yang saling pandang satu sama lain. Mereka belum kenalan secara resmi, dan bahkan Rehan belum mengintrogasi Bian yang memang andalannya dari dulu jika ada cowok yang mendekati sang adik.     

"Kayaknya tinggal kita berdua, gue minta penjelasan dari lo nih, tanpa di buat-buat." ucap Rehan dengan serius.     

Bian menganggukkan kepala. "Oke, gue bakalan jelasin semuanya kok. Janji kalau lo jangan marah sama siapapun, gue juga gak mau di cap baik dan seolah-olah menjatuhkan orang dari apa yang gue pengen ceritain."     

Dan ya, setelah mengatakan hal itu dan Rehan menyetujuinya. Sebuah cerita hadir begitu saja dari dalam mulut Bian, menjadikan dongeng pagi hari yang cukup membuat emosi dan mengejutkan.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.