Elbara : Melts The Coldest Heart

Merundingkan Akar Masalah



Merundingkan Akar Masalah

0Habis kenyang, pulang. Begitu cara mainnya? Tentu saja tidak berlaku bagi Reza dan Mario.     
0

Setelah kenyang makan, mereka menonton serial barbie di TV rumah Nusa. Sangat anteng, sambil menyemil makanan ringan yang memang tersedia. Jangan lupakan jus sebagai peneman mereka supaya menghilangkan rasa serat dan dahaga.     

Berbeda dengan El, ia lebih memilih tiduran di sofa dengan seragam sekolah yang sudah terlempar kemana karena tadi dirinya membuka dengan asal-asalan dan menyisakan kaos hitam ketat yang membentuk dada bidangnya.     

Masuk ke dalam mimpi adalah hal yang jauh lebih baik daripada ikut menonton bersama kedua sahabatnya. Kenapa juga serial barbie di tonton? Sudah begitu, mereka tenang-tenang saja seperti tidak menghiraukan keadaan sekitar. Yang dimana, seharusnya mereka yang memang selalu heboh dan tidak bisa diam.     

"Lo barbie yang biru, gue yang pink. Oke ya, deal." ucap Mario mulai membahas pembagian karakter, seolah-olah tenang membagi pasangan pada dunia nyata.     

Mendengar itu, Reza langsung menolehkan kepalanya dengan menggeleng perlahan. "Dih gitu, ogah. Mentang-menyang yang pink lebih cantik daripada yang biru, curang lo pilih duluan." balasnya dengan nada sok badmood.     

Seperti masih berusia anak-anak, mereka mulai mempermasalahkannya.     

"Semua cewek cantik di dunia, Reza. Wah parah lo mainnya, main fisik. Gue bilangin Alvira ya lo,"     

"Heh siapa yang bilanh maen fisik, gak usah bawa-bawa Alvira lo ah gak seru."     

"Yang gak seru itu lo, jelek."     

Reza menatap Mario, mereka berdua memang tengah memeluk bantal pada masing-masing pelukan. Dan ya, berkat adanya bantal tersebut di tangan, membuat Reza langsung melayangkan benda empuk tersebut ke wajah Mario.     

"Jelek kok ngatain jelek." ucap Reza sambil menaik turunkan kedua alisnya.     

Mario menatap Reza dengan tatapan penuh dengan tantangan. "Wah ngajak ribut emang lo, ayo sini maju. Biar tuh barbie yang milih kita sendiri," ucapnya sambil menggulung kedua lengan kaos sampai bahu.     

Ya, mereka semua sudah melepas seragam sekolah. Katanya sih lebih nyaman memakai kaos, dan itu sangat benar adanya.     

"Pala lo milih sendiri? Emang lo nya aja kali yang gak jelas,"     

"Belom tau aja gue bisa masuk ke dunia TV."     

Percakapan mereka tetap aneh, salalu saja seperti itu. Berbagai macam topik pembicaraan dari yang masuk akal, sampai tidak masuk akal, bisa mereka bahas dalam jangka waktu yang lama dan berkepanjangan nantinya.     

Mendengar perdebatan yang lagi-lagi masuk ke dalam indra pendengarannya membuat El mengerutkan dahi, lalu menghembuskan napasnya. "Woy, ini rumah orang." tergurnya.     

Ya kalau bertingkah di luar dari rumah Nusa sih tidak masalah ya, tapi kalau di rumah cewek itu… ya rasanya kurang sopan saja karena maksud kedatangan mereka kan bertamu, bukan untuk mengacaukan seisi rumah dengan tingkah random mereka berdua yang tiada hentinya.     

Menolehkan kepala ke arah El dengan kompak, setelah itu sama-sama meringis. Reza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan Mario mengacak-acak rambutnya yang malahan bertindak sok keren.     

"Iya maaf, El. Habisnya tuh Mario-nya aja yang pake acara ngata-ngatain, kayak gak punya bahan baku hantam yang bagus aja."     

Mendengar Reza yang menyalahkan dirinya, oh jelas Mario langsung angkat bicara tanpa di pinta. "Heh, upil badak. Gue tuh udah bilang bagian gue ini, dan bagian lo itu. Yang buat kita berantem itu ya udah jelas lo, El aja juga tau kok."     

El tau kalau ini akan berkepanjangan, maka ia memutuskan untuk mengubah posisi tidurannya di sofa menjadi duduk dan menyandarkan punggungnya di kepala sofa. "Bahas Priska." ucapnya tengan nada bicara datar, pertanda sekali kalau dirinya ingin di dengar dan tidak ada lagi candaan yang perlu dilontarkan.     

Reza dan Mario menganggukkan kepala. Siapa yang bilang kalau mereka berdua duduk di sofa? Mereka lebih memilih duduk di lantai beralaskan karpet berbulu yang sangat lembut di temani juga bantal sofa yang semuanya untuk mereka, El bahkan hanya di sisakan satu bantal saja.     

Mereka berdua mendekat, lalu duduk di samping kanan dan kiri El supaya pembahasan mereka ini bisa lebih privasi karena kalau dekatan otomatis tidak perlu bersuara keras sehingga mengundang pendengaran Nusa untuk menyimak.     

"Lo masih curiga sama Priska?" tanya Reza sambil menatap El dengan serius, kini dirinya berada di samping kanan dan Mario-lah yang berada di samping kiri manusia dingin itu.     

El tentu saja menganggukkan kepalanya dengan yakin. Memangnya siapa yang bisa berbuat sekejam itu pada Nusa selain Priska? Belum lagi, mereka pernah membully dengan alasan Nusa yang berdekatan dengan dirinya. Lagipula, tidak ada orang yang ingin terkunci di lingkungan sekolah. Kecuali ada yang merencanakan supaya orang tersebut terkunci, selebihnya tidak ada logika yang lebih masuk akal lagi.     

"Iya, masih." balasnya dengan penuh kecurigaan.     

Mario menatap Reza dan El, ia sebenarnya sih memiliki kecurigaan yang serupa dengan sang ketua. "Nih gini, pas kemarin El nunggu Nusa dan akhirnya ketemu Priska yang bilang Nusa dah balik, itu pasti ada sesuatu deh. Belum lagi pas hari H, Priska ilang begitu aja sama temen-temennya. Ini gue yang ngerasa karena terlalu cerdas, atau emang lo berdua juga ngerasa?" ucapnya yang menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi.     

Reza dan El menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mario.     

Reza menjentikkan jemari sampai bunyi gesekan jarinya pun terdengar. "Nah terus gini, udah ilang juga gak ada kabar. Pas kita mau cara ke rumahnya pas malem-malem sama Rehan, masa dia juga gak ada di rumah yang kata nyokap-nya ke luar sama Disty dan Nika. Ini bukan kebetulan, iya gak sih?" ucapnya yang menyambung kenyataan yang sangat mencurigakan.     

El memutar otak, bagaimana bisa kalau ini adalah sebuah kebenaran, semua rencana Priska itu termasuk ke dalam over bully, iya kan? Tidak ada yang mau di bully, dalam skala kecil maupun besar. Bisa saja menciptakan trauma tersendiri, dan juga tak banyak korban yang mulai kehilangan kepercayaan dirinya setelah itu.     

Reza menatap El, melihat cowok tersebut yang belum berkomentar apapun. "Gimana menurut lo, El? Gue yakin lo punya cara," ucapnya.     

"Iya, lo selalu punya jalan keluar loh, El. Ini bukan menyangkut Nusa aja, kalau nanti ada korban selanjutnya gimana?" sambar Mario.     

El hanya bisa menghembuskan napas, sejujurnya ia juga bingung. Kalau rencana ini sangat mulus dilakukan sehingga Nusa pun bungkam, siapa lagi yang patut di tuduh? Walaupun penuduhan adalah hal yang tercela.     

"Gue gak ada rencana."     

Baru kali ini, ada masalah, tapi El sama sekali tidak memiliki jalan keluar.     

Mario memutar otak, ia mempunyai ide gila yang cemerlang. "Gimana kalau lo hubungi Priska, El? Kan dia tergila-gila banget sama lo, coba lo telpon, kali aja nanti dia kelepasan ngomong atau gimana gitu sama lo."     

Rencana yang sebenarnya patut dicoba, namun El sepertinya sudah mual duluan.     

…     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.